Puasa dari Syahwat Kekuasaan

Puasa dari Syahwat Kekuasaan

Nadirsyah SAg LLM, Dosen Hukum Islam Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Syahwat adalah bagian dari tabiat naluri manusia. Tidak ada manusia yang tidak punya syahwat. Islam hadir bukan untuk menutup pintu syahwat, tapi untuk mengontrol dan menyalurkannya dengan tepat dan proporsional.

Ibadah puasa adalah salah satu latihan untuk mengendalikan syahwat kemanusiaan kita. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya menjelaskan bahwa puasa itu bertujuan supaya manusia tidak terjerumus syahwatnya. Itu sebabnya terhadap perkara yang halal sekalipun, seperti makanan, minuman, dan seks, kita diminta untuk menahan diri di siang hari. Apalagi terhadap hal yang haram.

Namun, apa yang terjadi? Pada bulan puasa, justru kebutuhan rumah tangga meningkat. Ketika kita sudah berpuasa di siang hari, syahwat kita memuncak untuk menikmati hidangan yang sejatinya tidak pernah hadir di meja makan kita di luar Ramadan.

Timun suri, kolak pisang, kurma, dan es kelapa muda, sekadar menyebut hidangan takjil. Belum lagi hasrat untuk membeli pakaian serba baru. Lalu di penghujung Ramadan nanti, tradisi mudik juga mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Puasa tak lagi sekadar ritual, tapi sudah menjadi bagian dari budaya konsumerisme. Celakanya, harga bahan pokok pun meningkat tajam mengikuti kaidah supply dan demand.

Selain syahwat yang berupa naluri manusia seperti makanan, minuman, dan seks, terdapat pula syahwat jenis lain yang mengintai kita, yaitu syahwat kekuasaan. Terkenal adagium bahwa ‘Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan’.

Puasa selalu diberi makna sebagai bagian dari solidaritas sosial, yaitu kita belajar merasakan kesengsaraan orang fakir-miskin yang sepanjang tahun ‘berpuasa’ dari kebutuhan dasar manusia. Kita berlatih merasakan pedihnya penderitaan mereka selama sebulan di bulan Ramadan. Umumnya kita bisa lulus ujian ‘kesengsaraan’ ini.

Akan tetapi, kita boleh jadi gagal dalam ujian syahwat kekuasaan. Merasakan pedihnya penderitaan orang lain tidak akan ada artinya kalau kita gagal mengubah ketimpangan sosial yang ada. Yang fakir dan miskin pada bulan Ramadan tahun lalu, boleh jadi kini bertambah banyak jumlahnya.

Alih-alih membantu mereka agar keluar dari garis kemiskinan, kita malah menjadikan kepedihan hidup mereka sebagai cara mendekatkan diri kita pada Tuhan di bulan Ramadan. Tentu menjadi ironis bukan?

Itu sebabnya bulan Ramadan tidak hanya berisi menahan syahwat, tapi kita juga diwajibkan menolong fakir dan miskin lewat zakat fitrah. Tapi tidak mungkin rasanya kita menghapus ketimpangan sosial hanya lewat beras 2-3 kilogram.

Ketimpangan sosial terjadi akibat sebagian pihak tidak bisa menahan syahwat kekuasaannya sehingga kue pembangunan hanya dirasakan oleh segelintir elite semata. Ibadah di bulan Ramadan sebaiknya mampu membuat para elite di negara kita untuk tidak hanya menahan syahwat berupa makanan dan seks semata, tapi juga menahan diri dari terus memperkaya diri, atau hendak memperpanjang jabatan, dan lalu melupakan pelayanan terbaik untuk rakyat.

Puasa mengajari kita untuk mengubah kekuasaan dari sekadar syahwat menjadi maslahat untuk semuanya. Semoga.

Sumber: Media Indonesia, 8 April 2022. (sm/mf)