Ramadhan dan Kesalehan Negara
Ferdian Andi
Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk meningkatkan amal ibadah setiap individu. Ragam amalan yang sifatnya personal antara individu dan Tuhannya menemukan momentumnya. Pelbagai ritual keagamaan menjadi medium bagi setiap individu untuk mencapai derajat kesalehan sebagai Muslim.
Ramadhan menjadi momentum terbaik untuk melakukan perbaikan diri. Ibarat sekolah, Ramadhan menjadi sekolah terbaik untuk belajar seraya memetik hikmah atas setiap pelajaran yang didapat. Harapannya, selepas Ramadhan, kualitas diri meningkat dengan derajat takwa yang berarti baik di langit (vertikal) dan baik di bumi (horizontal).
Penempaan diri selama Ramadhan menjadi momentum yang tepat bagi para penyelenggara negara untuk meneguhkan kewenangan (authority) yang dimilikinya untuk kepentingan banyak orang. Kewenangan yang melekat pada penyelenggara negara semata-mata ditujukan untuk kebaikan publik yang berarti lahirnya kesalehan negara berupa aktivasi fungsi dan tujuan bernegara.
Hal ini pula sejalan dengan kaidah fiqih “tasharrufu al-imâm ‘ala al-râ’iyyah, manûthun bi al-mashlahah”, kebijakan pemimpin yang ditujukan kepada rakyat harus didasarkan kepada kemaslahatan. Dasar pembentukan kebijakan publik tak lain adalah kemaslahatan publik itu sendiri.
Apalagi, dalam sistem demokrasi konstitusional, hubungan harmoni antara penyelenggara negara dan warga negara menjadi karakteristik yang khas. Setiap tindakan penyelenggara negara harus selalu berpijak kepada hukum dan etik. Begitu juga, negara harus menjamin hak asasi manusia (HAM) setiap warga.
Titik harmoni itu dapat berjalan dengan baik apabila pembentukan kebijakan dilakukan melalui prosedur demokratis dengan menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari publik. Warga tidak sekadar dimaknai melalui angka kuantitif lewat politik elektoral, tetapi pikiran dan aspirasi warga termanifestasikan dalam bentuk kebijakan publik.
Filosof Anacharsis memberikan catatan, “written laws are like spiders’ webs; they will catch, it is true, the weak and poor, but would be torn in pieces by the rich and powerful” (Susan Ratcliffe, 2006). Ini perlu menjadi renungan bersama tentang kebijakan yang harus diorientasikan kepada terciptanya keadilan untuk semua, tanpa pandang bulu dan membedakan strata warga.
Optimasi kewenangan
Kewenangan yang melekat kepada penyelenggara negara melalui undang-undang dasar dan aturan turunan di bawahnya memiliki makna penting bagi penyelenggara pemerintahan. Apalagi jika terkait dengan kewenangan penyelenggara pemerintahan yang sifatnya sepihak, koridor yuridikitas (tidak bertentangan dengan hukum), moralitas, dan efektivitas harus menjadi pedoman dan panduan.
Namun, kebijakan dan tindakan penyelenggara negara tidak bertentangan hukum saja belum cukup. Karena ini dalam kadar yang amat minimalis. Terdapat nilai etik yang harus menjadi dasar dalam pembentukan setiap kebijakan atau tindakan pemerintah, yakni memiliki nilai manfaat sebanyak-banyaknya bagi warga negara. Nilai etik ini cukup penting sebagai instrumen untuk mengoptimasi kewenangan yang melekat pada penyelenggara negara yang didasari pada spirit inovatif.
Koridor yuridis dan etik tersebut dalam waktu yang yang bersamaan menjadi sistem pertahanan terhadap praktik yang bertentangan dengan hukum maupun etik. Penyelenggara negara akan terhindar dari tindakan koruptif dan favoritisme yang merugikan kepentingan umum. Kebijakan publik terbebas dari urusan market domain yang berorientasi rente serta dari conflict of interest yang berjangka pendek, sempit, dan parsial.
Optimasi kewenangan penyelenggara negara secara pararel akan menjadi self control bagi penyelenggara negara dalam bentuk pikiran, perilaku, dan sikap di ruang publik. Di sisi yang lain, langkah ini juga akan melahirkan kebaikan bagi publik. Sengkarut yang belakangan menjadi perhatian publik soal demonstrasi kekayaan dan kemewahan penyelenggara negara dan keluarganya menjadi indikator awal soal ketidaktepatan, setidaknya dari sisi etis, dalam penggunaan kewenangan yang dimiliki penyelenggara negara.
Tidak sekadar ritual
Bulan Ramadhan memiliki dua dimensi sekaligus, yakni pertama dimensi vertikal yang menjadi ruang ekspresi ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Melalui puasa dan ragam ritual lainnya, mengondisikan keintiman hamba dengan Tuhannya. Bahkan, di bulan Ramadhan ini pula terdapat suatu malam (lailatul qadar) yang kualitas amalannya lebih dari seribu bulan lamanya.
Kedua, dimensi horizontal yang bertalian erat antara ajaran agama di satu sisi dengan tradisi gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia di sisi yang lain. Instrumen zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) memiliki dimensi ilahiyah sekaligus sebagai ekspresi kepedulian sesama manusia. ZIS dalam konteks ini menjadi medium filantropi yang dimiliki Islam untuk penguatan terhadap mereka yang lemah (mustadl’afin).
Dua dimensi tersebut jika dilakukan secara mendalam dan penuh sungguh-sungguh, akan memberi pengaruh besar pada setiap individu yang menjalaninya. Tak terkecuali, individu yang mendapat mandat kewenangan di badan hukum publik. Kebaikan individu yang dilatih dan diolah selama Ramadhan, secara linier idealnya akan memberi dampak pada sikap dan perilaku di ruang publik.
Ritual keagamaan selama Ramadhan semestinya menjadi nilai (value) yang menjadi pemandu etik dalam menjalankan kewenangan penyelenggara negara. Setiap amalan selama Ramadhan semestinya tidak sekadar menjadi agenda rutin tahunan yang tak memberi dampak spritual-sosial bagi yang menjalaninya.
Ramadhan ditempatkan tidak sekadar berkedudukan sebagai konten yang sifatnya ritual, individual, dan sosial. Namun, lebih dari itu, Ramadhan menjadi amalan yang senantiasa kontekstual sebagai instrumen peningkatan kualitas pribadi (saleh individu) yang secara determinan memberi dampak pada kualitas di ruang publik (kesalehan negara) yang dituangkan berupa kebijakan publik yang memberi kemaslahatan publik (mashâlih al-‘ibâd).
Kualifikasi individu penyelenggara negara menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi atas kebaikan, baik perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik maupun institusi sebagai representasi dari organisasi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan publik. Di titik ideal, melalui penempaan selama Ramadhan, dari penyelenggara negara akan lahir kebijakan yang maslahat dan terhindar dari kebijakan yang muslihat.
Ibadah selama Ramadhan mestinya secara inheren menjadi sistem pengendali atas tindakan koruptif dan manipulatif. Instrumen Ramadhan, idealnya melahirkan individu yang autentik, jujur, dan peduli atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai Ramadhan termanifestasikan dalam tindakan yang sesuai dengan norma hukum dan etik.
Apalagi, apabila melihat peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang juga bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 H memiliki nilai historis yang dalam, para pendiri bangsa (founding fathers) dalam merumuskan dasar negara Indonesia semata-mata bertujuan untuk menegakkan nilai kemanusiaan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Kesalehan para pendiri bangsa yang tecermin dari pikiran besar dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimanifestasikan dalam bangunan dasar bernegara melalui UUD 1945 dan Pancasila yang sarat dengan kesalehan negara. Indonesia didirikan dengan mengusung cita-cita besar dan luhur.
Kewenangan yang dimiliki penyelenggara negara harus dioptimalkan untuk kepentingan bersama. Cara ini sebagai upaya konkret untuk meneguhkan kesalehan negara sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa. Sebagaimana disebut Andrew Heywood (2013), posisi negara merupakan salah satu kunci lahirnya kehidupan yang beradab, fondasi kehidupan bermasyarakat, serta menjadi agen keadilan sosial. (ZM)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskpakum) dan Pengajar HTN-HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Artikelnya dimuat Koran KOMPAS, Sabtu 25 Maret 2023.