Redesain Sistem Pendidikan Ulama Muhammadiyah

Redesain Sistem Pendidikan Ulama Muhammadiyah

Dalam berbagai forum silaturrahim dan seminar pesantren Muhammadiyah, keluhan paling banyak mengemuka adalah bahwa Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kelangkaan atau krisis ulama. Sejak dibentuknya Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PP Muhammadiyah pada Agustus 2015 setelah Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, perkembangan pesantren Muhammadiyah (selanjutnya disebut PesantrenMu) termasuk sangat pesat. Pada 2015, data Dikdasmen PPM menujukkan bahwa pesantrenMu hanya berjumlah 178 buah. Pada Juli 2020, jumlah pesantrenMu bertambah menjadi 356 buah. Artinya, dalam kurun waktu  5 tahun, pesantrenMu mengalami lonjakan kenaikan mencapai 200%.

Akan tetapi, penambahan jumlah pesantrenMu tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah ulama. Disinyalir bahwa pendidikan pesantrenMu selama ini belum menjadi pusat kaderisasi ulama. Kendala utama yang dihadapi pesantrenMu yang baru didirikan adalah sulitnya mencari kader ulama Muhammadiyah yang siap mengelola dan memajukan pesantrenMu. Bahkan Sebagian pesantrenMu yang sudah berdiri pun mengalami kesulitan yang sama. Stok ulama Muhammadiyah sangat terbatas, sementara animo masyarakat, khususnya warga persyarikatan, untuk “menyantrikan” putera-puterinya di pesantrenMu semakin meningkat pesat.

Selain itu, setelah LP2 PPM berhasil melakukan standarisasi kurikulum pesantrenMu dengan menerbitkan buku ajar berbahasa Arab, mulai dari kelas 7 hingga kelas 12, masing-masing 7 mata pelajaran (Bahasa Arab, al-Qur’an, Hadits, Akidah, Akhlak, Fikih, Sirah Nabawiyyah), persoalan baru juga muncul. Mayoritas guru atau ustadz yang mengajarkan buku berbahasa Arab yang ditulis dengan “susah payah” itu mengalami kesulitan dalam mengajarkannya kepada para santri. Tidak semua guru mapel memahami Bahasa Arab dengan baik. Demikian pula, mayoritas santri juga tidak memahami Bahasa Arab.

Apabila pesantrenMu didesain sebagai pusat kaderisasi (calon) ulama Muhammadiyah, maka siapkah para lulusan pesantrenMu  menjadi kader (calon) ulama apabila mereka dan para gurunya juga tidak memahami Bahasa Arab. Bukankah penguasaan Bahasa Arab merupakan salah satu ciri khas sistem pendidikan pesantren? Jika pesantrenMu diharapkan menjadi “pabrik” yang menyiapkan dan memproduksi calon ulama masa depan Muhammadiyah, “Bagaimana seharusnya sistem pendidikan pesantrenmu didesain ulang (redesain) agar dapat memenuhi standar kualifikasi ulama yang ideal dan memenuhi harapan umat dan bangsa?”

Kaderisasi Ulama

Dapat dipastikan bahwa kaderisasi ulama Muhammadiyah bukan merupakan proses yang instan. Oleh karena itu, redesain sistem pendidikan ulama menjadi kebutuhan mendesak. Sebab, selama ini, produksi ulama itu cenderung bersifat alamiah, tidak by design. Investasi khusus, terutama oleh pimpinan persyarikatan, baik tingkat pusat,  wilayah, daerah maupun cabang dan ranting, untuk mengkader dan mempersiapkan ulama “nyaris” tidak menjadi agenda utama. Kalaupun ada perencanaan untuk kaderisasi ulama, boleh jadi, hanya terjadi pada keluarga kiai pesantrenMu yang memang peduli terhadap regenerasi kepemimpinan pesantrenMu di masa depan. Sebagai contoh, dua pesantrenMu di Paciran Lamongan, Pondok Modern Muhammadiyah dan Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah, yang kini sudah memasuki generasi kedua dan ketiga setelah generasi pertama (pendiri) wafat, telah sukses menyiapkan kader ulama dari “kalangan internal”.

