Recharging Energi Spiritual Refleksi Ramadhan
Â
Prof Dr H Nasaruddin Umar MA
Puasa bukan sekadar menahan lapar, dahaga, dan hubungan seks. Yang lebih penting, puasa sebagai proses reinstalling nilai-nilai luhur (fitrah) yang mungkin selama ini terjangkiti virus materialisme yang akut. Puasa berfungsi sebagai recharging energi feminin dan kelembutan ke dalam jiwa kita. Puasa juga berfungsi sebagai spiritual training untuk mencontoh sifat-sifat Irububiyah Tuhan, sebagaimana diserukan dalam hadis, takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Alquran menyebutkan, huwa yuth'im wa la yuth'am (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan) (QS 6: 14) dan lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan) (QS 6: 101).
Â
Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks, sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, yaitu memberi makan orang yang butuh. Dengan berpuasa, kita berharap memperoleh memori spiritual baru yang bersih dari berbagai virus yang menghalangi nurani kita untuk menjalani kehidupan ini secara benar, sesuai dengan tuntunan Ilahi. Dengan menjalani ibadah puasa, kita berharap mencapai kualitas insan kamil (manusia paripurna), kualitas spiritual yang paling didambakan oleh para pencari Tuhan (salik). Insan kamil sesungguhnya tidak lain adalah internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita sebagaimana dicontohkan oleh teladan kita, Rasulullah SAW.
Bulan puasa disebut juga bulan Ramadhan (secara harfiyah berarti menghanguskan, menghancurkan).
Â
Setelah 11 bulan kita terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (Â power struggle), dalam bulan Ramadhan kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani kita yang sejuk dan penuh dengan suasana lembut (Â nurturing). Bulan Ramadhan ibarat oasis di tengah padang pasir, ia memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu. Bulan Ramadhan adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan.
Â
Allah SWT menggambarkan diri-Nya di dalam dua kualitas, yaitu kualitas kejantanan ( jalaliyyah/struggling) melalui sifat-sifat-Nya yang lebih menonjol sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang daripada Tuhan Yang Maha Pemurka dan Maha Pendendam. Seolah-olah, Allah SWT memperkenalkan diri-Nya tidak untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai. Seorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, berserah diri, struggling, dan menakutkan. Di sisi lain, seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat imanen, dekat, dominan, struggling, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti.
Â
Di dalam bulan suci Ramadhan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God. Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri (>taqarrub) kepada Tuhan ialah jalur yang pertama. Bahkan, Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi pernah mengatakan kepada muridnya, ''Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi 'perempuan'.'' Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat Aljalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat Aljamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadhan, yang juga disebut bulan cinta (Syahr Alhubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Feminine God.
Â
Sebagai orang yang berpuasa, selayaknya tidak saja menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, melainkan juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Idealnya, orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwwah basyariyyah, ukhuwah Islamiyyah, dan ukhuwah makhluqiyyah sebagai sesama ciptaan Tuhan. Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Selain akan dilihat sebagai rahmat oleh sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, yang bersangkutan juga akan mengalami pengalaman spiritual yang mengasyikkan. Seorang yang memiliki takwa akan merasakan kelapangan dada, meniru sifat Tuhan yang Mahalapang (Â Alwasi').
Â
Hujatan dan celaan atau pujian dan sanjungan, apa pun yang ditujukan orang kepadanya, tidak lagi akan ditanggapi dengan emosi yang berlebihan karena dadanya sedemikian lapang hingga mampu menampung semuanya. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki unsur ketakwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif. Jika dihujat, dadanya terasa sumpek dan jika disanjung, lehernya akan bertambah panjang. Orang yang bertakwa sulit dikenali kapan ia ditimpa musibah dan kapan ia dikaruniai rezeki. Ia memberikan respons yang biasa untuk semua yang datang kepadanya.
Â
Bagi orang yang bertakwa, musibah dan bala serta berbagai bentuk penderitaan dan kekecewaan lainnya dianggap sebagai 'surat cinta' Tuhan. Mungkin, selama ini, Tuhan ingin menyapanya, tetapi ia tidak sensitif karena ditutupi oleh berbagai kecukupan hidup. Lalu, Tuhan mengirim trigger berupa musibah atau cobaan untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Tidak sedikit orang yang ditimpa musibah dan bencana kemudian menjadi lebih dekat dengan Tuhannya, jauh lebih dekat ketimbang sebelum musibah dan bencana itu datang. Bahkan, bagi orang yang bertakwa, dosa dan maksiat pun dijadikan pintu masuk untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan penyesalan yang mendalam, ia berikrar untuk menjadikan dosa dan maksiat yang baru saja dilakukannya sebagai dosa terakhirnya.
Â
Ia betul-betul menyesali serta meratapi dosa dan maksiat itu sehingga membuat dirinya lebih pasrah kepada Tuhan. Kalau Tuhan akan memasukkannya ke dalam neraka, ia pasrah karena memang merasa pantas masuk ke dalam neraka dengan dosanya itu. Respons para pendosa seperti ini mengundang pengampunan dan kasih sayang Tuhan terhadapnya sebagaimana hadis Nabi yang dikutip Al Gazali di dalam Ihya 'Ulum al Din, ''Tuhan lebih senang mendengarkan jeritan tobatnya para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama.''
Â
Orang yang bertakwa akan menyadari Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (Â khalaif al ardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan manusia daripada Tuhan makrokosmos. Karena, pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengeksploitasi alam raya sampai di luar ambang daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.
Â
Tuhan tidak hanya memerhatikan kepentingan manusia sebagaimana pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) pada manusia. Seolah-olah, konsep taskhir adalah 'SIM' untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu sebagai the feminine nature yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem. The feminine nature sesungguhnya tidak lain adalah manifestasi sifat-sifat rububiyah Tuhan.
Â
Rububiyah seakar kata dengan kata rab yang secara harfiah berarti memelihara, mengasuh, dan melindungi, seperti kata Tuhan, ''Alhamdulillahi rabbil 'alamin'' (segala puji bagi Allah, pemelihara alam semesta). Orang tua yang begitu tulus mengandung, melahirkan, memelihara, dan mengasuh anaknya memiliki sifat-sifat inti rububiyah sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Isra' (17): 24, ''Rabbi irham huma kama rabbayani shagira'' (wahai Tuhanku, kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah memelihara aku di waktu kecil).
Â
Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan The Feminine God. Jika demikian, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al 'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah thayyibah wa Rab Al Gafur) di tingkat mikrokosmos.
Â
Hanya mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan segitiga antara Tuhan, mikrokosmos, dan makrokosmos. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa dalam menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representatif Tuhan di bumi. Orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling sejati. Mereka menganggap dirinya sebagai makhluk mikrokosmos yang mempunyai konsep kesatuan dengan makhluk makrokosmos. Di tingkat kemanusiaan, mereka dengan sendirinya berupaya menyingkirkan berbagai kesenjangan sosial yang ada di dalam masyarakat dalam upaya mewujudkan keutuhan sesama makhluk mikrokosmos. Konsep integralistik secara internal dan secara eksternal ini merupakan perwujudan perilaku insan kamil dan inilah perspektif Islam tentang keberadaan manusia. Semoga Ramadhan kita kali ini membuat kita lebih feminin.
Â
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 1 September 2008
Penulis adalah mantan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta