Ramadhan, Idul Fitri, dan Pendidikan Kemanusiaan

Ramadhan, Idul Fitri, dan Pendidikan Kemanusiaan

Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Bagi sebagian orang, puasa Ramadhan itu dipersepsi memberatkan, menyengsarakan, dan tidak sesuai dengan rasa dan nilai kemanusiaan. Karena itu, tidak sedikit Muslim yang merasa berat menjalankan kewajiban puasa Ramadhan tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i, misalnya sakit, haid, nifas, sedang melaksanakan bepergian yang melelahkan (safar), menyusui bayi, dan sebagainya.

Penetapan syariat ilâhiyyah dan penugasan amanah taklîfiyyah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya sejatinya tidak melampaui batas kemanusiaan. Dalam konteks puasa Ramadhan, dapat ditegaskan bahwa Allah pasti mempertimbangkan dimensi kemanusiaan manusia (insâniyyatu al-insân), baik dari segi pelaksanaan, kemaslahatan maupun dampak yang ditimbulkan. Allah SWT sama sekali tidak pernah menugasi kewajiban kepada hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah/2: 286). Dengan kata lain, semua amanah taklîfiyyah itu pasti sesuai dengan prinsip kemaslahatan, kemudahan, dan kemampuan manusia.

Sekiranya dari sisi kemanusiaan ada yang memberatkan karena udzur syar’i seperti disebutkan di atas, Islam memberikan dispensasi dan kelonggaran (rukhshah), yaitu boleh berbuka, atau tidak berpuasa, dengan catatan, yang bersangkutan harus mengganti puasa yang ditinggalkan sejumlah hari yang dia tidak berpuasa di luar Ramadhan. Islam itu memang agama yang mudah, memudahkan, tidak mempersulit dan menyengsarakan manusia; menggembirakan dan tidak menakutkan atau membuat manusia menghindar atau antipati terhadapnya.

Oleh karena itu, berbagai riset ilmiah justeru menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sangat sesuai dengan cita rasa dan tujuan kemanusiaan. Bahkan ibadah Ramadhan merupakan proses humanisasi multidimensi yang paling efektif untuk pendidikan karakter, pembentukan kepribadian, dan habituasi nilai-nilai kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan dari ibadah puasa dan perayaan Idul Fitri merupakan sebuah paket kurikulum pendidikan Ramadhan yang menarik dan sangat penting diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya kemudian adalah “Bagaimana aktualisasi pendidikan kemanusiaan dari ibadah Ramadhan dan Idul Fitri sehingga tujuan dan target puasa Ramadhan: la’allakum tattaqûn (mudah-mudahan menjadi hamba bertakwa) dapat diwujudkan?” “Apabila paket kurikulum pendidikan Ramadhan dan Idul Fitri dibingkai dalam kerangka kemanusiaan, apa nilai-nilai kemanusiaan yang idealnya diwujudkan secara konkret dalam sistem sosial kemanusiaan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?”

Orientasi Kebaikan
Dalam ayat 184 surat al-Baqarah kata “khair” (kebaikan, lebih baik) disebut tiga kali. Mayoritas ulama berpendapat bahwa selain bertujuan meraih takwa, ibadah Ramadhan juga berorientasi kebaikan (khairiyyah al-ittijâh). Ritualitas ibadah Ramadhan dan peryaan Idul Fitri membuahkan kebaikan dan keberkahan. Spirit kebaikan dan keberkahan menyertai dan membingkai semua amaliah ibadah Ramadhan, tidak hanya saat berpuasa di siang hari, tetapi juga saat beribadah di malam hari. Dalam konteks ini, Nabi SAW mengedukasi pentingnya integrasi shiyâm dan qiyâm (puasa di siang hari dan beribadah di malam hari), karena memang ibadah Ramadhan itu dibatasi hanya di siang hari.Bagi Mukmin, spirit kebaikan Ramadhan harus diyakini selaras dengan proses humanisasi dan gayut dengan nilai-nilai kemanusiaan. “Engkau berpuasa itu lebih baik, jika engkau mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 184). Artinya, spirit kebaikan ibadah Ramadhan akan dapat diaktualisasikan, apabila didasari iman yang kuat dan ilmu yang memadai. Agar membuahkan nilai-nilai kemanusiaan, ibadah Ramadhan itu memang harus berbasis iman dan ilmu, tidak sekadar menahan diri dari rasa lapar, haus, dahaga, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari.

Oleh karena itu, agenda kurikulum pendidikan Ramadhan bukan hanya puasa perut (tidak makan, tidak minum, tidak merokok), puasa di bawah perut (menahan nafsu syahwat), tetapi juga puasa pancaindera, puasa lisan, puasa hati, dan puasa pikiran. Puasa Ramadhan yang ideal itu adalah puasa totalitas, puasa lahir dan batin; sekaligus puasa holistik integratif, shiyâm (di siang hari) dan qiyâm (di malam hari), dalam rangka meraih takwa sejati (haqqa tuqâtih), baik takwa personal maupun sosial. Takwa personal dan takwa sosial merupakan takwa otentik yang dengannya para shaimin dan shaimat merasa bahagia dengan merayakan kemenangan pada hari raya Idul Fitri, 1 Syawwal.

Pertanyaan selanjutnya, “Kebaikan orientasi kemanusiaan apa saja yang dapat diaktualisasikan selama dan sesudah Ramadhan, terutama berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat puasa: ayat 183-187 surat al-Baqarah dan sejumlah hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan puasa?” Untuk membuktikan kebaikan orientasi kemanusian pendidikan Ramadhan, kita dapat menyelami berbagai pesan kemanusiaan dan pengalaman spiritual dalam beribadah Ramadhan, karena pendidikan kemanusiaan mustahil membuahkan cita rasa dan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup (living values of humanity) tanpa pernah menjadi bagian integral dari proses pendidikan Ramadhan itu sendiri.

Kemanusiaan Universal
Pendidikan kemanusiaan dari puasa Ramadhan dimulai dengan afirmasi historis. Puasa bukan merupakan kewajiban yang ditetapkan hanya kepada umat Nabi Muhammad SAW. Umat terdahulu sebelum Nabi SAW juga diwajibkan berpuasa (QS al-Baqarah [2]: 183). Ibn Katsir menjelaskan bahwa sejak Nabi Nuh AS umat terdahulu berpuasa tiga hari setiap bulan. Orang Yahudi berpuasa Asyura (10 Muharram) sebagai manifestasi rasa syukur atas terbebasnya Nabi Musa AS dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun. Selain itu, Yahudi juga berpuasa selama 6 hari dalam setahun. Di kalangan para rahib Yahudi, ada yang berpuasa selama 30 hari. 

Umat Nasrani juga berpuasa selama 40 hari dalam setahun, dan mereka berbuka setelah berpuasa selama 24 jam. Belakangan mereka berpuasa (berpantang) memakan binatang yang bernyawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa puasa merupakan ibadah universal, lintas masa dan lintas generasi yang berdimensi kemanusiaan universal. Puasa bukan hanya kewajiban agama, tetapi bisa juga menjadi kebutuhan dasar manusia karena dinilai sarat dengan kebaikan kemanusiaan universal yang sesuai dengan terapi medis.

Dalam Alquran dikisahkan, Maryam, ibunda Nabi Isa AS, bernadzar puasa bicara (diam, tutup mulut, dan tidak berkomunikasi) (QS Maryam [19]: 26) ketika dipersekusi oleh kaumnya yang menuduhnya telah berbuat zina, karena dia mengandung bayi tanpa suami. Ternyata, puasa bicara menjadi solusi atas persekusi yang dialaminya. Puasa bicara (lisan) mengedukasi pentingnya menjaga keselamatan kemanusiaan yang dapat berubah menjadi malapetaka dan bencana apabila seseorang, terutama pemimpin, tidak mampu mengontrol dan mengendalikan lisannya. Bukankah keselamatan manusia itu ditentukan oleh penjagaan (pengendalian) lisannya (salâmat al-insân fi hifzhi al-lisân).

Kemanusiaan universal dari ibadah Ramadhan juga tercermin dalam pengaitan pelaksanaan puasa dengan fenomena alam semesta (universalitas ayat kauniyyah) dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan, berikut awal Syawwal. Baik berbasis metode hisab maupun imkanur rukyah (rukyat al-hilâl), pelaksanaan ibadah Ramadhan sejatinya mendidik umat manusia memiliki literasi sains (ilmu falak, astronomi) dan wawasan global. Meski kerapa terjadi perbedaan pendapat dan penetapan penanggalan awal Ramadhan dan awal Syawal, pengaitan Ramadhan dengan prosesi hisab dan rukyat al-hilâl menunjukkan bahwa kemanusiaan universal dari ibadah Ramadhan itu harus berbasis ilmu (literasi agama dan literasi sains). Agama dan sains harus dipahami secara integratif dalam rangka humanisasi, liberasi (pembebasan manusia dari kebodohan, kemiskinan, kemunduran), dan transendensi (beriman ilmiah, berilmu imaniyah, dan beramal shalih atas dasar iman dan ilmu).

