Ramadhan Sebagai Sistem Pendidikan Holistik Integratif
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Banyak atribut disematkan kepada Ramadhan. Salah satunya adalah bulan pendidikan. Bukan sembarang pendidikan, tetapi pendidikan holistik integratif, pendidikan multidimensi, pendidikan multinilai, dan pendidikan manusia paling humanis. Mengapa Ramadhan penting dimaknai sebagai sistem pendidikan holistik integratif?
Pertama, puasa Ramadhan berlangsung sebulan penuh, 29 atau 30 hari, bukan satu pekan, apalagi dua atau tiga hari. Durasi puasa selama sebulan penuh mengandung makna konsistensi (istiqamah), keberlanjutan, kesungguhan, ketekunan, dan kegigihan. Dengan kata lain, Ramadhan mengedukasi dan membentuk karakter pejuang militan dan tangguh, baik dalam mengendalikan hawa nafsu maupun melawan godaan setan sekaligus memenangi aneka ujian, tantangan, dan hambatan kehidupan.
Kedua, puasa Ramadhan itu didahului (dilandasi) pewajiban shalat lima waktu, saat Nabi SAW diberi kesempatan dan kemampuan berisra’-mikraj menuju Sidratil Muntaha: berangkat dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha dan kembali lagi ke Masjidil Haram, dengan melintasi multilangit, melakukan reuni dengan para nabi, menjelajahi dan membaca ayat-ayat semesta. Artinya, puasa Ramadhan itu panggilan iman, sesuai dengan permulaan ayat 183 surat al-Baqarah (Ya ayyuha al-ladzina amanu), dimodali energi penggerak dalam hati berupa: iman, keikhlasan, dan spirit meraih ridha Allah SWT melalui ibadah Ramadhan.
Ketiga, sistem pendidikan holistik integratif itu berwawasan multidimensional, bernilai pendidikan manusia seutuhnya, dan berorientasi pembebasan (liberasi), pemanusiaan (humanisasi), transendensi, dan integrasi jiwa raga, lahir batin, dunia akhirat. Tujuan pendidikan Ramadhan adalah ”menjadi hamba bertakwa sejatinya bermakna mengantarkan menjadi manusia unggul nan mulia”, karena manusia paling mulia menurut Allah adalah manusia yang paling bertakwa (QS al-Hujurat/49:13)
Keempat, proses transformasi masukan (input) menjadi luaran (output) dalam berpuasa Ramadhan selama sebulan itu berbasis kurikulum pendidikan Ramadhan yang multinilai, multiperspektif, dan multidimensi. Paket kurikulum Ramadhan yang komprehensif dan integratif itu dapat diilustrasikan sebagai berikut.
No. | Dimensi Edukasi | Proses | Materi/Nilai |
1 | Akidah | Meyakini puasa itu syariat bermaslahat dari Allah | Ridha, Ikhlas, khusyuk, taat |
2 | Ibadah | Memulai dengan niat, menetapi syarat dan rukun berpuasa, menjauhi yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa | Muraqabah, Ihsan, merasa diawasi Allah, sabar, tekun, dan istiqamah, qiyam al-lail, iktikaf, berdoa, dsb. |
3 | Muamalah | Berinteraksi sosial, berjamaah, berta’awun, memberi manfaat bagi orang lain | Sedekah, ifthar, infaq, zakat, wakaf |
4 | Akhlak | Membiasakan diri berbudi pekerti luhur, berkarakter positif, dan berintegritas tinggi | Jujur, amanah, syukur, tawadhu’, qanaah, disiplin, sederhana, dermawan |
5 | Pendidikan Jasmani | Menjalani ibadah Ramadhan dengan menjaga kebugaran dan kesehatan fisik, berpola hidup bersih dan sehat | Bangun lebih pagi, menikmati oksigen dan udara bersih dan sehat, olah raga dan istirahat cukup |
6 | Pendidikan Kesehatan | ”Melaparkan diri”, proses autophagi dan autolisis, sehingga sel-sel yang lapar dalam diri akan memakan sel-sel dirinya yang takberguna, sudah rusak atau sudah mati agar tidak menjadi sampah dalam tubuh. Tubuh orang berpuasa akan membersihkan dirinya sendiri | Belajar lapar minimal 8 jam/ hari, berpola hidup sederhana, makan minum secukupnya, memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh secara proporsional |
7 | Pendidikan Intelektual | Mendayagunakan kecerdasan akal untuk merenungi diri, ayat-ayat Allah, berpikir kreatif dan inovatif | Tadarus, tadabur al-Qur’an, riset, dan berkarya |
8 | Pendidikan Ekonomi | Menghidupkan geliat ekonomi umat melalui transaksi sosial ekonomi secara proporsional, tidak berlebihan, dan foya-foya | Belajar sederhana dan berhemat, manajemen keuangan, dsb. |
