Ramadan in Campus: Mengelola Keuangan di Bulan Ramadan dalam Perspektif Ekonomi Islam
Gedung Rektorat, Berita UIN Online — Ramadan menjadi waktu yang tepat untuk berhemat, karena hakikat puasa adalah menahan diri, termasuk dalam aspek konsumsi. Dengan berpuasa, seseorang diajarkan untuk lebih sadar terhadap pengeluaran, menahan godaan untuk membeli makanan atau barang secara berlebihan, serta mengalokasikan anggaran dengan penuh pertimbangan.
Hal ini senada dengan esensi dari berpuasa yaitu melatih diri untuk hidup lebih sederhana, memahami kebutuhan yang sebenarnya, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama, termasuk melalui zakat dan sedekah.
Guru Besar Bidang Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., menjelaskan bahwa dengan berpuasa dapat mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan, termasuk dalam aspek ekonomi.
“Ramadan menjadi momentum bagi umat Islam untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan, mengurangi konsumsi yang tidak diperlukan, dan lebih banyak berkontribusi pada kepentingan sosial melalui infak, zakat dan sedekah,” jelasnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan untuk mengutamakan kebutuhan di atas keinginan. Hal ini berarti setiap individu dianjurkan untuk menghindari perilaku israf (berlebihan) dan tabdzir (boros) serta harus selalu mempertimbangkan pada kebutuhan dan kemaslahatan.
Terdapat tiga kategori kebutuhan manusia dalam Islam di antaranya:
- Daruriyyat (kebutuhan pokok atau primer)
- Hajiyyat (kebutuhan sekunder)
- Tahsiniyyah (kebutuhan tersier)
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, Islam mengajarkan untuk memprioritaskan kebutuhan primer sebelum dialokasikan untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini juga sesuai dengan konsep maqashid syariah, yang menekankan perlindungan terhadap
Prof. Euis Amalia, M.Ag., menekankan pentingnya prioritas dalam konsumsi. "Seseorang harus memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu sebelum beralih ke kebutuhan yang lebih tinggi. Itulah yang disebut sebagai current consumption," ujarnya.
Sementara itu, ia juga menambahkan bahwa selain memikirkan kebutuhan konsumsi saat ini, seseorang juga harus mempertimbangkan konsumsi untuk masa depan.
“Menyisihkan sebagian pendapatan untuk wakaf, zakat, infak, dan sedekah bukanlah beban atau pengurangan harta, tetapi justru investasi jangka panjang untuk kehidupan di akhirat. Dengan cara ini, harta yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga membawa keberkahan bagi orang lain," jelasnya.
Konsep menyisihkan sebagian pendapatan tersebut sejalan dengan prinsip iḥtiyāṭ (kehati-hatian) dan tadbir māl (pengelolaan harta) dalam Islam, yang mendorong seseorang untuk merencanakan finansial dengan baik, serta berguna untuk kesejahteraan pribadi maupun kemaslahatan sosial.
Dengan merencanakan pengeluaran dengan bijak dan berbagi dengan sesama, seseorang tidak hanya menghindari pemborosan, tetapi juga memastikan bahwa rezekinya membawa manfaat yang lebih luas. Harta yang digunakan dengan cara yang baik tidak hanya memberi kesejahteraan di dunia, tetapi juga menjadi investasi berharga untuk akhirat.
Lebih lanjut pembahasan lengkap tentang pengelolaan keuangan menurut perspektif Islam oleh Prof. Euis dapat diakses di sini.
(Sabila Weliza/Aida Adha S./Fauziah M./Amalia Vilistin)