Laboratorium Pendidikan Kemanusiaan
Ramadhan itu merupakan laboratorium pendidikan kemanusiaan yang didesain untuk mengembangkan kematangan jiwa, keunggulan intelektual, kedalaman spiritual, kedewasaan emosional, dan integritas moral shaimin dan shaimat. Jika ditilik dari teori hirarki (piramida) kebutuhan Abraham Maslow, humanitas ibadah Ramadhan itu, tercermin dari pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan aktualisasi diri sekaligus, yaitu: menjadi pribadi sehat jasmani dan rohani, berkarakter positif, berkepribadian baik, dan berkarya produktif.

Diakui bahwa makan, minum, istirahat, olah raga, dan tidur itu merupakan kebutuhan fisiologis. Namun, Maslow tidak menagaskan bahwa sejatinya puasa juga merupakan kebutuhan fisiologis yang sangat baik bagi pemeliharaan kesehatan. Dengan berpuasa rerata 12-14 jam/hari selama 29-30 hari, organ-organ pencernaan manusia mendapatkan haknya untuk rehat mencerna dan mengolah asupan makanan dan minuman, sehingga terjadi rejuvinasi (peremajaan) sel-sel dan organ-organ bagian dalam. Secara medis, puasa dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolestrol jahat, kadar gula dalam darah, asam urat, sekaligus berfungsi detoksifikasi toksin, racun, sisa-sisa makanan yang tidak terurai atau tercerna karena mengandung zat-zat berbahaya, seperti: zat pengawet, zat pewarna, perisa buatan, dan sebagainya.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, puasa juga memenuhi kebutuhan psikologis berupa suasana hati yang riang gembira saat berbuka Bersama keluarga, berbahagia saat bisa berkumpul, bersilaturrahim, dan berjamaah di masjid, dan merasa senang saat berbagi rezeki kepada saudaranya yang belum beruntung. Puasa melatih kesabaran; memeliki ketahanan mental dan emosional yang tangguh, tidak mudah marah, mampu mengendalikan emosi dan gejolak hati yang digerakkan oleh nafsu dan bujuk rayu setan.

Puasa juga didesain oleh Allah SWT berdimensi sosial psikologis yang sangat menentramkan jiwa dan mendamaikan hati melalui perbersihan diri dengan berzakat fitri dan/atau berzakat harta. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS .At Taubah/9:103). Spirit berbagi, berempati, dan peduli kepada sesama melalui zakat, infak, sedekah, berbagi takjil merupakan ekspresi pribadi bahagia yang “sudah selesai” dengan urusan nafsu dan egoisitasnya.

Shaimin dan shaimat yang menunaikan zakatnya, tidak hanya membersihkan hartanya dari hak mustahiq (yang tidak boleh dikuasai, ditahan, dan dinikmati sendiri), tetapi juga menyucikan hatinya dari penyakit kikir dan bakhil. Orang yang merdeka dari penyakit ini dipastikan hidupnya tenteram dan damai, apalagi orang berzakat itu berhak didoakan keberkahan oleh amil zakat, sehingga ketenangan hati muzakki membuatnya semakin yakin dan percaya diri bahwa rezeki itu anugerah Allah yang tidak boleh dimiliki secara mutlak; karena sebagiannya ada hak bagi fakir miskin (QS adz-Dzariyat/51:19)

Ibadah Ramadhan juga dapat memberikan kebutuhan pemenuhan diri, melalui berbagai pemanfaatan momentum Ramadhan untuk berkarya dan beraktualisasi diri. Para ulama besar, seperti Imam al-Bukhari, al-Ghazali, Ibn Sina, Muslim, al-Khalil ibn Ahmad, Imam Syafi’i, dan lainnya selain membiasakan pengkhataman pembacaan al-Qur’an juga meniati Ramadhan sebagai bulan berkarya produktif, sekurang-kurangnya mereka memulai karya monumental mereka di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, Ramadhan adalah bulan aktualisasi diri dengan memperbarui tekad dan kemauan kuat (irâdah qawiyyah) untuk produktif menghasilkan legasi intelektual yang bermanfaat.