9 | Pendidikan Sosial | Mengembangkan jiwa sosial dengan menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas umat melalui jamaah | Cinta rumah Allah, cinta dan peduli hamba Allah |
10 | Pendidikan Moral dan Adab | Mengembangkan kepribadian takwa yang membuahkan akhlak mulia kepada Allah, sesama, dan kepada makhluk, dengan meneladani akhlak Allah dan Rasul-Nya | Berperilaku jujur, amanah, benar, terbuka, empati, peduli, tidak dusta, beradab, tidak ghibah, tidak berbuat sia-sia, tidak berguna… |
11 | Pendidikan Mental Spiritual | Membiasakan diri bermental baja, pejuang, bersikap dewasa, berhati cinta kepada Allah, dan berbuat dalam kerangka pendekatan diri kepada-Nya | Ibadah, Jihad an-nafs, mujahadah, muhasabah, mudawamah a’mal shalihah, munajat, istighfar, taubat, zuhud, qanaah, mahabbah, dst. |
12 | Pendidikan Sains dan Teknologi | Memulai perencanaan dan menetapkan awal dan akhir puasa dengan observasi dan saintifikasi hilal, memenfaatkan iptek untuk peningkatan mutu ibadah | Belajar ilmu falak, astronomi, teknologi informatika Ramadhan (jadwal imsakiyah), dsb. |
13 | Pendidikan Manajemen, dan sebagainya | Mengolola diri, memenej hati, pikiran, keuangan, waktu, masjid, aktivitas rutin, perut, dsb secara disiplin, efisien, dan efektif | TQM (Total Quality Management), manajemen mutu terpadu dalam berpuasa |
Tujuan Pendidikan Ramadhan | Mendidik dan membentuk pribadi Mukmin yang bertakwa lahir dan batin, selamat dan berbahagia dunia dan akhirat, unggul dan mulia di mata manusia dan di sisi Allah SWT. |
Idealisasi Pendidikan Ramadhan
Ibadah Ramadhan itu idealnya bukan hanya memuasakan raga di siang hari, tetapi juga memuasakan pancaindera, anggata badan, hati dan pikiran, sepanjang hari selama Ramadhan. Idealisasi pendidikan Ramadhan itu diagendakan untuk menghasilkan Mukmin bertakwa yang superproduktif. Karena Ramadhan mendidik dan memotivasi jiwa-raga Mukmin untuk berumur produktif , beramal shalih melampaui rerata usia umat Nabi Muhammad SAW (antara 60-70 tahun).
Oleh sebab itu, Allah menyediakan megabonus nilai kebaikan dengan memfasilitasi upaya pencapaian lailatul qadar. Pendidikan spiritual untuk mencapai produktivitas nilai kebaikan itu disediakan fasilitas transformasi diri melalui i'tikaf, sebuah ibadah personal dengan penuh keikhlasan dan ketekunan yang dijalaninya hanya di rumah Allah (masjid) yang suci pada malam hari dengan penuh mujahadah, terutama pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
I'tikaf merupakan edukasi kesadaran transendental dan introspeksi diri untuk meraih kedekatan dan cinta-Nya yang sejati. I’tikaf juga merupakan ibadah yang mendidik dan memacu semangat perjuangan spiritual (mujahadah) dengan simbol ”mengencangkan ikat pinggang” (banyak terjaga, tidak tidur), menghidupkan malam-malam terakhir Ramadhan, tekun beribadah di rumah-Nya, semata-mata untuk memperoleh kemenangan dan kesucian diri sekaligus meraih janji-Nya: lailat al-qadri khairun min alfi syahr (Malam kemuliaan itu lebih baik [nilainya] daripada seribu bulan atau 83 tahun 3 bulan).
Selain itu, idealisasi puasa Ramadhan harus membuahkan fungsionalisasi puasa sebagai perisai atau benteng ketahanan mental spiritual Muslim (as-shaumu junnah) agar Mukmin senantiasa berada dalam keseimbangan diri dan orientasi hidup seimbang (proporsional) antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Pendidikan Ramadhan memproteksi diri Mukmin untuk tidak watak hina dan murahan, sebaliknya berkepribadian mulia dan memiliki harkat dan martabat tinggi di mata Allah. Sebab, orientasi duniawi dan watak rendahan itu bersumber dari hawa nafsu dan godaan setan. Pendidikan Ramadhan yang ideal itu idealnya sukses mengendalikan hawa nafsu sekaligus mengelola potensi mental-spiritual dengan meneladani sifat-sifat luhur ketuhanan (al-Asma’ al-Husna) dan nilai-nilai kemanusiaan (akhlak mulia).
