Ramadhan Bulan Pencerahan
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ramadhan didesain sebagai bulan penuh cinta: cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan. Dalam Ramadhan, mukmin merespon panggilan iman (ya ayyuha al-ladzina amanu…) sekaligus membuktikan cintanya kepada Tuhan dengan mengoptimalkan ketaatan dalam beribadah, baik yang wajib maupun yang sunah, dengan penuh keikhlasan dan ketekunan.
Cinta kemanusiaan dibuktikan dengan meningkatkan kesalehan sosial seperti: sedekah, menyantuni fakir miskin, memberi ifthar (buka puasa), membayar zakat fitri, meneguhkan ukhuwah, menggelorakan spirit berjamaah di masjid dan mempererat silaturahmi dengan sesama. Cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan merupakan aktualisasi tujuan puasa Ramadhan: menjadi hamba bertakwa.
Sepanjang tahun, seseorang boleh jadi terjebak dalam rutinitas dan berada di dalam zona nyaman (comfort zone), sehingga melupakan jatidirinya sebagai makhluk yang perlu “general check up”: fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial. Berpuasa Ramadhan itu belajar mengelola diri, menahan hawa nafsu, dan melawan godaan setan dalam rangka melejitkan dan meneladani sifat-sifat ketuhanan (akhlak Rabbani).
Esensi ibadah Ramadhan adalah penyadaran diri terhadap pentingnya merawat diri, mengelola emosi, dan meningkatkan iman dan imun tubuh, agar tetap fresh, sehat, dan memiliki kebugaran fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Oleh karena itu, puasa Ramadhan menyadarkan kembali pentingnya memahami hak-hak fisik, kebutuhan psikis, dan spiritualitas diri. Sebagai ibadah yang sudah mentradisi dalam sejarah, puasa tidak hanya berfungsi sebagai rejuvinasi (peremajaan) sel-sel dan fungsi-fungsi tubuh yang terkadang mengalami degradasi medis dan fisiologis, tetapi juga berfungsi sebagai rehumanisasi (pemanusiaan kembali) akan posisi, tugas, peran, dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Puasa mengedukasi para shaimin dan shaimat untuk menerima dan mengaktualisasikan kasih sayang Allah terhadap mereka. Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya luar biasa besar. Kasih sayang Allah itu tercermin dalam “kurikulum Ramadhan” yang berisi: kedamaian, kenikmatan, keberkahan, kemaslahatan, dan kemanusiaan hamba.
Kurikulum Ramadhan sebagai rahmat Allah itu dilimpahkan melalui aneka bentuk dan momentum seperti: bangun pagi lebih awal di waktu sahur, santap sahur, shalat subuh berjamaah, menjalani puasa di siang hari dengan “mengosongkan” perut, mengelola hawa nafsu, shalat dhuha, memperbanyak sedekah, menanti momen indah berbuka, shalat tarawih, bertadarus Alquran: jamuan Allah, beri’tikaf, membayar zakat fitri dan zakat harta, dan sebagainya.
Puasa Ramadhan bukan sekadar formalitas, ritualitas, dan rutinitas “menahan lapar, haus, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari” semata. Sebab jika puasa itu sebatas puasa “perut dan di bawah perut”, maka puasa demikian hanyalah puasa fisik, atau dalam terminologi Imam al-Ghazali, shaum al-‘awam, puasa kelas ekonomi, puasa orang awam.
Puasa level tersebut miskin nilai dan boleh jadi gagal tujuan, tidak meningkatkan kualitas takwa, tidak berimplikasi positif terhadap pembentukan karakter positif dan akhlak mulia. Oleh sebab itu, puasa Ramadhan harus dimaknai dan dikerjakan secara totalitas, puasa jiwa dan raga, puasa substantif, puasa lahir batin sebagaimana memohon maaf lahir batin.
Puasa lahir batin sejatinya bermuara kepada rejuvinasi, peremajaan fungsi-fungsi organ tubuh, sehingga setelah “lulus” madrasah Ramadhan shaimin dan shaimat menjadi lebih sehat, lebih bugar, lebih memahami hak-hak tubuh, lebih peduli terhadap kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan fisik, mental spiritual, lingkungan, dan sosial.
