Rasisme, "Nir-tepasalira" Global, dan Islamofobia

Rasisme, "Nir-tepasalira" Global, dan Islamofobia

Ima Sri Rahmani

 

Islamofobia ialah satu kata yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan politik dan sosial di tingkat lokal maupun global. Kini, kata itu tidak hanya digunakan di negara minoritas Muslim, tetapi juga di negara mayoritas Muslim. Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan, “Apa sebenarnya yang dimaksud islamofobia?” Pertanyaan ini akan membawa kita kepada penelusuran penggunaan kata ini.

Di masa lalu, literatur lebih banyak membahas islamofobia dalam konteks Eropa (khususnya Perancis) dan negara jajahannya. Setelah peristiwa 11 September dan serangkaian bom bunuh diri atas nama agama, kajian mengenai islamofobia berkembang pesat di Amerika Utara dan Eropa. Selanjutnya, media sosial memfasilitasi islamofobia menjadi fenomena global. Apakah itu islamofobia?

Secara harfiah, phobia dapat diartikan sebagai 'ketakutan' yang tidak logis terhadap suatu obyek. Islamofobia dapat dimaknai secara sederhana sebagai ketakutan yang tidak logis terhadap Islam. Dengan kata lain, islamofobia adalah masalah Islam.

Namun, definisi tersebut tidak mampu merepresentasikan secara menyeluruh pengalaman yang dialami oleh ‘Muslim’ sebagai korban karena hanya terfokus kepada term ‘Islam’. Sehingga dapat dipahami, mengapa kemudian isu yang berkembang menjadi ‘lingkaran setan’ perdebatan antara kebebasan berpendapat dan sekularisme di satu sisi yang menekankan pada sistem yang berlaku di masyarakat dan kebebasan beragama di sisi yang lain yang menekankan pada masyarakat sebagai pemeluk agama.

Ide utama dalam perdebatan tersebut adalah hukum dibuat untuk melindungi manusia, bukan agama. Oleh karena itu, agama menjadi entitas yang patut dikritisi untuk melindungi manusia. Di sisi yang lain, kebebasan beragama dan beribadah merupakan hak asasi yang bersifat universal. Akibatnya, Islamofobia menjadi konsep ‘licin’, ambigu, sehingga mudah disalahpahami.

 

Tataran ilmiah

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghindari kesimpulan yang keliru adalah dengan menelaah kata “islamophobia” dalam tataran ilmiah. Sebagai contoh, berdasarkan analisis terhadap sejumlah artikel ilmiah, kata ini muncul pertama kali di wilayah Eropa pada 1999 hingga kemudian muncul di wilayah Asia pada 2005.

Hal lain yang menarik adalah jumlah artikel yang membahas tema tersebut di wilayah Asia hanya sedikit hingga 2010. Artinya, sampai 2010, ‘masalah Islam’ belum menjadi tema yang dianggap penting untuk diteliti di kawasan ini. Baru kemudian berkembang pada 2017 dan mencapai puncaknya pada 2019 hingga kini.

Setidaknya sampai 2020, isu islamofobia ini jarang dibahas, terutama oleh peneliti Asia, kecuali di Cjhina, Mesir, Taiwan, India, dan Jepang. Tema kajian menyangkut berbagai isu seperti politik, studi migrasi, tema pendidikan, tema feminisme dan psikologi, LGBTQ, rasisme, hingga sufisme. Kondisi sosial dan politik di Eropa, Amerika dan Inggris ditemukan telah memberikan pengaruh penting.

Fakta tersebut memberikan informasi bahwa islamofobia tidak memiliki akar sejarah di kawasan Asia. Studi Islamofobia sangat dipengaruhi oleh berbagai peristiwa dan isu global. Kata Islamofobia beredar dalam artikel ilmiah yang diterbitkan di kawasan Asia secara unik terjadi setelah serangan 11 September dan serangkaian serangan terorisme berlatar belakang agama yang lainnya.

Perlu digarisbawahi bahwa secara umum, artikel-artikel tersebut tidak membahas secara khusus tentang islamofobia sebagai tema utama. Namun, dalam hal ini, islamophobia hanya merupakan bagian dari subyek utama analisis. Secara umum analisis ini penting untuk memberi gambaran bahwa islamofobia secara sejarah muncul dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Barat terhadap sesuatu yang dipahami sebagai masalah bagi mereka, yaitu Islam. Melihat kenyataan ini, bagaimana sebaiknya memahami islamofobia saat ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin menekankan kepada hasil analisis bahwa setiap negara memiliki subyek penelitian mengenai islamofobia yang berbeda, tergantung kepada tujuan, kebutuhan, dan kepentingan yang muncul di negara tersebut. Dalam hal ini, iklim politik dan pengalaman sejarah masing-masing negara menjadi penentu. Dengan demikian, konsep Islamofobia pun dapat ditafsirkan secara berbeda untuk tempat dan waktu yang berbeda. Hal ini mendukung tesis para sarjana, seperti Khaled Beydoun dan Chyra Choudhury (2019) dan Farid Hafez (2020), yang mengatakan bahwa konteks merupakan faktor penentu yang dapat mempengaruhi pemaknaan konsep islamofobia.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, konsep islamofobia secara umum membahas tentang tentang stigma anti-Muslim, persoalan tentang jender, perempuan, pengungsi, dan identitas. Adapun di Inggris, konsep islamofobia ini banyak digunakan ketika membahas pengaruh neoliberalisme terhadap komunitas Muslim dan hambatan-hambatan politik yang dapat mendorong munculnya kekerasan terhadap komunitas ini.