Dengan demikian, ibadah Ramadhan merupakan bulan pendidikan mental spiritual yang sangat ideal. Menurut Imam al-Ghazali (w. 1111), melalui pendidikan Ramadhan, Mukmin dididik untuk memiliki kompetensi transformasi spiritual dari manusia yang berwatak sebagai “budak hawa nafsu” (‘abdul hawa) menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang menyucikan dirinya. Dengan kata lain, puasa berorientasi pada pembentukan karater atau watak Mukmin yang tangguh, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsunya, dan selalu merasa diawasi dan bersama Allah SWT (ma’iyyatullah). Jadi, perilaku Mukmin yang berpuasa semestinya selalu mencerminkan akhlak Alquran atau akhlak Allah SWT.
Puasa sebagai Pendidikan Transformatif
Dengan mengendalikan dan mengelola hawa nafsu –sejalan dengan makna leksikal shiyam atau shaum (puasa), puasa sejatinya adalah proses transformasi mental-spiritual dari watak kebinatangan dan kesetanan menuju watak kemanusiaan dan ketuhanan yang ideal, mulia. Itulah hakikat puasa transformatif. Jika seorang Mukmin tidak mampu melakukan trasformasi diri menuju perbaikan moral, berarti ia gagal dalam berpuasa. Puasanya boleh jadi hanya sebatas puasa “perut dan di bawah perut”, puasa fisik, atau puasa lahir.
Oleh karena itu, Nabi SAW berulang kali mewanti-wanti umatnya agar berpuasa ideal, tidak sekadar puasa fisik tersebut, atau dalam terminologi al-Ghazali disebut “shaum al-‘awam”. Akan tetapi, sinyalemen dan prediksi Nabi SAW: "Betapa banyak orang berpuasa, tetapi yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata" (HR al-Bukhari dan Muslim), tampaknya terbukti. Jika hasil puasa hanya lapar dan dahaga, maka puasanya hanya menahan rasa lapar dan dahaga di siang hari, padahal Pendidikan transformatif terpenting dari puasa Ramadhan adalah perubahan mental-spiritual; menjadi orang yang bertakwa; menjadi hamba yang mulia, bukan penghamba nafsu dan syahwat yang dapat menjadikan manusia hina dina, manusia rendahan dan murahan.
Selain itu, puasa Ramadhan juga mengedukasi Mukmin untuk melejitkan kecerdasan mental spiritual. Pembiasaan bangun pada waktu sahur mengandung hikmah bahwa Mukmin harus disiplin waktu, disiplin berpola makan dan minum secara teratur, disiplin beribadah, disiplin bermuamalah, disiplin bekerja, dan disiplin beristirahat. Waktu sahur, kata Nabi SAW., adalah waktu yang paling tepat, tidak hanya untuk memulai aktivitas baru, melainkan untuk beristighfar dan mendekatkan diri kepada Allah, karena pada waktu sahur inilah para malaikat turun ke bumi untuk menghampiri dan "mendata" para hamba-Nya yang sedang bermunajat kepada-Nya dan menyampaikannya kepada Allah SWT agar permohonan mereka dikabulkan. Bahkan, di antara ciri hamba bertakwa itu adalah membiasakan beristighfar kepada Allah di waktu sahur (QS adz-Dzariyat/51: 18).
Dari segi medis, pembiasaan diri bangun pada waktu sahur merupakan edukasi Kesehatan yang memungkinkan Mukmin menikmati dan mencukupi supplay oksigen paling murni, bersih dan segar, sehingga kebutuhan oksigen tubuh dapat dipenuhi, sehingga pada gilirannya pikiran menjadi lebih fresh, jernih dan cerdas. Dan pendidikan transformatif itu dimulai dari disiplin bangun tidur dengan asupan jasmani dan rohani yang membugarkan jiwa dan raga, sekaligus mendapat dukungan spiritual dari doa Nabi SAW: “Ya Allah, berkahilah (berikan kebaikan, keutamaan, keunggulan) kepada umatnya yang selalu bangun pagi hari (waktu sahur) (HR Abu Dawud).
Dimensi kecerdasan intelektual dan spiritual lain dari puasa Ramadhan adalah pembiasaan bertadarus al-Qur’an. Ramadhan itu sendiri merupakan syahr al-Qur’an. Melalui tadarus ini Mukmin dilatih dan dibiasakan back to al-Qur’an. Selama sebelas bulan, boleh jadi Mukmin jarang menyimak, membaca, dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam Ramadhan ini, “menu spiritual” paling mencerahkan adalah mengakrabi dan bercengkrama dengan al-Qur’an. Nabi SAW bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau belajar al-Qur’an dan mengajarkan atau mengamalkannya." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tadarus al-Qur’an selain menentramkan jiwa dan mendamaikan hati, juga meningkatkan spiritualitas dan moralitas atau dzikir yang superdahsyat. Bukankah akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an?
