PUJIAN DAN SANJUNGAN
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Dimensi-Dimensi Kitab Kuning”
Pujian atau al-Hamd adalah memberi label bagus terhadap sesuatu. Pujian ini muncul berdasarkan pilihan orang yang melakukan. Artinya, memberi label bagus terhadap sesuatu dimana tidak serta orang lain melakukan yang sama. Inilah ciri khas pujian, seperti diungkap oleh Syaikh Ibrahim dalam Syarah Ta’lim Muta’allim.
Tujuan memberi pujian minimal ada dua. Pertama, untuk mengagungkan (al-Ta’dzim). Kedua, untuk menghormati (al-Tabjil). Keduanya dapat ditujukan untuk mengagungkan dan menghormati Allah SWT, seperti terungkap dalam al-Qur’an, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. al-Fatihah/1:2).
Namun, pujian ini dalam pengertian mengagungkan (al-Ta’dzim) dan menghormati (al-Tabjil) hanya dapat diekspresikan oleh lidah atau lisan. Jadi pujian adalah bahasa verbal yang belum tentu diikuti oleh hati dan diimplementasikan dengan perbuatan yang dilakukan secara subjektif (al-Ikhtiari). Pujian itu pilihan seseorang bukan pilihan orang lain.
Sebab, bagi Syaikh Ibrahim, memberi label bagus terhadap sesuatu yang dilakukan bukan hanya berdasar pilihan sendiri tapi juga berdasar pilihan orang lain disebut sanjungan (al-Madah). Memuji Allah SWT itu hanya dilakukan oleh orang yang beriman kepada-Nya. Sementara menyanjung seorang pesebakbola, tidak harus berspesifikasi beriman.
Dengan kata lain menyanjung pesebakbola bisa dilakukan oleh siapa saja karena memang hal itu menjadi pilihan siapa saja. Orang dengan latarbelakang agama yang berbeda-beda bisa menyanjung pesebakbola yang sama. Maka itu, pujian dalam surah al-Fatihah diisyaratkan hanya untuk Allah SWT semata secara subjektif (orang beriman saja).
Berbeda dengan pujian dan sanjungan adalah syukur. Kalau pujian dan sanjungan adalah bahasa verbal, namun syukur, lanjut Syaikh Ibrahim, adalah ungkapan lisan, hati, dan perbuatan. Jadi secara umum, bahasa verbal dapat dilakukan untuk mengungkapkan pujian, sanjungan, dan syukur. Namun tidak demikian untuk pembenaran di hati dan implementasi.
Ketika seseorang mendapat rezeki uang sejuta rupiah kemudian mengucapkan “Alhamdulillah”, tidak serta merta dikatakan ia telah bersyukur. Dalam persepktif Syaikh Ibrahim, bisa jadi, pertama, dia sedang memuji Allah SWT. Kedua, dia sedang mengucapkan kalimat syukur. Karena bersyukur bukan mengucapkan kalimat syukur.
Orang tersebut baru dikatakan bersyukur kalau mengakui dengan sepenuh hati bahwa rezeki tersebut sebagai karunia Allah SWT yang harus dinikmati bersama-sama. Setelah ia memberikan bagian orang lain dalam bentuk sedekah atau zakat yang ada pada uang tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa ia bersyukur.(sam/mf)