Di Eropa secara umum, kata islamofobia ini digunakan dalam kajian-kajian tentang pengungsi, imigran, integrasi, terorisme dan isu-isu budaya termasuk tema LGBT. Turki merupakan tema yang dianggap penting di kawasan ini. Dalam konteks global, istilah Islam, Muslim, dan media sangat penting. Kajian hukum di tingkat negara dalam menetapkan regulasi terkait hak asasi manusia dan kebebasan berbicara mengemuka. Persoalan narkoba dan identitas serta strategi yang digunakan dalam menangani masalah ini menjadi bagian dari pembahasan di tingkat global.

Dengan demikian, jelas bahwa kata islamophobia bekerja di dalam persoalan yang berbeda di empat konteks masyarakat yang berbeda. Hal ini mendukung asumsi bahwa islamofobia adalah konsep yang ambigu. Membahas konsep ini dalam konteks masyarakat di Inggris akan menyesatkan, ketika kita menggunakannya untuk memahami dinamika masyarakat di Amerika atau di Eropa. Bahkan dalam konteks global, kata ini dapat menunjukkan realitas yang berbeda dengan apa yang terjadi di negara asal kata tersebut, yaitu Eropa. Apa yang dapat kita simpulkan dari fakta ini?

Saya menemukan bahwa konsep ini memiliki kemampuannya untuk dapat menutupi realitas. Dalam artikel-artikel tersebut misalnya, ada berbagai realitas yang ditutupi dan jauh dari konsep ‘phobia’ terhadap ‘islam’. Realitas tersebut adalah Afrofobia, Arabofobia, Xenofobia, Transfobia, Homofobia, Hindufobia, Chechenofobia, Shiafobia, dan Sinofobia. Sehingga pada akhirnya, konsep ‘islamofobia’ tidak mampu mengantarkan kepada persoalan yang sebenarnya terjadi. Lalu, apa yang dapat kita lakukan menghadapi persoalan ini?

Sebagai jalan tengah, saya mengajukan satu alternatif solusi yang berbasis pada konsep ‘historikal praxiologis,’ yang diajukan oleh Baudouin Dupret, yaitu menempatkan konsep tersebut pada konteks di mana istilah tersebut diartikulasikan, karena pada kenyataannya, pada tingkat yang paling luas, istilah ini memiliki sejarah yang sangat problematis. Di dalam hal ini saya cenderung sepakat dengan pendapat Andrew Rippin untuk lepas dari definisi semantik, namun melihat secara faktual bahwa islamophobia adalah tentang bagaimana ‘orang dari luar’ Islam (non -Muslim) memahami Islam. Jadi, konsep ini bukan kritik terhadap Islam, tetapi tentang kritik bagaimana orang memahami Islam.

Namun, perspektif tersebut hanya berlaku di negara di mana Muslim adalah minoritas. Oleh karena itu, dalam konteks global saya menambahkan bahwa konsep ‘orang dari luar’ tidak hanya tentang bagaimana non-Muslim memahami Islam, tetapi juga Muslim memahami Islam dan keberislaman orang lain. Dengan demikian, dalam batas tertentu, tidak hanya berbicara tentang Islam atau Muslim saja, tetapi termasuk mereka yang mungkin dianggap memiliki karakteristik identitas keislaman.

Dengan demikian, islamofobia adalah tuduhan atau kondisi mental yang dialami seseorang baik Muslim ataupun non-Muslim dengan menargetkan Islam dan identitas 'keislaman' seseorang. Tuduhan dan kondisi mental ini dapat dilatarbelakangi oleh rasa takut, rasa benci, atau tujuan tertentu yang menyasar individu atau kelompok tertentu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, saya menghimbau bahwa untuk tujuan operasional, ‘islamofobia’ bukanlah kata yang lengkap sehingga membutuhkan konteks yang tepat terkait dengan istilah tersebut. Jika tidak, maka kata islamofobia dapat menjadi sebuah realitas imajinatif yang sangat berbahaya.

Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa islamophobia kini, mungkin, menjadi satu-satunya bentuk rasisme dan intoleransi global yang menyasar bahkan di dalam sel terkecil antar masyarakat muslim sendiri, melampaui batasan ras, dan mampu menjauhkan serta mengaburkan posisi dan fungsi Islam sebagai agama. Fenomenal!

 

 

Ima Sri Rahmani, Peneliti Islamofobia di UCLouvain, Belgia; Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini KOMPAS, Minggu 18 Desember 2022.