Pusat Literasi dan Inovasi Artificial Intelligence UIN Jakarta: Dorong Tata Kelola Penggunaan AI di Kampus

Pusat Literasi dan Inovasi Artificial Intelligence UIN Jakarta: Dorong Tata Kelola Penggunaan AI di Kampus

Auditorium Utama, Berita UIN Online - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta meresmikan peluncuran lembaga baru bernama Pusat Literasi dan Inovasi Artificial Intelligence (AI) sekaligus mengadakan seminar bertajuk “AI, Tantangan atau Peluang?”  pada Kamis (28/11/ 2024). 

Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor (Warek) Bidang Kerjasama, Din Wahid M.A., Ph.D., Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Wijaya Kusumawardhana, Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya Komdigi, Hari Purwadi, Kepala Sub Direktorat Ketenagaan Diktis, Aziz Hakim, Kitiran Foundation, Sabrang Damar Panuluh, Indonesia Artificial Intelligence, Erik Supit, dan Kepala Pusat Literasi dan Inovasi Artificial Intelligence, Khodijah Hulliyah, M.Si, Ph, D. 

Dalam sambutannya Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Din Wahid M.A., Ph.D., menekankan pentingnya literasi dalam penggunaan AI. Warek bercerita pengalamannya dalam menggunakan AI. Saat ia mencari beberapa topik yang terkait dengan fokus studi yang ia tekuni perihal gerakan radikalisme di Indonesia, semua informasi yang diperlukan muncul dalam sekejap. Namun, dia segera kecewa ketika mencari informasi terupdate tentang siapakah Rektor UIN Jakarta sekarang. “Ternyata nama yang keluar bukan Prof. Asep Saepudin Jahar,” katanya kaget. 

Tak berhenti sampai di situ, dia juga membandingkan penggunaan prompt yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Lagi-lagi ia mendapati sesuatu yang cukup janggal. “Prompt yang diketik dalam bahasa Inggris menampilkan informasi yang lebih komprehensif,” tuturnya. Meski begitu, menurut Warek Bidang Kerjasama ini AI adalah teknologi yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, sambungnya, diperlukan literasi yang benar dalam penggunaan AI. 

Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Wijaya Kusumawardhana, sependapat dengan Warek, dan mendorong tata kelola AI di Indonesia. Wijaya mengatakan 79 persen masyarakat global telah menggunakan AI untuk memudahkan pekerjaan. Sementara itu, di Indonesia, tuturnya, belum ada regulasi dan kebijakan yang resmi terkait AI. “Padahal AI membawa potensi ekonomi yang besar, sehingga perlu dimanfaatkan bagaimana membuat kebijakan dan mengembangkan platform tersebut,” jelasnya. 

Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya Komdigi, Hari Purwadi, menambahkan bahwa Indonesia bertekad untuk menjembatani berbagai negara di berbagai tahapan pengembangan AI untuk memfasilitasi upaya mitigasi risiko dan memastikan bahwa penggunaan AI dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. “Hal ini dapat dimungkinkan apabila kebijakan dibuat memperhatikan unsur keamanan, keadilan, dan inklusivitas,” kata dia.

Berbeda dengan Hari, Kepala Sub Direktorat Ketenagaan Diktis, Aziz Hakim menilai AI justru akan menimbulkan tantangan yang cukup serius di masa depan terutama di bidang akademik. Bagi Aziz, AI hanyalah sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan (ghoyah). Namun begitu, Aziz melanjutkan, seringkali untuk mencapai tujuan seseorang menghalalkan segala cara dan tidak memperdulikan etika akademik. “Penggunaan AI harus bersandar pada moral dan etika akademik,” tegasnya. 

Harus ada batas moral dan etik akademik, lanjutnya, sampai sejauh mana AI dapat digunakan. Aziz mengatakan Kemenag akan mendorong untuk dilakukan kajian, riset dan diskusi lebih serius, perihal kekhawatiran akan adanya gesekan antara AI dan etika akademik.

Berbeda dengan Aziz, Sabrang Damar Panuluh dari Kitiran Foundation dan Erik Supit dari Indonesia Artificial Intelligence, justru menguatkan pendapat Warek Din Wahid perihal diperlukannya literasi dalam memanfaatkan AI. 

Sebagai praktisi AI mereka menampilkan cara kerja AI di beberapa platform menunjukan secara langsung prompt yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Diketahui bahwa AI masih kesulitan dan mengidentifikasi prompt yang menggunakan bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia masih terbatas. Otak AI dirancang dalam bahasa Inggris. Itu berarti untuk mendapatkan hasil maksimal diperlukan prompt yang ditulis dalam bahasa Inggris,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Literasi dan Inovasi Artificial Intelligence, Khodijah Hulliyah, M.Si, Ph, D., sekaligus sebagai moderator menuturkan bahwa lembaga ini dibuat untuk merespon pesatnya perkembangan AI yang belum diregulasi dengan baik terutama di dalam kampus. Dia berharap dapat membuat draft kebijakan yang dapat menangani benturan penggunaan AI dengan etika akademik. “Sehingga kita dapat menggunakannya dengan bijaksana secara etik,” pungkasnya. 

Dokumentasi Acara:

(Aji Pangestu/Fauziah M./Raihan Lail Ramadhan/Foto: Muhammad Fahri Afrizal, Hermanudin)





Tag :