Quo Vadis Sistem Penjurusan di Sekolah Menengah
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D.
Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan menengah Indonesia mengalami perubahan. Mulai tahun ajaran 2024/2025, pemerintah menghapus sistem penjurusan di jenjang SMA.
Artinya, pembagian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa yang sudah lama menjadi kerangka penjaringan minat siswa kini tidak lagi digunakan. Sebagian sekolah sudah mulai menjalankan sistem ini, sementara yang lain masih dalam tahap penyesuaian.
Perubahan kebijakan ini membawa kekhawatiran menurunnya minat generasi muda terhadap ilmu-ilmu murni seperti Fisika, Kimia, dan Matematika, karena tidak ada lagi struktur kurikulum yang terstandardisasi yang mendorong siswa untuk belajar sains secara lebih menyeluruh. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar.
Sebagaimana disampaikan Kemendiktisaintek pada awal 2025, minat mahasiswa untuk belajar ilmu-ilmu dasar semakin menurun.
Data Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) 2022 juga menegaskan lemahnya fondasi sains generasi muda Indonesia. Skor Indonesia pada bidang sains hanya 383 poin, sama dengan capaian tahun 2003 dan 2006. Artinya, selama hampir dua dekade tidak ada peningkatan berarti. Lebih mengkhawatirkan lagi, hanya 34 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia yang mampu mencapai kecakapan dasar, jauh tertinggal dari rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencapai 76 persen.
Kondisi ini tercermin pula dalam tren penerimaan mahasiswa untuk program studi sains di perguruan tinggi. Jurusan-jurusan ilmu dasar seperti Fisika, Kimia, Biologi, maupun Matematika mengalami sepi peminat, sehingga passing grade pada bidang ini kurang kompetitif. Beberapa jurusan ilmu murni di perguruan tinggi bahkan terancam ditutup karena minim peminat. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan generasi ilmuwan yang menjadi fondasi pengembangan sains untuk riset dan inovasi.
Untuk memahami situasi ini, kita perlu melihat ke belakang. Sistem penjurusan SMA pertama kali diterapkan dalam Kurikulum 1975. Menurut catatan dalam buku SMA dari Masa ke Masa terbitan Direktorat Binaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, penyediaan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa waktu itu mencerminkan filosofi pendidikan nasional: pendidikan harus relevan dengan kebutuhan masyarakat, efisien dalam penyelenggaraan, dan memberi ruang bagi siswa untuk melanjutkan studi atau langsung bekerja. Dengan kata lain, penjurusan dipandang sebagai cara menyeimbangkan pendidikan umum, akademik, dan keterampilan.
Semangat ini juga tercermin dari pemikiran Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan kala itu (1978–1983). Ia menekankan perlunya pemisahan jalur antara pendidikan umum dan kejuruan di tingkat dasar-menengah. Pandangan ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa siswa yang melanjutkan ke universitas membutuhkan jalur akademik yang jelas untuk memperkuat ilmu-ilmu dasar dan berkontribusi dalam scientific community (St Sularto 2022). Dengan adanya jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa, sistem pendidikan SMA memiliki struktur yang jelas, terarah, dan sesuai dengan tujuan akhir masing-masing jalur.
Selama ini, sistem penjurusan SMA memberi identitas dan orientasi bagi siswa untuk melanjutkan studi atau mengembangkan minatnya. Peminat bidang IPA membekali peserta didik dengan fondasi sains untuk melanjutkan studi lanjut di bidangnya. Sementara IPS menyiapkan siswa untuk jurusan ilmu-ilmu sosial. Demikian juga bidang Bahasa yang memperkuat literasi dan apresiasi budaya. Dengan begitu, setiap siswa memiliki jalur pembelajaran yang terstruktur sesuai kebutuhan akademik di perguruan tinggi.
Namun setelah sistem ini dihapus, fondasi keilmuan mulai goyah. Banyak siswa memasuki perguruan tinggi tanpa bekal mendalam di bidang sains. Jurusan ilmu murni kehilangan pasokan utama dari sekolah menengah, sementara kampus-kampus kesulitan memperoleh mahasiswa yang siap melanjutkan riset sains dasar. Hal ini juga berarti Indonesia kehilangan pijakan penting untuk membangun inovasi jangka panjang.
Salah satu penyebab dari situasi ini adalah lemahnya dasar pengetahuan sains di tingkat pendidikan menengah. Banyak siswa tidak memiliki pemahaman konseptual yang kuat terhadap ilmu-ilmu dasar. Selain itu, siswa dan orang tua juga memiliki anggapan bahwa jurusan-jurusan sains tidak menjanjikan peluang kerja yang luas. Siswa yang sebenarnya memiliki minat di bidang sains menjadi tidak termotivasi.
Kritik serupa disampaikan pengamat pendidikan Darmaningtyas. Ia menilai, tanpa penjurusan, siswa kehilangan kesempatan memperdalam mata pelajaran relevan dengan jurusan kuliah yang mereka tuju. Seorang calon mahasiswa Farmasi, misalnya, seharusnya memiliki bekal kuat di bidang Kimia. Begitu pula calon mahasiswa Teknik membutuhkan dasar Matematika dan Fisika. Tanpa pembekalan khusus di SMA, mereka sebenarnya belum begitu siap memulai perguruan tinggi. Akibatnya, kualitas lulusan SMA menurun, sekolah kesulitan mengatur distribusi guru, dan dalam jangka panjang, minat terhadap ilmu dasar semakin melemah.
Bagi Indonesia, dalam tantangan dekade ke depan ilmu-ilmu sains ini sangat penting untuk menyiapkan daya saing generasi muda dan juga kemajuan bangsa. Hal ini terbukti dari pengembangan teknologi dengan model laser, drone, komputer, dan ekonomi hijau yang sangat membutuhkan ilmu-ilmu sains. Jika kita abai dalam bidang ini maka kita akan kehilangan generasi yang punya inovasi.
Ini tanggung jawab kita bersama dan khususnya penyelenggara pendidikan menengah baik di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah maupun Kementerian Agama untuk merumuskan kembali penguatan ilmu-ilmu sains bagi siswa di SMA sebagai penyiapan generasi unggul di perguruan tinggi.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Republika pada Senin (13 Oktober, 2025).