Reorientasi Pendidikan Agama Islam

Reorientasi Pendidikan Agama Islam

Mahyudin

 

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 22 Agustus sebagai Hari Internasional Memperingati Korban Kekerasan dan Diskriminasi Agama/Kepercayaan (International Day Commemorating the Victims of Acts of Violence Based on Religion or Belief). Hari tersebut ditetapkan sebagai pengingat bagi warga dunia mengenai banyaknya korban kekerasan berkaitan dengan sikap intoleransi agama atau kepercayaan dari sekelompok orang.

Sepertinya masalah ini seumur dengan peradaban manusia, sampai-sampai lembaga dunia semacam PBB menerbitkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang salah satu pasalnya dikhususkan mencegah penistaan agama, seperti tertera dalam Pasal 18, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain dan di depan umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, peribadatan, dan ketaatan' (Edisi dengan Ilustrasi UDHR, 2015).

Meski demikian, sikap-sikap intoleran masih banyak kita jumpai di berbagai belahan dunia, meskipun sudah banyak negara meratifikasi pasal tersebut menjadi undang-undang di negaranya. Bentuk sikap intoleran ini muncul dalam bentuk penistaan atau penodaan atau penghujatan agama atau keyakinan atau orang yang disucikan dalam agama tersebut atau terhadap kitab suci agama tertentu berkaitan dengan keyakinan dan keimanan.

Penyebaran ujaran kebencian terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau keimanan juga termasuk bentuk sikap intoleran. Selama ini sikap intoleran dari sekelompok orang terhadap kelompok lainnya selalu dihadapi dengan pendekatan hukum. Menurut penelitian Virginia Villa, peneliti Pew Research Center, pada 2019, empat dari 10 negara di dunia menerapkan undang-undang antipenistaan agama, termasuk Indonesia (Virginia Villa, Pew Research Center, 25 Januari 2022).

Pendidikan agama dan kewarganegaraan

Upaya meminimalkan penistaan atau penodaan agama di Indonesia, salah satunya melalui pendidikan. Pengaturan pendidikan agama dicantumkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Menurut Pasal 12 ayat 1a UU No 20/2003, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Selanjutnya, pada Pasal 30 disebutkan bahwa fungsi pendidikan agama ialah mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pada Pasal 37 juga diatur bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.

Meski demikian, Indonesia bukanlah negara berbasis agama tertentu, melainkan rumah bagi semua pemeluk agama yang dilindungi oleh undang-undang Indonesia. Hal itu dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila. Sebagai negara majemuk secara agama, UUD ‘45 dan Pancasila menjamin warganya untuk berkeyakinan dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Namun, dasar negara ini juga 'melarang' warganya untuk tidak bertuhan (beragama).

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, pendidikan agama saja 'tidak cukup' menjadi bekal siswa untuk hidup berbangsa dan bernegara. Dalam UU Sisdiknas, pendidikan agama selalu sejalan dengan pendidikan kewarganegaraan. Fungsi pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan berbeda. Pendidikan agama menekankan pada pemahaman ajaran agama dan mengamalkannya, sedangkan pendidikan kewarganegaraan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dan negara untuk memahami hak dan kewajibannya. Dua bekal pendidikan ini diharapkan dapat menciptakan manusia Indonesia yang pemahaman agamanya baik, taat beragama, serta setia kepada bangsa dan negaranya.

Pendidikan agama Islam 

Kurikulum pendidikan agama tentu bukan hanya pendidikan agama Islam saja. Kurikulum pendidikan agama-agama lain seperti agama Kristen, Hindu, Buddha juga ada. Namun, saya hanya memahami pendidikan agama Islam sehingga saya tidak berpretensi dan tentu tidak berkompeten mengkritisi pendidikan agama lain.

Kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah umum terdiri atas lima aspek, yaitu aspek Al-Qur'an hadis, keimanan (akidah), akhlak, hukum Islam (fikih), dan aspek sejarah (tarikh). Semua tingkatan pendidikan mempelajari semua aspek tersebut. Secara sekilas, tidak ada yang salah dengan lima aspek pendidikan agama Islam tersebut. Lima aspek itu dapat mencapai tujuan yang dicanangkan UU Sisdiknas, yakni mempersiapkan calon ahli agama secara pengetahuan maupun sikap.

Jika kita berpatokan pada tahun dikeluarkannya UU Sisdiknas, artinya sudah 19 tahun sejak diundangkan menjadi tujuan nasional mengenai cita-cita luhur diajarkannya pendidikan agama di sekolah umum. Namun, kalau boleh jujur, sudahkah lahir ahli agama dari sekolah umum sesuai cita-cita UU Sisdiknas? Apa yang salah? Apakah isinya? Atau cara mengajarkannya?

Menurut saya, setidaknya ada enam hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah umum. Pertama, penekanan pada aspek sejarah hidup Nabi (sirah nabawi), yaitu catatan historis akademis kehidupan Nabi sejak sebelum lahir, lahir, kecil, remaja, dewasa, masa pernikahan dengan Siti Khadijah, menjadi nabi, perjuangannya dan tantangan-tantangan besar yang dilaluinya, hingga wafatnya.

Dalam sirah ini, aspek sakral Nabi diminimalisasi, aspek personal-profannya yang dimunculkan secara empiris historis. Aspek pertama ini memunculkan aspek kedua, yakni aspek keagungan etik Nabi sebagai manusia, sebagaimana pernyataan Nabi, "Saya ini manusia biasa seperti kalian, hanya diberi wahyu."

Pernyataan tersebut tentu saja harus dilihat dalam konteks sosial saat itu yang mayoritas pedagang, saudagar. Aspek kejujuran dan keterpercayaan modal besar bagi Nabi dalam menjalankan bisnis. Seseorang berbuat jujur dan dapat dipercaya adalah manusiawi, dapat dilakukan semua orang. Ini bukan soal kenabian.

Ketiga, aspek pengajaran pendidikan agama dengan meminimalisasi model ceramah, satu arah, teacher centered, dan lepas dari konteks kekinian. Teori belajar konstruktivisme akan sangat membantu dalam proses pembelajaran agama, yaitu pembelajaran yang mengembangkan kemampuan logis dan analitis siswa berdasarkan pengalaman mereka dan lingkungan sekitarnya. Keempat, hindari membandingkan dengan agama lain atau aliran lain dalam satu agama. Kelima, hindari penghakiman bahwa yang diajarkan adalah yang paling benar jika dibandingkan dengan ajaran lain. Keenam, ajarkan berdasarkan bukti sejarah yang akademis logis. Wallahu a’lam bi al-shawab. (zm)

Penulis adalah Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma, alumnus IAIN Jakarta dan alumnus Pondok Pesantren Daar el-Qalam. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Media Indonesia, Senin 22 Agustus 2022, dan bisa dilihat di https://mediaindonesia.com/opini/516505/reorientasi-pendidikan-agama-islam