Kegelisahan terkait dengan kelangkaan ulama itu memang mulai direspon oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 2003, dengan mendirikan pesantren luhur khusus untuk program Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) atau al-Ma’had al-‘Ali li Ulama’ at-Tarjih li al-Muhammadiyah. PUTM ini “dicantolkan” pada beberapa PTM, seperti: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Makassar. PUTM merupakan bagian dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dengan program khusus mendidik dan mempersiapkan ulama tarjih Muhammadiyah yang berkompeten dalam bidang keulamaan, keilmuan, da’wah, tafaqquh fi ad-Din, pendidikan dan kepemimpinan Islam.

Apakah PUTM sudah mampu merespon kelangkaan ulama dan kegelisahan warga persyarikatan di tingkat akar rumput, terutama dalam menyuplai kebutuhan ulama? Muhammad Muhajir, Lc. MA, salah seorang dosen PUTM Kaliurang menjelaskan bahwa lulusan PUTM Kaliurang yang telah mencapai lebih dari 270 orang sejak 2005 masih belum bisa memenuhi banyaknya permintaan kader ulama Muhammadiyah di berbagai daerah. Selain itu, persoalan mendasar kaderisasi ulama melalui PUTM adalah rendahnya minat calon ulama, di samping minimya penguasaan “modal ilmu alat” (bahasa Arab) calon peserta PUTM. Latar belakang pendidikan calon sangat sedikit yang merupakan alumni pesantren atau Madrasah Aliyah. Mayoritas mereka adalah lulusan SMA/SMU dengan penguasaan Bahasa Arab yang tergolong minim.

Profil Ulama Ideal

Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan dan kaderisasi ulama Muhammadiyah perlu didesain dari pendidikan menengah, tidak cukup hanya disiapkan di tingkat pendidikan tinggi. Bibit-bibit unggul calon ulama harus disemai melalui proses pendidikan yang berorientasi kepada penyiapan figur atau kader ulama harapan umat. Oleh karena itu, pesantrenMu penting didesain ulang sebagai pusat kaderisasi ulama Muhammadiyah. Selain diarahkan untuk melanjutkan di PUTM, lulusan pesantrenMu dapat juga ditargetkan menempuhkan pendidikan keulamaan di perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti Universitas al-Azhar Kairo, Universitas Umm al-Qura Mekkah, atau Universitas Islam lainnya yang memiliki tradisi keilmuan dan keulamaan yang mapan.

Seperti apakah profil ulama ideal yang dapat dihasilkan Pendidikan pesantrenMu? Membicarakan ulama mengharuskan kita memahami siapa ulama itu? “Ulama” merupakan bentuk plural (jamak) dari ‘alim yang secara bahasa  berarti orang berilmu atau pakar di bidangnya. Dalam al-Qur’an, kata ulama disebutkan dua kali (QS asy-Syu’ara’/26:197 dan QS Fathir/35: 28) dengan konteks yang berbeda. Pada ayat 197 surat asy-Syu’ara’, ulama yang dimaksud adalah ulama Bani Israel yang mengetahui bahwa al-Qur’an benar-benar tersebut dalam kitab suci mereka. Sedangkan ulama pada ayat 28 surat Fathir,  ulama yang dimaksud adalah memahami ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat qauliyyah. Ciri utama ulama dalam ayat ini adalah takut kepada Allah SWT.

Jika diintegrasikan dengan hadis Nabi SAW, maka dapat ditegaskan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi (al-ulama’ waratsatul anbiya’) (HR. Abu Daud).  Sosok ulama yang dikehendaki oleh hadits Nabi SAW ini adalah ulama yang memiliki kapabilitas dan kompetensi dalam mengemban visi dan misi profetik, bukan sekadar tugas profesional sebagaimana layaknya dokter atau guru. Menjadi ulama bukan pilihan profesi, tetapi panggilan iman dan tuntutan moral keummatan dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, profil  ulama Muhammadiyah itu harus mampu mengemban peran kenabian berupa penyampaian misi dakwah amar makruf nahi mungkar. Ulama tidak cukup hanya piawai berbicara di depan umat (kompetensi komunikasi), tetapi harus menjadi teladan moral terbaik dan terdepan (uswah hasanah) bagi umatnya dalam hidup berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (kompetensi moral). Sebagai pewaris Nabi, ulama Muhammadiyah adalah figur yang mumpuni dalam bidang keilmuannya yang mampu mencerahkan, mencerdaskan, memberdayakan, dan membela kepentingan umat dan rakyat (kompetensi professional). Ulama Muhammadiyah juga idealnya mampu memberi solusi cerdas bagi permasalahan yang dihadapi umatnya (kompetensi sosial keummatan). Selain itu, ulama Muhammadiyah harus menjadi sumber referensi masalah-masalah keagamaan dan akhlak mulia (akhlaq karimah), sekaligus menguasai literasi dan wawasan sains dan teknologi yang membuatnya semakin takut kepada Allah SWT (QS. Fathir/35: 28) (Kompetensi agama dan sains).

