Ramadhan dan Pendidikan Fitrah Kemanusiaan
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Kata “fitrah” sering disalahpahami dan dibuat rancu dengan kata “Fitri”. Dalam masyarakat, kata fitrah bahkan digunakan secara kurang tepat, misalnya zakat fitrah, padahal penggunaan istilah yang tepat adalah “zakat al-fithr” atau zakat fitri, bukan zakat fitrah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW:
وَعَن ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: "فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ". رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ.
Sejumlah hadis yang membicarakan tentang kewajiban mengeluarkan zakat jiwa pada bulan Ramadhan, tidak ada yang menyebut zakat fitrah. Dalam riwayat an-Nasa’i dari Abu Sai’d RA disebut shadaqah al-fithr, bukan al-fithrah.
Demikian pula, Idul Fitri kerap dimaknai sebagai “audah ila al-fithrah” atau kembali kepada fitrah dalam arti kesucian. Padahal, secara semantik, Idul Fitri itu artinya adalah “Hari Raya Makan”, karena memang di hari Idul Fitri umat Islam diharamkan berpuasa. Idul Fitri bukan kembali kepada kesucian, tetapi merayakan kemenangan dan kegembiraan dengan menikmati makanan dan minuman halal dan dengan bertakbir, bertahmid, bertasbih, bertahlil, melaksanakan shalat Id, bersilaturrahim, dan saling memaafkan.
Poin pentingnya adalah bahwa fitrah dan fitri tidak sinonim, dua kosakata yang secara semantik maknanya memang berbeda. Menurut ar-Raghib al-Ashfahani dan Ibn Faris, Fathara yafthuru fathr makna asalnya adalah retak, pecah, terbelah, cacat; di samping juga berarti mencipta, membuat, berkreasi.
Makna pertama, antara lain dapat dijumpai dalam ayat: “Langit (pun) menjadi pecah belah pada hari itu karena Allah. Janji-Nya itu pasti terlaksana” (QS al-Muzzammil/73:18). “Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat/tidak seimbang?” (QS al-Mulk/67:3)
Sedangkan fathara yafthuru dalam berarti mencipta atau berkreasi, antara lain dapat ditemukan dalam beberapa ayat. Di antaranya adalah :
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“(Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An'am/6: 79). Allah sendiri adalah Fathir, Maha Pencipta, Maha Kreatif. “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fathir/35:1)
Menurut Hans Wehr, fathara yafthuru fathr wa futhur berarti sarapan (to break the fast). Sedangkan “fithr” berarti fast breaking, sedangkan zakat al-fithr atau shadaqat al-fithr dimaknai sebagai almsgiving at the end of Ramadhan, zakat berupa bahan makanan (atau uang yang nilai nominalnya setara dengan harga zakat bahan makanan). Karena itu, menurut al-Ashfahani, al-fithr dalam konteks Idul Fitri dimaknai sebagai tarku ash-shaum (meninggalkan atau berbuka puasa). Jadi, fithr berbeda sama sekali dengan fithrah, (bentuk jamaknya fithar) yang oleh Hans Wehr, dimaknai sebagai ciptaan, kreasi, watak, bawaan, tempramen, karakter, dan instink.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi makna fitrah dalam konteks pendidikan. Ramadhan sebagai bulan pendidikan diyakini berkaitan erat dengan pendidikan fitrah kemanusiaan. Bagaimana Ramadhan dijadikan sebagai sarana edukasi pengembangan fitrah kemanusian, agar tujuan puasa Ramadhan: menjadi hamba yang bertakwa, dapat diwujudkan secara optimal? Bagaimana pula melalui Ramadhan hamba dapat lebih mengenali fitrah kemanusiaannya, sehingga hamba mampu mengelola dirinya, mengerem gejolak hawa nafsunya, dan mengoptimalkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam kehidupan?
Reaktualisasi Fitrah
Berdasarkan analisis leksikologis dan semantik dapat ditegaskan bahwa fitrah itu tidak identik dengan kesucian. Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab memaknai kata “fithrah” dengan al-ibtida’ wa al-ikhtira’ (awal permulaan dan kreasi). Frasa “kembali kepada kesucian” juga ambigu, bahkan berkonotasi tidak positif, seolah hati manusia itu selalu kotor dan hidupnya berlumuran dosa, sehingga ketika Idul Fitri “kembali kepada kesucian”, lalu setelah Idul Fitri menjadi kotor lagi. Padahal, orang beriman diharuskan menempuh jalan kesucian (tazkiyat an-nafs) selama hidupnya, karena memang “sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa atau dirinya; sebaliknya sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS asy-Syams/91:9-10).