Oleh karena itu, puasa transformatif harus dikontekstualisasikan dengan menghadirkan perubahan penting dalam kualitas Mukmin dalam berbagai aspek kehidupannya. Puasa transformatif adalah puasa yang terencana dan bermakna dengan berbagai agenda perubahan mental spiritual yang sudah diniati sejak awal Ramadhan. Puasa transformatif menghendaki setiap Muslim membuat perencanaan "materi atau menu spiritual" puasa, mulai dari optimalisasi amalan wajib hingga peningkatan amalan sunnah. Jadi, hari-hari Ramadhan tidak dilalui dengan sekadar tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari Ramadhan, akan tetapi juga harus diintensifkan ibadah seperti: qiyamul lail (tarawih), tadarus al-Qur’an, zikir, i'tikaf, sedekah, zakat, dan sebagainya.
Puasa transformatif idealnya juga menjadikan shaimin (puasawan) dan shaimat (puasawati) lebih sehat dan kuat, memiliki kebugaran jasmani dan ruhani, sehingga tampil lebih produktif dan kreatif. Karena itu, Mukmin harus selalu mawas diri, sesuai makna leksikal taqwa, dan bermuhasabah (evaluasi diri) terhadap kebermaknaan puasa yang pernah dijalaninya tahun lalu. Tentu, kita semua berharap sukses dalam mewujudkan puasa transformatif sebagai sistem pendidikan holistik integratif sehingga menjadi muttaqin yang berakhak Islami.
Akhirul Kalam
Kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahi hamba beriman syariat ibadah Ramadhan yang dapat dimaknai sebagai sistem pendidikan holistik integratif. Oleh karena itu, Ramadhan harus didesain sebagai madrasah atau pesantren kehidupan. ”Lulusan Ramadhan” idealnya memiliki kompetensi akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak yang dipadukan dengan mental spiritual yang tinggi dalam pengendalian diri, dalam mengendalikan hawa nafsu dan melawan godaan setan. Madrasah Ramadhan tentu sangat diharapkan membuahkan kemenangan hakiki sekaligus kemenangan transformatif, sehingga dapat merubah manusia yang berkarakter biantang menjadi manusia unggul dan mulia yang mampu meneladani sifat-sifat Allah, dari menghambakan diri kepada hawa nafsu (’abdul hawa) menjadi ’abdullah (hamba Allah) yang setia pada ajaran agamanya dan berakhlak mulia.
Sebagai integrasi pendidikan ijtihad, mujahadah dan jihad multidimensi, Ramadhan mendidik Mukmin hakikat menjadi hamba dan khalifatullah fi al-ardh yang bermentalitas pemenang, bukan pecundang. Ramadhan menjanjikan ”arena jihad hakiki” (jihad an-nafs, jihad asy-syayathin, jihad kufr wa an-nifaq) yang dapat mengantarkan hamba kepada kesucian hati, kearifan pikiran, dan kemuliaan kepribadian. Kualitas pribadi (personal quality) seperti inilah yang menjadi esensi orang yang bertakwa.
Oleh sebab itu, kemenangan spiritual Idul Fitri, menurut al-Qur’an, harus disuasanai takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih. Kemenangan melalui proses pendidikan Ramadhan juga harus disyukuri (QS. al-Baqarah [2]:185), tidak disikapi dengan takabur, arogansi, foya-foya, tabdzir, dan kepalsuan kepribadian atau kembali ke watak dan karakter lama: karakter negatif ala binatang. Ulat bertransformasi menjadi kupu-kupu nan indah dan mempesona setelah berpuasa dalam kepompong selama 36 hari. Artinya, pendidikan holistik integratif dengan aktualisasi paket kurikulum Ramadhan yang komprehensif itu, insya Allah, dapat diwujudkan dengan memadukan puasa Ramadhan (sebulan) plus 6 hari di bulan Syawwal.
Kemenangan dalam menempuh jalan takwa secara istiqamah memang patut dirayakan pada 1 Syawwal dengan melaksanakan shalat Idul Fitri di tanah lapang (lapangan) sebagai simbol keterbukaan, keakraban, kesediaan bersilaturrahim, bersedekah, dan bermaaf-maafan. Dan untuk menguji kadar dan kualitas kebersyukuran dan konsistensi kemenangan itu, Nabi Muhammad SAW lalu menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawwal, bulan peningkatan dan aktualisasi diri dalam berbagai bentuk kesalehan: kesalehan personal, kesalehan sosial, kesalesahan moral, kesalehan mental spiritual, kesalehan multikultural, dan kesalehan finansial. Wallahu a’lam bish-shawab!