Rektor UIN Jakarta Dorong Penghentian Perkawinan Anak

Rektor UIN Jakarta Dorong Penghentian Perkawinan Anak

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online— Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis meminta para tokoh agama dan masyarakat di tanah air bersama-sama memutus tradisi perkawinan anak. Hal ini diperlukan agar rumah tangga pasangan menghasilkan generasi unggul bagi keberlangsungan kehidupan hidup ummat beragama dan bangsa Indonesia yang berkualitas.

Demikian disampaikan Rektor Amany dalam Diskusi Interaktif Pencegahan Perkawinan Anak dalam Pandangan Lintas Agama, Selasa (20/4/2021). Diskusi daring ini digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.

Rektor menuturkan, angka perkawinan anak di tanah air masih sangat tinggi. Sejumlah daerah seperti Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah memiliki angka perkawinan anak yang cukup tinggi.

Secara geografis, angka perkawinan anak didominasi oleh masyarakat di kawasan perdesaan. Model perkawinan anak saat ini biasanya dilakukan dengan menyiasati aturan batas minimal usia 21 kelayakan menikah pasangan pengantin laki-laki dan perempuan.

“Masih banyak yang mengajukan izin menikah. Minta dispensasi (untuk melakukan perkawinan anak, red.). Ini menandakan perlunya upaya bersama, semua tokoh agama dan masyarakat, agar pernikahan anak dicegah,” tegasnya.

Perlunya pencegahan perkawinan anak, jelasnya, didasarkan keharusan setiap keluarga menghasilkan keturunan unggul. Keturunan ini diidealkan dengan terpenuhinya kebutuhan gizi, pendidikan, kualitas mental spiritual sehingga terbentuk umat-bangsa yang hidup dalam garis kehidupan sejahtera.

Pandangan Islam

Lebih lanjut, Profesor Amany menjelaskan, Islam sendiri telah mengajarkan pentingnya pembangunan kehidupan rumah tangga yang baik. Prinsip penting dalam pembangunan kehidupan rumah tangga ini adalah keharusan setiap Muslim untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah.

“Muslim tidak boleh meninggalkan keturunan yang lemah karena kurang gizi, ibunya sakit saat hamil, atau bayi yang baru lahir kurang perhatian. Itu kewajiban Umat Islam untuk tidak meninggalkan keturunan lemah. Durritan Dhu’afa,” tegasnya.

Lebih jauh, hukum syariah sendiri mensyaratkan pernikahan bisa dilakukan saat pasangan calon pengantin memenuhi syarat Isytatho’a. Syarat ini bisa difahami sebagai kemampuan dan kesiapan pasangan pengantin secara fisik, mental, spiritual, moral, sosial dan budaya.

Ringkasnya, isytatho’a bisa diartikan sebagai kesiapan mental-spiritual atau kesiapan lahir batin pasangan yang akan menikah. “Kesiapan ini juga  bisa difahami sebagai sinnurrusyd atau kedewasaan usia dan cara berfikir pasangan,” katanya.

“Bukan hanya besar badannya, tapi juga sinnurrusyd, kedewasaan dan kematangan untuk memikul tanggungjawab hidupnya. Kalau tidak sinnurusyd, akan ada kemudharatan, kelemahan, keburukan, dan hal-hal negatif lainnya,” tambahnya.

Persyaratan ini, jelasnya, sekaligus juga mengoreksi argumentasi pemahaman sebagian kalangan dengan menjadikan batasan baligh berupa mimpi basah bagi anak laki-laki dan haidh bagi anak perempuan. Menurutnya baligh harusnya difahami sebagai fase dimana setiap orang mulai dikenakan kewajiban (taklif) kewajiban agama, termasuk penilaian atas baik maupun buruknya sikap seseorang, bukan dasar kesiapan untuk menikah. (zm)