Profesor Lily Suraya: Indonesia Hadapi Ancaman Pemanasan Global
Gedung Rektorat, BERITA UIN Online-- Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang harus bersiap menghadapi ancaman pemanasan global atau global warming karena efek emisi gas buang (CO2). Diperlukan kesadaran bersama sehingga ancaman pemanasan global tidak berdampak luas bagi kehidupan manusia.
Demikian disampaikan Profesor Lily Surayya Eka Putri, Ahli lingkungan sekaligus Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Jakarta, saat menjadi narasumber diskusi kerjasama Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta bersama media daring akurat.co., Kamis (5/8/2021). “Jika tak ada perbaikan, kondisi lingkungan di dunia akan rusak. Salah satunya Ibu Kota Jakarta bisa tenggelam, itu prediksinya," ujarnya.
Akibat perubahan iklim, ungkap Lily, para pakar memperkirakan pengurangan luas daratan pada tahun 2010 bisa mencapai 7.500 meter persegi karena naiknya air laut. Sedang pada tahun 2050 diprediksi 30 ribu meter persegi akan hilang.
Prediksi ini terlihat dari fakta kenaikan permukaan laut saat ini yang sudah mencapai 23 cm atau paling tidak 8 cm dalam 25 tahun terakhir terjadi kenaikan air laut luar biasa. “Sementara yang standar harusnya kurang dari 3,3 milimeter. Tapi sekarang rata-rata sudah 3,3 milimeter,” tuturnya..
Menurut Lily, pemanasan global terjadi akibat dari aktivitas manusia, terutama aktivitas penghasil utama emisi gas kegiatan manusia seperti pembakaran hutan dan pabrik-pabrik. Kondisi ini mengakibatkan panas berlebih di atmosfer.
Ancaman perubahan iklim, sambungnya, muncul bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di suatu negara. Semakin rakyatnya sejahtera, mobilitas semakin tinggi, dan penggunaan energi semakin besar, maka seluruh kegiatan manusia akan menghasilkan emisi karbon yang akan mengancam dunia dalam bentuk kenaikan suhu.
Dampak pemanasan global sendiri akan sangat terlihat di kota-kota besar seperti di Jakarta yang makin panas dan daerah-daerah yang selama ini dikenal berudara bersih dan sejuk seperti Bogor juga mulai berubah. “Untuk melihat lingkungan tidak baik, pagi-pagi lihat langit tertutupi asap. Itu isinya gas beracun bukan kabut. Itu kumpulan gas dari emisi gas buang," terang Lily.
Salah satu komunitas sosial terdampak langsung perubahan iklim adalah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada sektor perikanan laut, terutama para nelayan. Mereka dipastikan akan banyak menanggungkan kerugian ekonomis karena berkurangnya jumlah dan kualitas hasil tangkapan.
“Terumbu akan hilang. Juga penguapan air laut besar-besaran. Lahan budidaya akan hilang dan perikanan makin terganggu,” tutur Lily lagi.
Diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menuturkan, salah satu ancaman yang kini dihadapi Indonesia dan dunia adalah perubahan iklim. Ancaman ini berpotensi merusak ekosistem kehidupan manusia.
Menkeu memperkirakan kebutuhan pembiayaan pengurangan CO2 sebagai sumber utama pemanasan global cukup besar. Hingga tahun 2030, jelasnya, Indonesia membutuhkan dana tak kurang dari Rp 3.779 triliun untuk membiayai program-program pengurangan CO2.
Lebih jauh Profesor Lily menjelaskan perlunya kesadaran seluruh elemen dalam menghadapi ancaman perubahan iklim ini. Para pelaku industri, pengambil kebijakan, dan publik luas untuk bersama-sama mendukung kehidupan ramah lingkungan yang tidak menghasilkan emisi gas buang berlebih. (zm)