Makna fitrah dalam beberapa ayat dan hadis Nabi SAW menunjukkan ‘asal kejadian, potensi dan kecenderungan alami, nature, atau watak kemanusiaan sebagai ciptaan atau hasil kreasi Tuhan. Ibarat komputer atau laptop, fitrah itu adalah “program bawaan” yang sudah diinstal oleh Allah ke dalam diri manusia bersamaan dengan “peniupan ruh-Nya”. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum/30:30)
Oleh karena itu, menjadi sangat tidak relevan dan tidak kontekstual pemaknaan fitrah pada hadis berikut dengan kesucian.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan dengan (bekal) fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (HR. al-Bukhari) Dalam hadis ini terdapat tamsil (analogi) bahwa anak hewan itu lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknyalah yang kemudian memotong telinganya.
Makna fitrah dalam hadis tersebut adalah kecenderungan alami (bawaan) setiap anak manusia adalah bertauhid (beragama Islam). Namun dalam perkembangannya, lingkungan keluarga (lingkungan biologis), orang tua dan lingkungan sosial (pendidikan, pergaulan, interaksi sosial, dan sebagainya) berkontribusi dan berpengaruh terhadap fitrah anak tersebut. Jadi, fitrah dalam hadis tersebut sama sekali tidak berterima jika diartikan dengan kesucian. Namun demikian, penting juga digarisbawahi bahwa menurut Islam, bayi itu lahir dalam keadaan tidak berdosa (suci dari dosa) dan tidak mewarisi dosa siapapun.
Reaktualisasi makna fitrah menjadi sangat relevan, apabila dikaitkan dengan sejumlah hadis yang berkaitan dengan fitrah manusia. Karena, aktualisasi fitrah yang diteladankan Nabi SAW berkaitan erat dengan sunnah (kebiasaan, tradisi) positif dan terkait erat dengan kemaslahatan kemanusiaan. Sebagai potensi dan kecenderungan alami kepada kebaikan dan kemaslahatan, fitrah sangat penting dikembangkan melalui proses edukasi yang efektif.
Sejumlah fitrah manusia yang disebutkan dalam hadis itu menarik dikaji dan dikembangkan dalam konteks pendidikan Ramadhan. Perhatikan beberapa hadis berikut: Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
الفطرة عشر: المضمضة والاستنشاق والسواك وقص الشارب وتقليم الأظافر وغسل البراجم ونتف الإبط والانتضاح بالماء والختان والاستحداد
“Fitrah itu ada sepuluh: berkumur, membersihkan hidung, bersiwak, mencukur kumis, memotong kuku, membasuh punggung jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, berkhitan, dan memotong bulu kemaluan.” (HR. Muslim) Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
عشر من الفطرة: قص الشارب وإعفاء اللحية والسواك واستنشاق الماء وقص الأظافر وغسل البراجم ونتف الإبط وحلق العانة وانتقاص بالماء. قال الراوي مصعب بن شيبة: ونسيت العاشرة، إلا أن تكون المضمضة. قال النووي عن العاشرة: لعلها الختان وهو أولى
“Ada 10 fitrah (kemanusiaan): memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, membersihkan hidung dengan air, memotong kuku, membasuh punggung jari-jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, bersuci dengan air. Perawinya, Mus’ab bin Syaibah berkata: “Saya lupa yang kesepuluh. Kemungkinan besar adalah berkumur-kumur.” Imam Nawawi berkata tentang yang kesepuluh : “Bisa jadi khitan, dan memang sudah semestinya begitu.” (HR.Muslim).
Selain sepuluh kategori fitrah, Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah yang menyatakan: “Fitrah itu ada lima: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa fitrah kemanusiaan sejatinya merupakan kecenderungan alami yang bermaslahat dan penting dijadikan sebagai kebiasaan positif. Selain bermanfaat bagi manusia itu sendiri, mengamalkan kebiasaan positif tersebut termasuk meneladani Nabi SAW, sehingga bernilai pahala, apabila dilakukan dengan ikhlas dan dengan spirit mencintai beliau.
Berdasarkan ayat dan hadis-hadis tersebut, fitrah kemanusiaan dapat dikategorikan menjadi fitrah beragama (berakidah tauhid), fitrah mencintai kebersihan, fitrah memelihara kesehatan, fitrah mencintai keindahan dan menjaga penampilan estetis, dan fitrah berinteraksi sosial dengan baik dan elegan. Ibn ‘Asyur mengelompokkan fitrah menjadi dua: fithrah jasadiyyah dan fithrah ‘aqliyyah.
Yang pertama adalah fitrah terkait dengan kelaziman fisik manusia, seperti berjalan dengan kaki itu fitrah, bekerja dengan menggunakan tangan itu fitrah; sebaliknya berjalan dengan menggunakan tangan itu melawan fitrah. Sedangkan yang kedua adalah fitrah berpikir rasional, kritis dan kreatif, misalnya mendayagunakan akal untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu fitrah.
