Reperkusi Penjabat Kepala Daerah

Reperkusi Penjabat Kepala Daerah

Prof. Dr. Azyumardi Azra MA CBE

 

Pengangkatan penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota mulai menampakkan reperkusi, konsekuensi negatif yang diprediksi bisa muncul atau bisa juga tak terduga. Boleh jadi reperkusi sosial, politik, dan hukum yang muncul menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu kohesi sosial; mengacaukan stabilitas nasional dan daerah. Perkembangan tak kondusif ini juga bisa berdampak pada persiapan pemilu, 14 Februari 2024, dan pilkada, 27 November 2024.

Pengangkatan penjabat kepala daerah dimulai pada 12 Mei 2022 dengan pelantikan lima penjabat gubernur (Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat) yang telah habis masa jabatannya. Gelombang kedua pengangkatan, 22 Mei 2022, mencakup 37 penjabat bupati dan enam penjabat wali kota.

Resistansi mulai muncul dari daerah, misalnya ketika Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba menunda pelantikan penjabat bupati di beberapa kabupaten. Alasan kedua gubernur adalah beberapa penjabat yang diangkat Mendagri tak sesuai usulan mereka kepada Mendagri.

Resistansi dari lingkungan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat dengan reperkusi bisa kian meluas atau menumpuk terpendam di bawah permukaan menjadi potensi laten yang bisa menimbulkan kerawanan. Bayangkan, reperkusi yang dapat muncul dari pengangkatan penjabat-penjabat 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota (total 101 kepala daerah) sepanjang 2022. Berlanjut pada 2023 ada 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota (total 170). Secara total ada 271 (50,9 persen) kepala daerah pilihan rakyat lewat pilkada langsung diganti penjabat. Artinya, lebih dari separuh, total ada 541 kepala daerah, memegang kekuasaan di daerah bukan dengan daulat rakyat, melainkan atas dasar kuasa pemerintah pusat.

Pemerintah, terutama Mendagri Muhammad Tito Karnavian, tampak tidak peduli dengan reperkusi yang merebak. Sebaliknya, pemerintah menerapkan prinsip ”jalan terus”—rawe-rawe rantas malang-malang putung—dalam penetapan penjabat kepala daerah. Pihak Kemendagri menyatakan akan melantik penjabat bupati atau wali kota jika gubernur tidak bersedia melantik mereka. Dengan begitu, pengangkatan penjabat kepala daerah sempurna menyimpang dari demokrasi, baik secara prosedural maupun substantif.

Akumulasi penyimpangan dari demokrasi kian memprihatinkan ketika Presiden Joko Widodo juga terlihat tidak memedulikan suara publik. Presiden boleh dikatakan hampir tidak bicara tentang masalah ini. Pemerintah terus menempuh jalan yang mendorong munculnya reperkusi politik dan hukum.

Pemerintah, baik Presiden Jokowi maupun Mendagri Tito Karnavian, menetapkan penjabat kepala daerah ”secara diam-diam”, melibatkan hanya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara, serta Badan Intelijen Negara. Pemerintah tidak melibatkan wakil daerah, unsur masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan otonomi daerah. Tiada transparansi dan partisipasi sesuai prinsip demokrasi di tingkat nasional serta lokal.

Padahal, MK, dalam putusannya pada 20 April 2022, memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan (pemerintah) yang jelas tentang pengisian kepala daerah. MK juga menegaskan penjabat kepala daerah mesti dari kalangan aparatur sipil negara; anggota TNI/Polri aktif tak bisa diangkat sebagai penjabat kepala daerah.

Pemerintah tak mematuhi putusan MK; tidak menerbitkan peraturan tentang proses penetapan itu; dan bahkan mengangkat anggota TNI aktif, Brigadir Jenderal Adi Chandra As’aduddin, menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Terkait putusan soal penjabat kepala daerah, hakim konstitusi yang sekaligus Juru Bicara MK, Enny Nurbaningsih, dan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menegaskan, putusan MK bukan sekadar rekomendasi, melainkan juga final dan mengikat yang mesti ditindaklanjuti pemerintah (Kompas, 18/5/2022 dan 27/5/2022).

Sementara itu, beberapa pejabat tinggi mengeluarkan respons dan pernyataan berbeda yang membingungkan publik. Berbagai pejabat pemerintah mengemukakan bermacam celah hukum untuk menjustifikasi langkah yang kurang elok dalam penetapan penjabat kepala daerah, termasuk dari militer aktif. Boleh jadi celah hukum yang digunakan itu secara legal sah, tetapi jelas langkah pemerintah itu ”tidak bijak dan tidak benar secara politik” (politically incorrect).

Jika pemerintah tetap melakukan langkah yang politically incorrect, reperkusi politik dan sosial dapat terus berkembang yang—sekali lagi—bisa mengancam kohesi, integritas, dan stabilitas negara. Pemerintah patut mengoreksi langkah dalam penetapan kepala daerah. Dengan masih banyaknya penjabat kepala daerah yang bakal ditetapkan, sebaiknya pemerintah segera melaksanakan putusan MK; mematuhi hukum untuk menjalankan proses penetapan calon penjabat secara transparan dengan melibatkan kepemimpinan daerah, baik formal maupun informal, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya. (zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom Analisis Politik, Kompas, 2 Juni 2022.