Ramadhanisasi Hati, Pikiran, dan Kehidupan
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia (mf)
Ramadhan merupakan bulan suci yang sangat istimewa, penuh berkah dan kebaikan. Ramadhan itu sangat istimewa karena dipilih oleh Allah sebagai bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan (QS. al-Baqarah/2: 185) dan pada salah satu malamnya terdapat Lailatul Qadar, malam kemuliaan yang nilai kualitatifnya lebih baik daripada seribu bulan, setara 83,3 tahun (QS. al-Qadar/97: 3)
Dalam ayat 184 surat al-Baqarah kata “khair”digunakan sebanyak tiga kali. فمن تطوع خيرا فهو خير له، وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون. Hal ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan itu sarat dengan nilai-nilai kebaikan, berorientasi dan bermuara kebaikan bagi para shaimin dan shaimat, bahkan bagi non-Muslim, karena memperoleh dampak sosial ekonomi dari keberkahan Ramadhan.
Oleh karena Ramadhan merupakan bulan baik dan penuh kebaikan, maka menjadi penting agenda Ramadhanisasi hati, pikiran, dan kehidupan. Pertanyaannya, bagaimana kita mewujudkan Ramadhanisasi hati, pikiran, dan kehidupan agar tujuan pensyariatan puasa: la’allakum tattaqun itu dapat tercapai?
Di antara kebaikan Ramadhan yang sangat tepat dijadikan sebagai proyek Ramadhanisasi adalah penyucian diri multidimensi (tazkiyatun nafs li muta’addid al-ab’ad), yaitu: penyucian hati dari penyakit hati, penyucian akal pikiran dari segala yang negatif, penyucian harta kekayaan dari yang bukan menjadi hak kita, dan penyucian amal perbuatan dari segala dosa, pelanggaran, keburukan, dan kemaksiatan.
Dengan kata lain, Ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat dan efektif untuk menyucikan diri dari segala dosa, kesalahan, dan tagihan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Allah atau kewajiban kemanusiaan yang harud diberikan kepada yang berhak. Dalam perjalanan hidup ini, kita pasti pernah berbuat salah dan dosa, baik kesalahan yang berhubungan dengan Allah SWT maupun kesalahan yang terkait dengan sesama. Harus diakuni bahwa diri kita ini memang tidak bersih, sehingga kita tidak boleh merasa paling bersih dan suci. Oleh sebab itu, sangat wajar dan tepat apabila kita terus-menerus menyucikan diri di bulan suci ini.
Jika Nabi Muhammad SAW yang ma’shum (terpelihara dari berbuat dosa) saja selalu beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari, sementara kita yang tidak pernah ada garansi ma’shum, maka sudah semestinya kita berikhtiar lebih dari yang dicontohkan Nabi SAW dalam penyucian diri. Bahkan salah satu teladan penyucian diri dari Nabi SAW yang patut kita tiru adalah bahwa beliau selalu membiasakan berdoa, padahal beliau tidak pernah berdosa:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. اللَّهُمَّ أَلْهِمْني رُشْدِي، وَأَعِذْنِي مِنْ شَرِّ نَفْسِي
"Ya Allah, anugerahkan kepada diriku ini ketakwaannya. Sucikanlah diri ini karena Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menyucikan diri ini. Engkau adalah pelindung dan penolongnya. Ya Allah, berilah aku inspirasi jalan kebenaran, dan jagalah (jauhkanlah) aku dari keburukan diriku" (HR Ahmad dan at-Turmudzi).
Oleh karena itu, sikap positif yang perlu dikembangkan adalah sikap rendah hati (tawadhu’) untuk tidak merasa paling suci, sementara orang lain banyak bergelimang dosa, atau orang lain tidak seshalih diri ini. Dalam hal ini, Allah SWT melarang orang-orang beriman untuk merasa paling suci atau merasa tidak memiliki dosa karena semua manusia pasti pernah berbuat salah dan dosa. Akan tetapi, sebaik-baik orang yang pernah berbuat salah dan dosa itu adalah orang yang mau bertobat, kembali kepada jalan yang benar, dengan memperbanyak istighfar, permohonan maaf dan ampunan kepada Dzat yang Maha Pemaaf dan Pengampun. Allah SWT berfirman:
...وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى. الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
… (Allah) akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan atau menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa. (QS. An-Najm/53: 31-32)
Merasa paling bersih dan suci hanyalah asumsi dan prasangka subyektif terhadap diri sendiri yang pasti keliru, karena Allahlah yang Maha Mengetahui semua yang pernah diperbuat manusia. Merasa paling suci merupakan sebuah kesombongan dan sikap berlebihan, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT. Dengan dilatih merasa lapar, haus, dahaga, sejatinya kita “dipaksa” mengakui kelemahan diri kita, sekaligus merasa pentingnya bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan perlindungan, pertolongan, kasih sayang, dan ampunan-Nya.
Dengan demikian, merasa dan mengakui diri ini tidak suci merupakan sikap positif menuju pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Sikap merasa perlu terus-menerus menyucikan diri, terutama di bulan suci ini, in syaa Allah dapat mengantarkan kepada keberuntungan, kemenangan, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. al-Syams/91: 7-10).