Islam itu agama fitrah, agama yang sesuai dengan kecenderungan alami manusia. Menurut Ibn al-Qayyim, fitrah itu sejatinya adalah hanifiyyah, kecenderungan yang lurus dan benar dalam beragama. Bahkan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa keadilan dan berbuat adil itu fitrah, karena manusia mempunyai rasa cinta natural terhadap keadilan. Sebaliknya, kezaliman itu bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, karena manusia secara natural membenci kezaliman. Jadi, fitrah itu nilai-nilai kemanusiaan legasi Nabi. Mencintai Nabi idealnya dibuktikan dengan meneladani fitrah kemanusiaan yang diajarkan olehnya. Bagaimana puasa Ramadhan didesain dan diorientasikan kepada pendidikan fitrah kemanusiaan yang memberi kemaslahatan dan kebaikan bersama?
Pendidikan Fitrah Kemanusiaan
Puasa merupakan ibadah universal, lintas agama, budaya, bangsa, dan masa. Oleh karena itu, pensyariatan puasa dalam Islam dibarengi dengan penyebutan “sebagaimana puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum kalian” (QS al-Baqarah/2: 183). Hal ini menunjukkan bahwa puasa itu baik dan bernilai kebaikan untuk umat manusia, terutama orang beriman, karena memang yang dipanggil oleh Allah untuk merespon positif perintah berpuasa adalah orang-orang beriman (Ya ayyuha al-ladzina amanu).
Selain bertujuan meraih kualitas takwa yang prima, puasa Ramadhan yang disyariatkan Islam itu berorientasi kebaikan. Setidaknya ada tiga kata “khair” yang menyertai rangkaian ayat-ayat puasa: “Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2:184). Karena puasa Ramadhan itu berorientasi dan bermuara kepada kebaikan personal (shaimin) maupun kebaikan sosial kemanusiaan (umat manusia), maka dapat ditegaskan bahwa esensi berpuasa itu merupakan aktualisasi fitrah kemanusiaan. Bukankah mencintai itu kebaikan itu fitrah? Bukankah mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan kemanusiaan itu merupakan potensi dan kecenderungan alami positif yang perlu dikembangkan?
Ramadhan itu ibarat universitas kehidupan. Regulasi (norma, nilai, kewajiban, anjuran, dan larangan) dalam berpuasa Ramadhan itu sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Bangun tidur lebih awal untuk santap sahur, shalat subuh berjamah, berdzikir, berdoa, tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga adzan maghrib, tarawih, tadarus Alquran, sedekah, i’tikaf, mengeluarkan zakat mal dan zakat fitri, semuanya adalah fitrah kemanusiaan, apabila diresponi secara positif, dijalani dengan penuh ketulusan dan kesabaran.
Bangun tidur lebih itu melatih hidup disiplin. Disiplin itu fitrah kemanusiaan yang menjadi spirit kesuksesan dan kemajuan hidup. Santap sahur itu, seperti dispiritualisasi Nabi SAW, bernilai keberkahan, meskipun hanya mengonsumsi tiga butir kurma dan segelas air minum. Santap sahur juga merupakan fitrah kemanusiaan yang membuahkan komitmen kuat untuk siap dan mampu berpuasa, karena kalau tidak santap sahur, boleh jadi, puasanya di siang hari agak terganggu karena asupan nutrisi dan gizinya kurang.
Bangun di waktu sahur tidak hanya melatih disiplin waktu, tetapi juga menghabituasi pola hidup sehat dan bersih. Riset membuktikan bahwa oksigen paling bersih dan natural (sehat) adalah oksigen yang dihirup dan dinikmati waktu sahur. Waktu sahur adalah waktu istimewa untuk berdzikir, berdoa, dan beristighfar kepada Allah. Artinya, bangun tidur sebelum subuh itu bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan fisik (perut), tetapi juga untuk memberi asupan mental spiritual dengan mendisiplinkan diri ber-taqarrub ila Allah melalui doa, dzikir, istighfar, taubat, membaca Alquran, dan sebagainya. Pemenuhan asupan jasmani dan rohani merupakan fitrah kemanusiaan yang perlu dihabituasi melalui pendidikan Ramadhan.
