Prodi KPI Gelar Kuliah Umum Kritikus Film dan Adovokasi Media

Prodi KPI Gelar Kuliah Umum Kritikus Film dan Adovokasi Media

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online – Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi bekerja sama dengan Majelis Alimat Indonesia (MAI) menggelar Kuliah Umum bertajuk “Kritikus Film/Sinetron dan Adovokasi Media” secara virtual, Jumat (13/8/2021).

Kuliah umum menghadirkan empat narasumber, yakni Rektor UIN Jakarta yang juga Ketua Umum MAI Amany Lubis, Bos Mizan Publika Putut Widjanarko, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Yuliandre Darwis, serta Sastrawan dan Pendiri Forum Lingkar Pena Helvy Tiana Rosa.

Kuliah umum yang diikuti oleh sejumlah dosen, mahasiswa,  praktisi dakwah, penyiaran Islam, serta pengurus MAI itu dibuka Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Armawati dan sambutan Ketua KOM MAI Marlinda Irwanti.

Dalam sambutannya, Kaprodi KPI mengatakan, kuliah umum ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada para mahasiswa KPI tentang dunia perfilman.

“Diharapkan untuk mahasiswa KPI dapat meneliti dan menulis buku, artikel, dan skripsi mengenai perfilman serta dunia penyiaran terbaru,” katanya.

Sementara Marlinda Irwanti dalam sambutannya berharap diskusi tersebut dapat memberikan pemikiran baru pada mahasiswa untuk menghasilkan jurnal-jurnal ilmiah, baik jurnal nasional maupun jurnal internasional.

Rektor Amany Lubis menceritakan, saat dirinya menjadi mahasiswa S1 pada Jurusan Sastra Inggris di Universitas Al Azhar Mesir, kerap diundang untuk berbicara mengenai perfilman. Ia sudah terbiasa melihat film-film sejarah, karena saat itu masuk dalam kurikulum.

“Apa yang saya senang dari film di Mesir adalah sebagai sarana pendidikan dan dakwah. Hal itu yang saya rasakan, saat cerita-cerita sejarah para sahabat dan tabiin diputar,” katanya.

Apa yang diperoleh dari berbagai tayangan film, baik di layar kaca maupun layar lebar, selalu ada teladan, pendidikan advokasi, dan pembelaan terhadap orang-orang rentan dengan berbagai permasalahan.

Rektor juga berharap perfilman dan sinetron di Indonesia menjadi media pembelajaran yang dapat mengangkat realitas dan memecahkan solusi atas permasalahan politik, sosial, dan budaya.

Novelis Islami Helvy Tiana Rosa menilai bahwa sejak era digitalisasi dan masa pandemi jumlah penonton film melalui media televisi dan layar lebar kini mulai bekurang.

“Penonton bioskop turun. Akibatnya, pengusaha bioskop kesulitan memperoleh film baru. Selanjutnya, penonton pun berpindah pada layanan over the top (OTT) atau video on demand (VOD) seperti platform Netflix dan layanan sejenisnya,” ujarnya.

Dalam kasus demikian, katanya, maka salah satu cara yang diharapkan adalah dengan meningkatkan kolaborasi antarpelaku industri kreatif. Contohnya penulis, sutradara, tim produksi, dan sebagainya, sehingga dapat menghasilkan karya yang subtansial dan berpotensi komersial.

Menurut Putut Widjanarko, berangkat dari kegelisahan yang sama, perfilman Indonesia sebelum masa pandemi berkembang dengan baik. Namun, setelah itu mulai ada penurunan.

Mengenai narasi pesan agama dalam film, menurut Putut, hal itu memiliki banyak presepsi. Di antaranya, komodifikasi atau Islamisasi, identity atau pleasure.

“Tiga tahun terakhir saya dan teman-teman membuat “International Film Festival” yang ingin memberi gambaran mengenai kehidupan mengenai kaum muslim,“ ujarnya.

Diharapkan festival tersebut bisa bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia selanjutnya.

Sementara menurut Yuliandre Darwis, fenomena yang terjadi hari ini mengenai kedaulatan digital dapat mengancam kedaulatan suatu negara. Mengenai Netflix, sebagai layanan streaming yang memiliki konten yang tanpa batas, kebebasan yang terjadi dianggap suatu konten kreatif. Namun, kebanyakan konten Netflix justru tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang bersifat ketimuran.

Yuliandre menilai, regulasi untuk layanan streaming di Indonesia tertinggal jauh dari negara Australia, Kanada, dan Inggris. Negara-negara tersebut sudah memiliki regulasi yang pasti dan tegas untuk layanan semacam itu.

“Sebaliknya, Indonesia hanya bisa mengimbau mengenai konten-konten yang sebaiknya disajikan. Soalnya, di Indonesia belum ada fakta hukum yang bisa menjamin tentang hal itu,” jelasnya. (NS/Tiara S dan Fina Nahdiyana)