Selain itu, puasa Ramadhan juga idealnya membuahkan rehumanisasi, pemanusiaan kembali, memahami fitrah kemanusiaannya, setelah terkungkung dalam rutinitas dan formalitas kehidupan yang kurang manusiawi. Misalnya saja, seseorang menjadi semacam “robot” birokrasi, mesin pencari uang, dan tersandera oleh rutinitasnya. Puasa yang humanis itu bersifat liberatif, membebaskan manusia dari segala bentuk “penjajahan hawa nafsu” dan egoisitas diri yang membelenggu.
Puasa yang liberatif idealnya memerdekakan shaimin dan shaimat menjadi momentum pencerahan hati dan pikiran untuk tidak terjebak dalam penjara materi dan orientasi duniawi. Puasa bermakna harus menjadi terapi penyakit rakus, tamak, serakah, egoisme, watak korup, dan antisosial.
Dengan kata lain, ibadah Ramadhan itu harus mencerahkan. Puasa Ramadhan dimaknai dan dipahami sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah. Ramadhan didesain untuk membebaskan hamba dari kekerdilan konsep diri dari orientasi duniawi, menuju pemuliaan diri dengan menjadi manusia merdeka yang mencintai Allah dan sesamanya.
Harapan menjadi hamba bertakwa (la’allakum tattaqun) itu merupakan proses becoming (menjadi) yang tidak mungkin diwujudkan secara instan. Berpuasa selama sebulan itu edukasi transendensi menujuk kedekatan hamba kepada Allah dan sesama. Transendensi puasa meneguhkan iman, menguatkan semangat beribadah, dan melejitkan spiritualitas konstruktif: membangun keimanan, keilmuan, dan kepribadian mulia.
Ramadhan itu unik dan spesifik. Karena puasa Ramadhan bernilai multidimensi: dimensi fisik, finansial, mental, intelektual, spiritual, sosial, dan moral. Puasa juga merupakan ibadah universal, lintas agama dan budaya, lintas masa dan generasi, sekaligus diakui kebaikan dan kebermanfaatannya bagi manusia. Puasa bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga menjadi kebutuhan hidup manusia, sebagaimana kebutuhan makan, minum, istirahat, olah raga, tidur, dan sebagainya.
Dalam kitab Rasail an-Nur, Said Nursi menegaskan bahwa makhluk yang paling membutuhkan berbagai jenis rezeki adalah manusia. Allah mendesaian manusia sedemikian rupa, sehingga membutuhkan berbagai jenis rezeki materi dan maknawi dalam bentuk tak terhingga. Karena itu, jika hawa nafsu tidak dikendalikan, maka manusia tidak akan pernah merasa cukup dan puas, selalu tamak, korup, dan rakus. Madrasah Ramadhan mencerahkan jiwa dengan terus belajar menjadi hamba yang cerdas bersyukur. Puasa melejitkan kecerdasan emosional dan spiritual untuk menjadi pribadi bahagia yang qanaah (merasa cukup), sebagaimana cukupnya segelas air dan tiga butir kurma untuk berbuka.
Sebagai bulan pencerahan, Ramadhan mengedukasi diri kita untuk menjadi hamba yang taat dan disiplin mengikuti “tasbih kehidupan”, ritme kasih sayang Ilahi, dan orientasi humanisasi. Oleh karena itu, ayat tentang ibadah puasa dikontekstualisasikan dengan (1) tujuan puasa, menjadi hamba bertakwa, (2) orientasi kebajikan (khair) berbasis ilmu (in kuntum ta’lamun), (3) harapan menjadi hamba yang pandai bersyukur, (4) harapan menjadi orang yang mendapat petunjuk, dan (5) harapan menjadi orang yang takut dan mendekatkan diri kepada Allah (QS al-Baqarah [2]: 183-186).
Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang bulan suci Ramadhan 1444 H. Semoga kita semua sukses melaksanakan ibadah Ramadhan yang membahagiakan dan mencerahkan: berbasis iman dan ilmu, membuahkan akhlak mulia dan kepribadian takwa. (mf)
Sumber: Republika.id. (mf)