Di ayat lain, Allah juga berfirman:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.
Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat Tuhannya, lalu shalat (QS. al-A’la/87:14-15)
Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri dengan beriman kepada Allah secara hakiki, membersihkan diri dari dosa, berhenti melakukan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang beruntung, yaitu orang terhindar dari siksa akhirat, adalah orang yang bersih, beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, serta mengimani apa yang disampaikan oleh Nabi SAW. Hamba yang menempuh jalan penyucian diri selalu patuh dan tunduk kepada Allah, selalu mengingat-Nya, dan istiqamah dalam melaksanakan shalat. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hatinya bergemetar, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, imannya bertambah kuat; dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (al-Anfal/8: 2)
Aneka amalan wajib dan sunah di bulan suci ini, selain penting ditekuni, ditingkatkan, dan diintensifkan, juga penting dimaknai dalam konteks aktualisasi iman tahqiqi—meminjam istilah Badiuzzaman Said Nursi dalam Rasa’il an-Nur— yaitu iman yang aktual dan kontekstual, iman yang ditransformasi menjadi amal shalih dan amal kemanusiaan yang bermanfaat. Iman tahqiqi harus dibuktikan dengan akhlak terpuji, jujur dan benar dalam berpikir, bersikap, bertutur kata, berkarakter, dan berperilaku.
Penyucian diri idealnya dapat membuahkan gaya hidup (life style) Muslim yang seimbang antara dzikir dan pikir, antara iman, ilmu, dan amal shaleh, dan antara iman, Islam, dan ihsan. Penyucian diri merupakan sebuah proses edukasi dan kristalisasi iman tahqiqi, bukan iman qawli (iman verbal) semata, dalam rangka membentuk dan melahirkan integritas pribadi Muslim yang bertakwa dan berdedikasi tinggi.
Jadi, aktualisasi iman tahqiqi dan penyucian diri itu tidak selamanya mudah, karena setan dan hawa nafsu itu tidak pernah “pensiun” dalam menggoda dan menjerumuskan manusia. Oleh sebab itu, ada empat prinsip yang harus dipedomani dalam penyucikan diri. Pertama, penyadaran diri (al-inshaf), kita harus memiliki kesadaran tinggi bahwa nafs (jiwa, diri) itu perlu dikendalikan, dimenej dan dikelola sebaik mungkin melalui puasa totalitas: puasa perut, puasa syahwat di bawah perut, puasa pancaindera, puasa hati, dan puasa pikiran. Apabila puasa totalitas atau puasa lahir batin dapat dioptimalkan, niscaya puasa semacam ini bisa menjadi ibadah fungsional yang dapat merubah (tranformasi) potensi kebaikan dan energi positif menjadi hamba yang bertakwa.
Kedua, tidak membiarkan nafsu mendominasi diri (adam tabri’ah), dalam arti tidak membiarkan nafs tanpa pengendalian dan kontrol diri, karena nafs bisa menjadi liar dan mudah dikooptasi, digelincirkan atau disesatkan oleh setan. Puasa merupakan salah satu ibadah yang dapat mengedalikan hawa nafsu dan aneka syahwat. Nafsu dan syahwat materi dan dunia memang tidak perlu dimatikan atau dibinasakan, tetapi perlu dikendalikan dan diorientasikan kepada kebaikan dengan meresponi panggilan kebaikan dari Allah yang Maha Baik. Oleh karena itu, landasan teologis puasa diawali dengan panggilan iman (ya ayyuha al-ladzina amanu) dan diakhiri dengan tujuan akhirnya, yaitu la’allakum tattaqun.
Ketiga, berupaya memenangi (al-Intishar) dan mengalahkan dorongan, bujuk rayu setan, dan hawa nafsu. Suara hati nurani harus lebih didengar dan didahulukan, sedangkan bisikan nafsu dan setan harus dienyahkan. Iman tahqiqi dan sabar harus menjadi benteng pertahanan jiwa dari segala musuh kehidupan yang menggelincirkan. Oleh sebab itu, Nabi SAW menjadikan puasa itu sebagai benteng atau perisai diri dari segala yang membatalkan dan merusak nilai ibadah puasa.
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Allah berfirman dalam hadits qudsi: Puasa itu adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya” (HR. Ahmad).
Puasa difungsikan sebagai (جُنَّة) (perisai, benteng pertahanan diri) karena memang puasa akan menjadi pelindung yang akan melindungi pelakunya di dunia dan juga di akhirat. Sebagai pelindung di dunia, puasa akan menghalanginya dari memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti godaan syahwat yang terlarang di saat puasa. Oleh karena itu tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk membalas orang yang menganiaya dirinya dengan balasan serupa, sehingga jika ada yang mencela ataupun menghina dirinya, maka hendaklah dia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.” Adapun sebagai perisai di akhirat, puasa menjadi pelindung yang menghalanginya dari siksa api neraka.