Selain itu, pendidikan kemanusiaan puasa Ramadhan tercermin dalam dispensasi (rukhshah) kebolehan untuk tidak berpuasa bagi orang sakit atau dalam perjalanan melelahkan, orang lemah fisik (tua renta atau sakit-sakitan), orang yang sedang menyusui, orang yang dalam masa nifas, dan sebagainya (QS al-Baqarah/2:184-185). Dimensi kemanusiaan psikologis yang sangat menarik dari penegasan al-Qur’an adalah bahwa pada malam hari Ramadhan, suami istri boleh berhubungan seksual (QS. al-Baqarah/2:187). Dispensasi ini tentu sangat manusiawi sekaligus menjadi bukti bahwa puasa Ramadhan bukan menyengsarakan diri. Puasa Ramadhan memberikan kenyamanan dan kebahagiaan lahir batin pasangan suami istri.
Alkisah, pada suatu malam di bulan Ramadhan, ‘Umar ibn al-Khathab berada di tempat Rasulullah SAW dan pulang ke rumah cukup malam. Saat sampai di rumah, dia mendapati istrinya sudah terlelap tidur. Saat itu, ‘Umar ingin bergaul bersama istrinya. Namun, ditolak oleh istrinya, “Aku sudah tidur!” Ia berkata, “Kau sudah tidur?” Meski demikian, malam itu ia tetap bisa menyalurkan hasrat seksual dengan berhubungan suami istri.

Pagi harinya, ‘Umar kembali menemui Rasulullah SAW dan mengabarkan kejadiannya semalam. Maka, Allah menurunkan ayat: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu ... (QS al-Baqarah [2]: 187). Turunnya ayat tersebut mempertegas cita rasa kemanusiaan dalam memaknai dan menikmati ibadah Ramadhan.

Secara medis, puasa Ramadhan juga menjadi laboratorium kemanusiaan dari segi kesehatan. Puasa terbukti dapat menguatkan imunitas tubuh dari serangan berbagai penyakit. Imunitas tubuh menguat seiring dengan adanya proses detoksifikasi “sisa-sisa makanan”, racun, toksin, kolestrol jahat, dan sampah dalam tubuh yang “disedot dan dimanfaatkan” oleh tubuh saat lapar dan mencari asupan makanan. Puasa juga dinilai dapat mengatasi obesitas (kegemukan) dan risiko penyakit turunannya. Riset membuktikan, diet terbaik adalah puasa rutin seperti puasa Ramadhan, selain merelaksasi kerja jantung, sehingga beban kerja jantung menjadi lebih ringan dan mengurangi risiko pembengkakan organ jantung.

Di atas semua itu, ibadah Ramadhan juga diyakini dapat menumbuhkan kesadaran spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, mendisiplinkan diri dalam beribadah, mengintensifkan tadarus Alquran, berdzikir, berdoa, beristighfar, dan beriktikaf. Karena iman dan ilmu berfunsi optimal sebagai energi penggerak dan pencerah spiritual untuk fokus beribadah agar meraih ampunan Allah SWT. “Siapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (ridha) Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pendidikan kemanusiaan moral dari puasa Ramadhan itu tercermin pada moralisasi shaimin dan shaimat dengan belajar menjadi pribadi yang jujur, amanah, sabar, disiplin, ikhlas, tawadhu’, peduli, murah hati, dan sebagainya. Shaimin dan shaimat dapat menahan diri untuk tidak mengonsumsi makanan dan minumal halal di siang hari, apalagi mengonsumsi yang haram, melakukan perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Shaimin dan shaimat pasti merasa malu bermaksiat dan berakhlak tercela. Pendidikan kemanusiaan Ramadhan memungkinkan shaimin dan shaimat memiliki semacam “antivirus kemaksiatan” yang kuat untuk melawan dan mengalahkan godaan hawa nafsu dan setan.

Karena esensi puasa itu belajar menahan dan mengelola diri sendiri dengan mengendalikan hawa nafsu, rasa haus, lapar, dan dahaga, maka shaimin dan shaimat kemudia terlatih untuk “bisa merasa dan merasakan penderitaan” fakir miskin. Implikasinya, ibadah Ramadhan mengedukasi pentingnya menumbuhkan sikap empati dan peduli terhadap sesama, dengan bersedekah, berbagi, berinfak, berzakat, dan berwakaf. Pendidikan kemanusiaan dengan spirit pembahagiaan (idhkhâl as-surur wa as-sa’âdah) orang lain merupakan cita ideal yang diharapkan dapat menyuburkan solidaritas dan harmoni sosial.

Spirit berjamaah di masjid dan mushalla dalam rangka shalat tarawih, qiyâm al-lail, tadarus, iktikaf, berbuka puasa bersama, bersilaturrahim, memberi takjil, dan membantu sesama yang kurang mampu merupakan pendidikan kemanusiaan sosial yang dapat membentuk sikap dan sifat kedermawanan bukti kuatnya dimensi kemanusiaan sosial Ramadhan. Apalagi Ramadhan diakhiri dengan Idul Fitri, saling bermaafan, dan saling berbagi kebahagiaan.