Shalat subuh berjamaah di masjid atau mushalla merupakan kebiasaan orang shalih atau fitrah kemanusiaan yang dapat membentuk karakter mulia shaimin, yaitu disiplin ibadah sekaligus disiplin sedekah subuh. Puasa Ramadhan membentuk mentalitas pejuang subuh yang Tangguh, sehingga gaya hidupnya sehat, bersih, dan kuat terhadap segala macam godaan hawa nafsu dan godaan setan dengan tidur lagi setelah subuh. Shalat subuh berjamaah melatih sense of togetherness (rasa dan spirit kebersamaan) berbasis iman dan takwa kepada Allah, sehingga membuahkan karakter peduli, empati, dan mencintai sesama.
Tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami-istri di siang hari Ramadhan, dan tidak melakukan segala yang membatalkan dan mengurangi nilai pahala puasa sejatinya juga merupakan pendidikan fitrah kemanusiaan. Shaimin dilatih berpantang, mengelola dan mengendalikan diri, bergaya hidup disiplin dan istikamah, bersabar dan berjiwa pemenang hingga saatnya adzan maghrib tiba. Pendidikan fitrah kemanusiaan selama sebulan berpuasa tercermin pada penyiapan pribadi yang memiliki ketahanan mental spiritual dan moral yang kokoh, sehingga tidak berpikir untuk bermaksiat kepada Allah. Logikanya sederhana, makan dan minum yang halal di siang hari Ramadhan saja tidak disentuh, apalagi sampai melakukan kemaksiatan, melanggar perbuatan haram dan dibenci Allah.
Menyegerakan berbuka (ta’jil) puasa itu sunah Nabi atau fitrah kemanusiaan yang diajarkan Nabi, karena memang mendatangkan kebaikan. Berbuka itu sejatinya melatih diri untuk selalu bersyukur kepada Allah atas rezeki dan nikmat yang bisa dikonsumsi untuk memenuhi hak-hak tubuh yang seharian “dipuasakan”. Mengapa berbuka puasa itu terasa sangat nikmat? Karena berbuka itu merupakan aktualisasi fitrah kemanusiaan dalam bentuk kebersyukuran ganda: bersyukur bisa menghilangkan lapar dan dahaga pada saat yang tepat dan semua organ tubuh, khususnya organ pencernaan, turut bersyukur dengan diasupi makanan dan minuman yang menjadi haknya. Karena itu, buka puasa itu mencerminkan ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan. Nabi SAW bersabda: “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim).
Gembira dan bahagia itu merupakan fitrah kemanusiaan yang melatih dan meningkatkan kualitas syukur shaimin kepada Allah SWT. Namun demikin, shaimin tidak boleh lengah dan lupa diri (tidak bisa mengendalikan diri) ketika berbuka, sehingga atas nama kelaparan, dendam nafsu makan dilampiaskan secara berlebihan. Di saat dibolehkan makan dan minum (berbuka), shaimin harus tetap bisa mengendalikan diri dengan meneladani kebiasaan positif Nabi dalam mengonsumsi makanan dan minuman melalui manajemen perut yang sehat dan bermartabat: sepertiga isi perut itu untuk makanan, sepertiga lainnya untuk minuman, dan sepertiga lagi (dibiarkan kosong, tidak diisi yang lain) untuk pernapasan. (HR Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad)
Shalat tarawih, tadarus dan mudarasah Alquran, i’tikaf, “berburu” lailatul qadar, memperbanyak sedekah, dan membayar zakat (harta dan makanan) merupakan paket komplet kurikulum Ramadhan yang juga merupakan edukasi fitrah kemanusiaan. Pendidikan fitrah kemanusiaan itu tidak hanya mendisiplinkan diri untuk selalu dekat dan online dengan Allah SWT, tetapi juga membiasakan berpikir positif, beramal shalih, dan mengoptimalkan kesalehan dan ketakwaan sosial. Semua itu merupakan orientasi “khair” kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia yang dikembangkan melalui universitas Ramadhan.
Akhirul kalam, Ramadhan diakhiri dengan wisuda internasional berupa Idul Fitri, merayakan kemenangan dengan melaksanakan shalat Id (dua rakaat), menyimak khutbah Id, silaturrahmi, saling memberi maaf, dan menikmati makanan (tidak berpuasa). Fitrah kemanusiaan yang diedukasi melalui Ramadhan ini sungguh indah dan menarik, terlebih lagi tujuan utama ibadah Ramadhan dapat dicapai secara optimal: menjadi hamba Allah yang bertakwa lahir dan batin, bertakwa personal dan bertakwa sosial. Apabila aneka fitrah kemanusiaan tersebut dapat diwujudkan, maka universitas Ramadhan dapat dikatakan sukses menyiapkan dan melahirkan lulusan Ramadhan yang unggul dalam imtak (iman dan takwa) dan ipteks (ilmu pengatahuan, teknologi, dan seni).
Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 4/XX 58 Ramadhan 1443 H./April 2022 M. (sam/mf)