Keempat, bersikap penuh waspada terhadap sesuatu yang potensial menjerumuskan, sehingga jangan sampai “sesuatu yang manis/indah” pada awalnya justeru pelan tapi pasti menghanyutkan dan menyesatkan.” Iman tahqiqi, menurut Said Nursi, senantiasa memberi modal spiritual untuk aktualisasi diri dengan amal shaleh tiada henti sekaligus penyucian diri, melalui ibadah personal maupun ibadah sosial, terutama melalui pendidikan Ramadhan ini.
Oleh karena itu, penyucian diri mengharuskan kita menghindar, bahkan menjauhi bukan hanya hal-hal yang diharamkan, tetapi juga yang syubhat dan berpotensi syubhat. Jika siang hari mampu menahan dan mengendalikan diri untuk tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual (suami istri), padahal semua itu halal di luar Ramadhan, maka hamba yang berpuasa harus bersikap penuh waspada (Ingat, salah satu makna takwa adalah waspada) terhadap perilaku dan gaya hidup terlarang, syubhat, dan perkataan atau perbuatan sia-sia (laghwu, dari kata lagha). Misalnya, membuang-buang waktu (killing times) dengan asyik bermain games, tiktok, gaple, grumpi, ghibah, dan sebagainya sehingga dapat melupakan kewajiban agama dan merugikan diri sendiri. Allah berfiman:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙالَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلوتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ...
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu: orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna (sia-sia)… (QS al-Mu’minun/23: 1-3)
Salah satu “pencuri” yang membuat rugi kehidupan kita ini adalah perkatan dan perbuatan sia-sia. Nabi SAW telah memberikan tuntunan hidup yang terbebas dari laghwu melalui sabdanya berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فَهُوَ لَغْوٌ وَلَهْوٌ إِلَّا أَرْبَعَةَ خِصَالٍ: ملاعبةُ الرجلِ امرأتَه، وتأديبُ الرجلِ فَرَسَه، ومَشْيُه بين الغَرَضَيْنِ، وتعليمُ الرجلِ السباحةَ (رواه النسائي والطبراني والبزار)
“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat dzikrullah (mengingat kepada Allah) merupakan perbuatan sia-sia, seperti: senda gurau dan permainan, kecuali empat hal yaitu: senda gurau suami-istri, melatih kuda, berjalan di antara dua tujuan (mulia), dan mengajarkan berenang.” (HR an-Nasa’i, at-Thabarani, dan al-Bazzar)
Akan tetapi, yang paling sia-sia adalah perbuatan orang-orang seperti yang disebut dalam surat Al-Kahfi (18) ayat 103-105:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا.
''Katakanlah: Maukah kamu, Kami beritahukan tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan-Nya, maka terhapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan penimbangan amal bagi mereka pada hari kiamat.” (QS al-Kahfi/18: 103-15).
Oleh karena kita pernah tahu apakah Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir kita, maka kita harus bertekad kuat untuk meramadhankan hati, pikiran, dan kehidupan sesuai dengan kemampuan kita melalui agenda tazkiyat an-nafs tersebut. Kita ramadhankan hati kita dengan memperbanyak dzikrullah melalui aneka ibadah wajib dan sunah, berdoa, beristighfar, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, bulan pengampunan. Nabi SAW sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk memanjatkan doa, terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadhan: اللهم إنك عفوّ كريم، تحب العفو، فاعف عني (رواه الترمذي وابن ماجه والنسائي)
Selain itu, kita ramadhankan pikiran kita memperbanyak tadarus al-Qur’an karena jamuan Allah ar-Rahman yang sangat spesial adalah al-Qur’an. Ramadhanisasi pikiran tidak hanya dengan mengagendakan tadarus al-Qur’an secara verbal dari Juz pertama hingga khatam, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengkhatamkan pemahaman arti/terjemahan al-Qur’an. Akan lebih bagus lagi, mengkhatamkan pembacaan dan pemaknaan tafsir hingga pengamalan pesan-pesan al-Qur’an.
Ramadhanisasi pikiran juga penting dilakukan dengan terus belajar ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan menjadikan akal pikiran produktif berkarya ilmiah yang mencerahkan dan mencerdaskan umat manusia. Akal pikiran terus dicerahkan dan disehatkan dengan menafakkuri dan menadabburi ayat-ayat Allah yang tertulis dalam kitab suci-Nya dan yang terhampar di semesta raya. Pemahaman terhadap ayat-ayat Qur’aniyyah dan Kawniyyah secara holistik integratif membuat diri ini semakin mendekatkann diri kepada-Nya.
Apabila agenda Ramadhanisasi hati dan pikiran kita dapat diwujudkan dengan baik dan istiqamah, niscaya Ramadhanisasi kehidupan akan menjadi kenyataan. Gaya hidup ala Ramadhan memang perlu menjadi komitmen kita semua, karena menjadi hamba bertakwa itu tidak hanya berlangsung selama berada di bulan Ramadhan. Kita sangat menghendaki suasana, momentum, dan gaya hidup itu seperti Ramadhan, meskipun kita sudah berada di luar Ramadhan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kepada kita semua kekuatan iman, Islam, dan ihsan yang ideal sehingga kita sukses mempertahankan dan mengistiqamahi gaya hidup ala Ramadhan di sebelas bulan berikutnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab!