Refleksi Hari Santri: Pilar Modernisasi Islam dan Pembangunan Bangsa

Refleksi Hari Santri: Pilar Modernisasi Islam dan Pembangunan Bangsa

Jakarta - Sebagai alumnus pesantren, pengalaman yang mendasar bagi saya yaitu integrasi pendidikan dasar agama dan pengetahuan umum secara bersamaan.
Pesantren telah menyiapkan para santri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sekaligus pendidikan karakter yang hidup dalam keseharian santri.

Jika dilihat selintas, kegiatan seperti pramuka, olahraga, beladiri, kesenian, keterampilan, dan lain sebagainya terasa sederhana, namun bagi penguatan karakter aktivitas itu mendidik untuk terampil, disiplin dan berkomunikasi secara aktif satu sama lain. Inilah sistem pendidikan yang telah memadukan olah pikir, olah rasa, dan keterampilan.

Model pendidikan seperti ini telah membuktikan para alumni pesantren menjadi agensi perubahan di masyarakat. Tanpa pesantren Islam Indonesia tidak mungkin se-modern dan semaju ini.

Sejarah mencatat bahwa banyak santri yang kemudian menjadi pemimpin di negeri ini, sebut saja KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur yang menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Lalu kemudian KH. Abdul Wahid Hasyim pernah menjadi Wakil Presiden RI ke-4. Ia juga ayah dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 Indonesia. Santri lainnya adalah KH. Ma'ruf Amin, Wakil Presiden Indonesia periode 2019–2024, adalah seorang ulama besar dari Nahdlatul Ulama (NU) dan memiliki latar belakang sebagai santri. Adam Malik, meskipun latar belakang pesantrennya tidak sekuat tokoh lain yang menjadi Wakil Presiden RI ke-3 (1978–1983), ia juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren semasa mudanya.

Santri yang mengenyam pendidikan di pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan modernisasi. Sehingga kemudian, santri ini bukan hanya cakap di bidang keagamaan ia juga mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dalam merespons tantangan modernisasi dengan cara yang baik tanpa kehilangan jati dirinya. Lebih lanjut ia harus mampu mengintegrasikan perkembangan zaman seperti digitalisasi dengan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam merespons disrupsi inovasi ini.

Dalam konteks modernisasi Islam Indonesia, pesantren memiliki peran yang siginifikan. Pesantren bukan hanya sebagai pusat pendidikan agama Islam, namun juga sebagai pusat pembaharuan sumber daya manusia unggul yang melahirkan tokoh-tokoh nasional, tokoh-tokoh intelektual, ulama, dan pemimpin bangsa dan negara. Dalam pusaran politik, ekonomi, sosial, para santri juga banyak terlibat pada ruang-ruang publik tersebut. Ini menunjukkan bahwa santri dapat diterima dengan baik di kancah nasional dan bahkan menjadi motor penggerak perubahan di Indonesia dengan tidak kehilangan ruh keagamaannya.

Islam moderat yang dikampanyekan Indonesia di kancah internasional tidak dapat dilepaskan dari peran santri dan pesantren. Tradisi kesantrian ini melekat pada tradisi Islam Indonesia. Para santri di pesantren, selain belajar kitab kuning, mereka juga belajar tentang keadaban, kerja bakti, gotong royong, dan nilai-nilai inklusivitas. Sehingga kemudian para santri dan pesantren ini dapat menjaga keberagamaan dan kebhinekaan di Indonesia yang selaras dengan nilai-nilai keislaman. Toleransi dan harmonisasi keagamaan di Indonesia ini menjadi modal utama dalam kampanye Islam moderat di kancah global.

Di era digitalisasi ini melahirkan budaya yang instant. Budaya ini juga melahirkan generasi stroberi yang terlihat keren di luar namun rapuh di dalam. Kesehatan mental kemudian menjadi isu serius di kalangan generasi muda saat ini. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam menanamkan nilai-nilai keislaman yang kokoh. Sehingga kemudian para santri ini tidak mudah berputus asa dalam kesehariannya dengan menerapkan nilai-nilai keislaman. Aspek kesehatan baik fisik dan mental adalah bagian yang menjadi pondasi ketangguhan bangsa dan negara.

Kehidupan di pesantren didisain sedemikian rupa agar santri mampu dan tangguh dalam merespons peradaban yang begitu cepat berubah. Kehidupan di dunia pesantren menerapkan gaya hidup sederhana dengan disiplin yang kuat. Para santri sudah terbiasa untuk bangun dini hari untuk melaksanakan shalat malam, belajar, dan tugas-tugas lainnya di pesantren. Pola kehidupan inisejatinya melahirkan pemuda dengan fisik yang tangguh dan mampu beradaptasi dengan situasi apapun. Lebih lanjut, pesantren ini bukan hanya memberikan pondasi yang kuat pada kesehatan fisik namun juga pada kesehatan mentalnya.

Sebagai santri saya mengajak semua pihak untuk merawat dan mengembangkan tradisi baik pesantren. Tradisi kesantrian ini sangat relevan dalam pembangunan nasional, dan visi kita untuk menggapai Indonesia Maju dan Indonesia Emas 2045.

(Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D)

Artikel ini dirilis di Detik.com pada 22 Oktober 2024. Baca artikel selengkapnya pada tautan berikut