Idul Fitri dan Transformasi Kemanusiaan
Tidak ada perayaan sebesar dan semeriah “wisuda Idul fitri” atas kemenangan dan kelulusan shaimin dan shaimat dalam menjalani pendidikan Ramadhan selama 1 bulan penuh. Tidak ada suasana spiritual dan sosial kemanusiaan yang lebih guyup melebihi momentum Idul Fitri. Keguyupan, kebahagiaan, dan keakraban suasana Idul Fitri sejatinya merupakan puncak aktualisasi pendidikan kemanusiaan.

Akan tetapi, substansi perayaan Idul Fitri bukan terletak pada suasana gembira dan guyup, melainkan pada transformasi kemanusiaan, perubahan sikap mental, spiritual, moral dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kesuksesan pendidikan Ramadhan harus membuahkan transformasi kemanusiaan berupa implementasi nilai-nilai kemanusiaan, seperti: pembiasaan bangun tidur lebih awal, disiplin waktu, pemanfaatan waktu secara produktif, belajar keluar dari zona nyaman (comfort zone) dengan pembiasaan (habituasi) dan beradaptasi situasi baru.

Transformasi kemanusiaan pada diri shaimin dan shaimat perlu dibuktikan dengan aktualisasi nilai kejujuran, kesabaran, kedermawanan, kedisiplinan, kepedulian, kepercayaan diri, persaudaraan, dan sebagainya dalam praksis sosial. Idul fitri merupakan bentuk praksis sosial yang memadukan ketakwaan personal dan ketakwaan sosial. Takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih yang mewarnai malam Idul Fitri dan pada saat menjelang shalat Idul Fitri merupakan transformasi kemanusiaan. Setelah terlatih menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan melawan godaan setan selama berpuasa Ramadhan shaimin dan shaimat mengeskresikan kemenangan dengan bertakbir, bertahmid, bertasbih dan bertahlil. Dengan kata lain, transformasi kemanusiaan setelah memenangi perjuangan (mujahadah) melawan “diri sendiri” dengan meneguhkan sandaran teologis (tauhid).

Idul Fitri yang dirayakan dengan melaksanakan shalat Id di tanah lapang juga saat transformasi kemanusiaan: pentingnya menjaga kebersamaan, kesatuan, dan persaudaraan umat. Pesan kemanusiaan Idul Fitri sejatinya adalah bahwa persoalan keumatan (sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, dan sebagainya) in syaa Allah dapat diselesaikan berbasis tauhid integratif: tauhid al-ibadah dan tauhid al-ummah. Sebelum shalat Id dilaksanakan, umat Islam yang berkemampuan diwajibkan membayar zakat fitrah untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan kelayakan hidup fakir miskin. Melalui zakat fitrah dan zakat mal (harta), transformasi kemanusiaan dalam bidang sosial ekonomi dapat diwujudkan; kebutuhan dasar fakir miskin dicukupi dan dibahagiakan.

Transformasi kemanusiaan Idul fitri membuahkan kedamaian dan kebahagiaan sosial, yang tercermin pada aktualisasi ajaran silaturrahim dan saling memaafkan. Idul fitri memang momentum untuk menyelesaikan masalah relasi dan interaksi sosial. Dengan berada di tanah lapang atau di masjid, “luka-luka lama” bisa dihapus dan diselesaikan dengan silaturrahim dan saling bermaafan. Dengan memaafkan, shaimin dan shaimat membebaskan dirinya dari “beban psikologis” seperti: memendam rasa amarah, dendam, luka hati, dan sebagainya.

Akhirul kalâm, Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri sarat dengan pendidikan kemanusiaan universal yang dapat membuahkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, setelah terkoyak oleh hawa nafsu, egoisitas, penyakit hati, orientasi duniawi-materi yang berlebihan, dan sebagainya. Dengan berpuasa Ramadhan, shaimin dan shaimat diedukasi menjadi (becoming) pribadi pemenang dan peraih prestasi mulia, bukan penghamba hawa nafsu dan penurut provokasi setan. Jadi, pendidikan kemanusiaan dari ibadah Ramadhan dan Idul Fitri benar-benar memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan hamba dari penjajahan hawa nafsu, godaan setan, egoisitas, dan penyakit hati (liberasi); sekaligus meneguhkan spirit murâqabah dan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT, karena pribadi bertakwa pasti memiliki kedekatan spiritual dengan-Nya dan kedekakatan sosial dengan sesamanya. Pendidikan kemanusiaan akan menjadi lebih bermakna dan membuahkan hasil optimal berupa ketakwaan otentik pada diri shaimin dan shaimat, apabila dibarengi dan terus dikawal dengan pembacaan integratif ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat kauniyyah!

(Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Majalah Tabligh Edisi April 2024)