Resentralisasi Kekuasaan

Resentralisasi Kekuasaan

Azyumardi Azra

 

Resentralisasi atau dapat juga disebut ”deotonomisasi” tampaknya adalah salah satu fenomena politik dan kekuasaan paling menonjol sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Setelah tujuh tahun berkuasa dalam dua kali masa jabatan sejak pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2014, banyak indikator di masa jabatan kedua sejak akhir 2019 memperlihatkan peningkatan resentralisasi kekuasaan.

Pemerintah pusat menarik kembali sejumlah kewenangan pemerintah daerah—membuat kemunduran otonomi daerah yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak masa kemerdekaan dan baru berhasil pada tahun-tahun awal reformasi.

Tren resentralisasi atau deotonomisasi daerah cukup mengherankan karena karier politik Presiden Jokowi bermula dari daerah otonom; pertama sebagai Wali Kota Solo (2005-2012) dan kedua sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (2012-2014). Sebagai pejabat yang dulu ”malang melintang” di daerah, Presiden Jokowi niscaya memahami dan mengalami suka duka otonomi daerah vis-à-vis sentralisme pemerintah pusat.

Boleh jadi resentralisasi yang menguat semasa pemerintahan Presiden Jokowi tidak bisa dibalikkan lagi dalam sisa masa pemerintahannya yang kurang dari tiga tahun. Dari perspektif otonomi daerah yang relatif berjalan baik sejak 2005 setelah penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004 (direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah, resentralisasi jelas tak selaras dengan legalitas otonomi daerah. Sebab itu, bisa disebut deotonomisasi daerah. Agaknya fenomena ini bagian dari sosok Jokowi yang disebut Ben Bland sebagai judul bukunya, Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2021).

Proses resentralisasi meningkat terutama melalui berbagai legislasi yang diproses Presiden Jokowi dengan koalisi besar politiknya di DPR. Tidak ada kekuatan lain di DPR yang bisa membendung resentralisasi; tidak juga dari publik dan masyarakat sipil; mereka telah dimarjinalisasi.

Resentralisasi mengalami momentum sejak 2020. Ini dimulai dengan perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. UU Minerba baru ini menarik 15 kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Dalam Pasal 4 Ayat 2, misalnya, pemerintah pusat mengambil alih penguasaan mineral dan batubara dari pemerintah daerah; sekaligus menghapuskan kewenangan pemerintah provinsi, serta kabupaten/kota mengatur pertambangan mineral.

Resentralisasi berlanjut melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini juga menghapus kewenangan daerah sejak dari urusan tambang sampai pajak. Penataan tata ruang daerah kini sepenuhnya diambil alih pemerintah pusat. Peraturan daerah (perda) juga harus sesuai dengan UU Cipta Kerja.

Legislasi untuk resentralisasi juga terlihat dalam perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 yang diubah dengan UU  Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi UU  Nomor 2 Tahun 2021. Dalam UU Otsus Papua baru ini, pemerintah pusat dapat ”melangkahi” pemda dan Majelis Rakyat Papua karena juga memiliki kewenangan melakukan pemekaran provinsi, kabupaten/kota dengan dalih tertentu.

Puncak resentralisasi segera terjadi sejak 2022 terkait Pilkada 2024. Menjelang Pilkada 2024, 271 kepala daerah mengakhiri masa jabatan. Pada 2022, ada 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota; dan pada 2023 ada 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota selesai bertugas.

Mereka diganti penjabat gubernur yang diangkat Presiden dan penjabat bupati/wali kota yang diangkat Mendagri. Tragis, pejabat yang terpilih lewat pemilihan (daulat rakyat) diganti ’daulat’ pemerintah pusat. Jelas resentralisasi kepala daerah menambah regresi demokrasi Indonesia.

Resentralisasi atau deotonomisasi daerah melalui legislasi jelas berdampak terhadap viabilitas dan sustainabilitas pemerintah daerah. Banyak daerah kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) dari penambangan mineral dan sumber daya alam lain. Menjadi tanda tanya besar dari mana daerah dapat menggali PAD.

Penggantian kepala daerah oleh Presiden dan Mendagri juga berpotensi besar menimbulkan kekacauan pemerintahan dan birokrasi daerah. Hal ini bisa terjadi ketika penjabat kepala daerah berlaku tidak imparsial terhadap kekuatan politik atau oligarki politik, baik di pusat maupun daerah.

Sayang sekali belum ada respons serius dari daerah terhadap resentralisasi atau deotonomisasi daerah. Keadaan ini agaknya karena kepala daerah sibuk menghadapi pandemi Covid-19. Boleh jadi juga karena mereka tak berdaya menentang koalisi politik besar yang sebagian besar mereka adalah bagian integralnya di daerah.

Semua perkembangan ini pasti merupakan tantangan sangat berat bagi pejuang demokrasi dan pembela otonomi daerah. (zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom Analisis Politik KOMPAS, 2 Desember 2021.