Regresi Demokrasi dan Resentralisasi (1)

Regresi Demokrasi dan Resentralisasi (1)

Prof. Dr. Azyumardi Azra CBE MA

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perbincangan tentang ‘regresi’ demokrasi Indonesia. Baik peneliti dan pengamat dari dalam negeri maupun Indonesianis mancanegara, mengajukan berbagai indikator tentang regresi atau kemunduran demokrasi Indonesia yang juga mereka sebut decline (merosot), flawed (cacat), backsliding (mundur ke belakang) atau 'illiberal', tidak lagi memberikan kebebasan penuh pada warga mengekspresikan aspirasi dan pendapat.

Gejala ini misalnya, terungkap dari survei Indikator Politik Indonesia akhir Oktober 2020 yang menemukan, sekitar 69,6 persen warga semakin takut menyatakan pendapat secara terbuka.

Fenomena ini hampir tidak berubah ketika indikator kembali merilis hasil penelitiannya awal April 2022; lembaga ini menemukan 62,9 persen responden menyatakan takut mengungkapkan pendapat secara terbuka.

Ketakutan menyatakan pendapat secara terbuka, terutama yang bernada kritis terhadap petinggi pejabat publik dan elite politik karena mereka khawatir bisa diproses secara hukum atau dikriminalisasikan lewat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No 19 Tahun 2016).

Meski pemerintah berencana merevisi pasal-pasal karet (27, 28, 29, dan 36) dalam UU ITE tersebut, sampai kini belum terlihat realisasi konkretnya. Pada saat yang sama, kebebasan berekspresi terganggu merajalelanya pendengung (buzzers) dan pemengaruh (influencers).

Mereka ini selain menyebarkan disinformasi dan misinformasi, juga mengganggu warga yang bersikap kritis terhadap petinggi pemerintahan dan elite politik.

Selain itu, ada pihak tertentu yang membajak (hacked) gawai dan mengganggu diskusi atau seminar, yang melibatkan berbagai sosok ahli kritis.

Pendengung, pemengaruh, dan pembajak yang malang melintang di media sosial dan dunia maya seolah mendapat perlakuan berbeda dari aparat keamanan.

Jika warga kritis bisa cepat diproses atas tuduhan pencemaran nama baik, sebaiknya pendengung yang bukan tidak sering menimbulkan kegaduhan—bahkan terkait isu agama atau SARA—tetap dibiarkan merajalela.

Perbedaan perlakuan tak adil menimbulkan banyak komplain dan protes terbuka dari kalangan masyarakat; tetapi seolah batu jatuh ke lubuk alias tidak dipedulikan pihak terkait yang bertanggung jawab. Regresi demokrasi sering pula dikaitkan dengan marginalisasi masyarakat sipil atau masyarakat madani dalam proses politik.

Yang paling mencolok, peminggiran masyarakat sipil terjadi dalam legislasi perubahan dan pembahasan rancangan UU, yang diselenggarakan pemerintah dengan DPR. Publik bisa melihat ada persekongkolan pemerintah dan DPR tanpa melibatkan publik secara bermakna (meaningful participation).

Jika ada kalangan masyarakat atau ahli yang dilibatkan, mereka dihadirkan melalui rekayasa tertentu, bukan representasi murni aspirasi masyarakat.

Keadaan seperti ini terlihat jelas ketika pemerintah dengan DPR melakukan perubahan UU KPK No 20 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019; perubahan UU Minerba No 4 Tahun 2009 menjadi UU Minerba No 3 Tahun 2020; pengesahan RUU Omnibus menjadi UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020; pengesahan RUU IKN menjadi UU IKN No 3 Tahun 2022.

Draf perubahan atau RUU tidak terbuka bagi publik untuk dapat dicermati dan dikritisi. Kenyataan ini terakhir terlihat dalam pembahasan DPR dan pemerintah atas draf RKUHP, yang diduga keras mengandung banyak pasal yang tidak kompatibel dengan demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Di tengah regresi demokrasi itu, masih saja ada kalangan yang bertahan dengan persepsi idealistik normatif bahwa demokrasi Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan beberapa negara lain di Asia Tenggara atau banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Selatan, Timur Tengah, Maghribi, dan Afrika.

Persepsi semacam ini boleh jadi menjadi semacam hiburan atau pelipur lara di tengah berbagai kesulitan sosial, ekonomi, dan politik yang belum terselesaikan juga di Tanah Air.

Perkembangan penting lain menyangkut regresi demokrasi adalah resentralisasi dalam penggantian kepala daerah, yang telah habis masa jabatannya sepanjang 2022 dan 2023. Ada 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota (total 272) dengan daulat rakyat dalam pilkada mengakhiri masa tugas.

Pada 2022, ada 101 kepala daerah yang mesti diganti; dan pada 2023, ada 171. Jumlah ini lebih separuh kepala daerah seluruh Indonesia, yaitu 542 daerah otonom (34 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten).

Sedangkan jumlah total penduduk yang 271 kepala daerahnya berakhir masa jabatannya adalah 243.992.959 jiwa (sekitar 90 persen penduduk total Indonesia). Masalah lain terkait regresi demokrasi adalah pengangkatan penjabat kepala daerah.

Sejauh ini sudah 48 penjabat gubernur/bupati/wali kota dilantik—gubernur oleh presiden, bupati/wali kota oleh mendagri atau gubernur atas nama mendagri.

Pemilihan dan pengangkatan penjabat kepala daerah tidak transparan pada publik; hanya melibatkan instansi pemerintah pusat: Kemendagri, Kemenpan RB, BIN, dan BKN. Di antara mereka yang diangkat juga ada militer aktif.

Banyak keberatan dari daerah, ahli dan publik tampak tidak dipedulikan mendagri dan presiden. (zm)

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom Resonansi Harian Republika, Kamis 7 Juli 2022. Lihat https://www.republika.id/posts/29665/regresi-demokrasi-dan-resentralisasi-1