Rektor UIN Jakarta: Agama Harus Terbebas dari Politisasi

Rektor UIN Jakarta: Agama Harus Terbebas dari Politisasi

Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Menjelang pesta demokrasi lima tahunan, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, agama harus ditempatkan sebagai dirigen kehidupan harmonis berbangsa dan bukan menjadi alat politisasi kelompok kepentingan tertentu. Para akademisi dan tokoh agama juga diharap melakukan kampanye positif agar agama tidak terseret menjadi alat politik.

Demikian disampaikan Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar MA Ph.D menyusul pelaksanaan pemilu di 2024 mendatang dalam Seminar Nasional Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta di Auditorium Utama, Selasa (23/5/2023). Merujuk pengalaman pada pemilu di tahun-tahun sebelumnya, tuturnya, politisasi agama untuk kepentingan kelompok politik tertentu acapkali terjadi.

“Dalam konteks Indonesia seperti dialami dalam Pemilu 2014, 2019, dan nanti 2024, ini menunjukkan adanya kecenderungan bagaimana kelompok-kelompok melakukan demikian, tentu ini menjadi pekerjaan yang harus dikedepankan,” katanya.

Berdasar itu, Rektor berharap, menyongsong pemilu 2024 seluruh pihak mau menahan diri dengan tidak menjadikan agama sebagai alat dalam meraih kepentingan politik tertentu. “Untuk itu, dalam proses demokrasi di Pemilu 2024, agama harus terbebas dari politisasi,” tegasnya.

Rektor menjelaskan, agama memiliki sejumlah aspek penting seperti institusi, kitab suci, jamaah, dan mobilisasi. Kitab suci menjadi bagian paling melekat dalam membangun pandangan atau keyakinan keagamaan individu dan kelompok agama.

Namun teks suci menjadi wilayah interpretasi yang tidak jarang mengakibatkan polarisasi karena perbedaan penafsiran atas teks-teks suci keagamaan sendiri. “Jika kita tidak menempatkan pemahaman agama yang benar, dia (interpretasi teks suci keagamaan, red.) akan jadi penyulut sehingga muncullah fanatisme yang mengakibatkan polarisasi,” terangnya.

Untuk itu dalam konteks literasi media dan politik, jelasnya, agama perlu ditempatkan sebagai pendorong kehidupan berbangsa yang  harmonis, penuh kebersamaan, dan kedamaian. “Jadi agama bukan dijadikan alat untuk mendorong kepercayaan atau memihak kepada partai tertentu, calon tertentu, sehingga dia dijadikan sebagai sebuah alat untuk membenci yang lain. Nah inilah moderasi,” paparnya.

Selain itu, Profesor Asep menambahkan, para akademisi dan tokoh agama-agama juga perlu terus melakukan kampanye positif agar masyarakat terhindar dari pemahaman yang mengakibatkan polarisasi politik terlalu dalam. Ini dengan memosisikan agama sebagai bagian penting dalam politik, namun bukan semata jadi instrumen dalam meraup suara.

“Terakhir, sebagai akademisi, dalam konteks kampanye dan sosialisasi, saya harap semua pihak bisa menyampaikan dengan bahasa-bahasa yang baik untuk mengeliminir penggunaan ayat atau doktrin keagamaan untuk melawan kelompok yang lain,” tandasnya.

Rektor Asep menyampaikan gagasannya dalam seminar nasional bertajuk Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024: Mitigasi Konflik SARA dan Penguatan Partisipasi Warga. Selain Rektor, sejumlah tokoh nasional hadir dalam acara yang sama seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD.

Menko Mahfud menilai pembangunan dan penguatan literasi media dan politik penting dilakukan menjelang Pemilu 2024 mendatang. Ini diperlukan untuk menjaga pemilu yang demokratis dan menghasilkan pemerintahan terbaik.

Menurutnya, pemilu yang demokratis harus dijaga dalam menghasilkan proses politik yang sesuai. Pemilu sendiri menjadi taruhan bagi seluruh masyarakat dalam menghasilkan pemerintahan yang diharapkan masyarakat

“Oleh sebab itu, maka kita sekarang ini harus menjaga pemilu yang demokratis. Sebab pemilu merupakan taruhan kita bagi masa depan bangsa ini,” tandasnya. (zm)