Puasa dari Jualan Emosi

Puasa dari Jualan Emosi

Nadirsyah SAg LLM, Dosen Hukum Islam Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jualan yang paling laris saat ini ialah jualan emosi umat. Perasaan kalah membuat orang mudah marah. Betapa tidak? Yang dulunya umat Islam menguasai peradaban dunia, kini dianggap kalah segalanya dari peradaban Barat. Dalam bidang politik, baik skala lokal maupun internasional, begitu juga sosial dan ekonomi. Bahkan, dalam bidang budaya pun bisa kalah dengan budaya K-pop.

Karena itu, muncul berbagai propaganda bahwa Islam saat ini dihina dan diserang. Untuk kepentingan jangka pendek, itu cara yang efektif dalam membakar sekaligus meninabobokan umat.

Semua hal yang dianggap simbol Islam tidak boleh dikritik, dijadikan candaan, ataupun dikriminalkan. Ancamannya, emosi umat akan tumpah ruah. Lama-lama kita tidak lagi terbiasa bertabayun, berdialog, atau berpikir kritis. Pemerintah juga harus mengalkulasi setiap kebijakannya, bahkan salah pernyataan sedikit, risiko politiknya menjadi sangat besar.

Namun, benarkah umat Islam kini dihina dan dikalahkan? Sebagaimana ada produk kw (palsu), jualan emosi umat juga memanfaatkan berbagai isu hoaks dan fitnah. Emosi tinggi, tapi literasi rendah.

Faktanya, semua rukun Islam bisa ditunaikan dan bahkan turut difasilitasi pemerintah. Meski Presiden Joko Widodo bukan dari partai Islam, jelas beliau seorang muslim yang berkali-kali ke Tanah Suci. Wakil Presiden pun seorang kiai.

Umat Islam sebenarnya telah banyak mendapatkan hak-hak khusus, yang kelompok minoritas hanya bisa bermimpi mendapatkannya. Namun, kenapa emosi umat masih terus gampang tersulut? Membingungkan, bukan?

Ibadah puasa, salah satunya, justru sebagai cara kita berlatih menahan emosi. Ketika ada yang marah mengajak bertengkar, Nabi menyarankan kita untuk tidak meladeninya, cukup dengan berkata: "Saya sedang berpuasa."

Dalam riwayat Bukhari, seorang sahabat meminta nasihat. Nabi menjawab, "Jangan marah." Lelaki itu mengulangi permintaannya, tetapi jawaban Nabi pun tetap sama. Dalam riwayat Thabrani, Nabi juga berpesan, "Jangan marah, maka bagimu surga."

Siapa yang dalam kondisi marah, maka hilang akalnya dan buram hatinya. Macam-macam ekspresi orang marah itu. Salah satunya ialah dengan unjuk gigi identitas kelompoknya lewat tampilan kesalehan di ruang publik seperti trotoar jalan. Tentu saja itu mengganggu pengguna jalan dan melanggar ketertiban umum. Namun, kalau dihentikan nanti muncul gorengan bahwa pemerintah melarang umat ramai-ramai membaca Al-Qur’an.

Repot, bukan? Puasa sejatinya melatih kita untuk tetap tenang meski perut lapar. Bukankah urusan perut ini paling gampang menyulut emosi? Kalau dalam kondisi lapar saja kita bisa menahan emosi dan syahwat, tentu diharapkan efeknya saat kondisi normal pun orang yang terlatih berpuasa bisa lebih mengontrol diri. Cerdas, bukan?

Puasa bukan buat orang-orang kalah. Ini ibadah cerdas buat mereka yang mampu mengontrol emosinya dan tidak mudah tersulut isu tak jelas. Itu sebabnya selepas Ramadan kita akan memasuki Lebaran yang juga disebut sebagai hari kemenangan melawan nafsu, emosi, dan syahwat.

Mari kita bikin rugi para penjual emosi umat dengan menyatakan, "Maaf, kami sedang berpuasa! Simpel, bukan?

Sumber: Media Indonesia, Senin 25 April 2022. (sm/mf)