Selain itu, kompetensi kebahasaan, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris, merupakan kompetensi instrumental yang harus dikuasai, sehingga dengan Bahasa Arab misalnya ulama mampu mengakses dan memanfaatkan literatur (maraji’) berbahasa Arab dalam berbagai bidang keilmuan seperti ulum al-Qur’an, tafsir, ulum al-Hadits, ushul fiqh, fiqh, hadharah, ilm al-kalam, tasawuf, manthiq (logika), dan sebagainya dalam rangka pengembangan karir keulamaannya.

Menurut KH. Anang Rikza Masyhadi, MA. dalam webinar nasional “Pesantren Muhammadiyah sebagai Pusat Kaderisasi Ulama: Realitas, Harapan, dan Tantangan” pada 20 November 2020, profil ulama Muhammadiyah itu harus menguasai khazanah Islam klasik dan kontemporer. Penguasaan khazanah tentu harus ditopang kompetensi kebahasaaraban yang mumpuni. Selain itu, ulama Muhammadiyah menguasai wacana dan isu-isu kekinian (yang sedang berkembang di masyarakat), memiliki bobot ketokohan, kompetensi kepemimpinan, kiprah yang luas dalam pengabdian kepada masyarakat, dan keteladanan yang baik (uswah hasanah).

Ulama Muhammadiyah bukan hanya piawai berbicara di depan umat dengan kompetensi public speakingnya, tetapi menurut Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA., ulama Muhammadiyah juga idealnya mahir berkarya, menulis dan mewariskan legasi keilmuan. Ulama Muhammadiyah harus memiliki tradisi intelektual yang terbina dan terbangun sejak proses pendidikan kader ulama. Para ulama masa lalu, masa kini, dan masa depan harus produktif menghasilkan pemikiran dan gagasan yang terpublikasikan (kompetensi kekaryaan)

Pada tataran praksis, profil ulama Muhammadiyah idealnya juga dapat bermitra dan bersinergi peran dengan aparat penegak hukum dalam memberantas kemungkaran, kemaksiatan dan pelanggaran hukum melalui dakwah pencerahan, amar makruf nahi munkar. Jadi, figur ulama Muhammadiyah itu mempunyai integritas iman, ilmu, dan amal shalih yang  diaktualisasikan dalam bentuk kontribusi positif bagi pembangunan bangsa, bukan sekadar menjadi “stempel pemerintah” saat dibutuhkan (kompetensi kepribadian).

Sistem Pendidikan Ulama

Oleh karena itu, pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah harus diorientasikan kepada penguatan substansi keilmuan, keislaman  (tafaqquh fi ad-din) dan kemasyarakatan (mundzir al-qaum) (QS at-Taubat/9: 122), di samping pemahiran ilmu alat (bahasa Arab, bahasa Inggris, dan lainnya) dan metodologi penelitian, khusunya ushul fiqh dan manhaj tarjih melalui sebuah lembaga pendidikan yang terprogram dengan baik (by design). Ulama Muhammadiyah wajib mahir membaca kitab berbahasa Arab, baik kertasnya berwarna kuning maupun putih, di samping juga menguasai bahasa asingnya lainnya, karena dewasa ini referensi keislaman dan keilmuan tidak terbatas dalam bahasa Arab semata.

Sistem Pendidikan ulama Muhammadiyah juga idealnya berorientasi liberatif, membebaskan peserta didik dari sekat-sekat latar belakang sosial ekonomi dan budaya, dengan membuka cakrawala berpikir dan wawasan global (internasional). Selain itu, Pendidikan ulama Muhammadiyah diarahkan kepada pengembangan kompetensi dalam beristinbat hukum, melakukan tarjih dan mengeluarkan fatwa hukum dengan didukung metodologi istinbat hukum yang tepat dan menguasai fiqh lintas mazhab dan lintas zaman.  Pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah diharapkan dapat memberikan kognisi dan keterampilan menjadi problem solver sejumlah persoalan keummatan dan kebangsaan.

Pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah ke depan tampaknya perlu melibatkan ulama-ulama dari dunia Islam sebagai pendidik atau narasumbernya, sehingga para kader ulama sudah terbiasa berinteraksi, berdiskusi, dan berdebat dengan mereka dalam forum akademik dan ilmiah. Jika hal ini belum memungkinkan, sangat diharapkan PP Muhammadiyah dapat menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan ulama dan fatwa di berbagai Negara Timur Tengah seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan lainnya untuk menjadi tempat “pemagangan calon-calon ulama” Muhammadiyah, sambil memperkuat kemahiran mereka dalam berbahasa Arab dan membuka cakrawala pemikiran mereka.

Pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah juga perlu melakukan perekrutan calon-calon kader dari seluruh wilayah tanah, agar bibit-bibit ulama ini tersebar dan bersemi di wilayah Nusantara. Hasil dari pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah harus dapat dirasakan manfaat dan kontribusinya, tidak hanya bagi persyarikatan, tetapi juga bagi umat dan bangsa, bahkan dunia.

Tantangan zaman ke depan menghendaki lahirnya ulama-ulama Muhammadiyah yang mampu melakukan ijtihad kolektif, ijtihad lintas-keilmuan, dan ijtihad kebangsaan. Pada akhirnya sistem pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah tideak saja menghasilkan ulama tarjih dan tajdid, melainkan juga ulama pendidikan, ulama hukum, ulama sosial budaya, ulama ekonomi dan perbankan, ulama politik, dan sebagainya yang bervisi keislaman, keilmuan, dan keummatan.

Pendidikan dan pengkaderan ulama Muhammadiyah juga harus diletakkan dalam kerangka membangun budaya keilmuan dan networking keulamaan. Karena itu, wawasan kemuhammadiyahan, keummatan, dan internasional perlu diinternalisasikan pada diri kader ulama, sehingga kelak mereka bisa bermitra dan bersinergi dengan umara’ (pemimpin bangsa pada level apapun), berdialog,dan berdiskusi dengan ulama dunia dalam membangun peradaban Islam berkemajuan.

Dengan demikian, redesign sistem pendidikan ulama Muhammadiyah harus dimulai dari penataan sistem pendidikan pesantrenMu yang didesain memiliki standar kurikulum sebagaimana ditetapkan oleh LP2PPM, peningkatan kapasitas dan kompetensi para ustadz pesantrenMu, terutama dalam berbahasa asing (Arab dan Inggris), kompetensi tahfizh al-Qur’an dan hadits. PesantrenMu harus dikelola dengan manajemen modern, kredibel, akuntabel, dan transparan; berorientasi menuju pesantren mandiri, modern, moderat, dan berkemajuan. Konsep pendidikan holistik integratif (fungsionalisasi tripusat pendidikan: rumah, pesantren, dan masyarakat; pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotorik, dan mental spiritual; teori dan praktik) yang selama ini dikembangkan dalam sistem pendidikan Muhammadiyah penting menjadi spirit dan kekhasan pesantrenMu.

Lulusan pesantrenMu tentu saja tidak langsung dapat diandalkan menjadi ulama dengan segenap kompetensinya tersebut. Akan tetapi, pesantrenMu setidak-setidaknya didesain menyiapkan bibit unggul calon ulama yang kelak bisa “dikader dan dimatangkan” pada PUTM atau program Pendidikan kader ulama sejenis, baik di lingkungan PTM atau difasilitasi mobilitas intelektual para lulusan pesantrenMu untuk dapat studi lanjut di sejumlah universitas di Timur Tengah. Oleh karena itu, sangat diperlukan keterpaduan kebijakan, strategi, dan langkah operasional antara pesantrenMu dan PUTM PPM, terutama dalam berinvestasi penyiapan ulama Muhammadiyah masa depan.

Semoga minat menjadi kader ulama Muhammadiyah dapat ditumbuhkembangkan melalui kebijakan afirmatif dan strategis, terutama oleh PP Muhammadiyah dalam merespon kelangkaan ulama. Harapan yang sama juga dialamatkan kepada para lulusan pesantrenMu dan PUTM agar memiliki tetap loyalitas pengabdian dalam berjuang “menggerakkan dan menghidup-majukan Muhammadiyah, dan tidak mencari hidup dalam Muhammadiyah.” Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN SYarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah. Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 12/XVIII, Rabiul Akhir 1442H/Desember 2020. (mf)