PP 57 Tahun 2021 dan Resentralisasi Standar Pendidikan
Oleh Dr. Abdul Rozak, M.Si
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pemerhati Pendidikan
Seyogianya pendidikan ditangani dengan pola pemberdayaan di mana pemerintah berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya atau enabler (Satryo Soemantri Brodjonegoro).
Pendahuluan
Belum hilang ingatan kolektif bangsa Indonesia terkait dengan tidak adanya frase Agama dalam rumusan draft PETA JALAN PENDIDIKAN NASIONAL 2020-2035. Peluncuran PETA JALAN PENDIDIKAN oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menimbulkan adanya hiruk pikuk, kontroversial dan menuai kritik publik dari berbagai pihak dan menimbulkan wacana publik yang sangat masif yang diindikasikan dengan banyak sekali respon yang diberikan masyarakat Indonesia untuk menaggapi draft tersebut karena menyangkut tidak adanya aspek fundamental yaitu frase Agama yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Muhammadiyah, NU, MUI mengkritik hilangnya frasa ‘Agama’.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, hilangnya frasa 'agama' merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional) sebab merunut pada hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya yaitu, Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya adalah Pancasila. "Visi Pendidikan Indonesia 2035 semestinya berbunyi sebagai berikut, Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia," sebut Haedar, kepada Media Indonesia, Minggu (7/3/2021).
Pandangan senada dikemukakan oleh Kepala LP Maarif NU, KH Arifin Junaidi yang menyayangkan Kemendikbud mengabaikan pola pikir dimensi religius dan dimensi historis bangsa Indonesia yang menjadi titik awal refleksi, evaluasi dan antisipasi bagi kebijakan pendidikan di masa depan. “Visi pendidikan di masa depan seharusnya mendasarkan diri pada dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia, cita-cita besar para pendiri bangsa tetap harus menjadi orientasi kebangsaan dalam mendesain kebijakan pendidikan di masa depan,”tegas KH Arifin Junaidi kepada Media Indonesia, Minggu (7/3/2021).
Keheranan juga dilontarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menanggapi draft PETA JALAN PENDIDIKAN. MUI berpandangan bahwa Visi Pendidikan Indonesia 2035 semestinya memperkokoh nilai-nilai agama, Pancasila dan budaya Indonesia sebagaimana dalam visi pendidikan nasional semestinya tertulis, "Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, serta beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila."
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pendeta Henrek Lokra, turut menanggapi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang menjadi polemik. Dia mengkritik peta jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang menghilangkan frasa agama. Menurut dia, frasa budaya dan akhlak tidak bisa menggantikan frasa agama itu sendiri. ‘’Agama tidak bisa diwakilkan, agama ada di ruang yang tak tergantikan, itu ruang sakral,’’ ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (8/3). Menurut dia, PGI berpendapat jika agama harus lebih menekankan pada budi pekerti. Dengan demikian, agama tidak diartikan sebagai penekanan pada doktrin, apalagi berteologi dan menentukan pandangan. "Terkait frasa agama dalam peta jalan pendidikan nasional, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia berpendapat bahwa agama harus lebih menekankan pada budi pekerti," kata Pendeta Henrek kepada Republika.co.id, Senin (8/3).
Berbagai kritik yang disampaikan masyarakat terutama yang disampaikan oleh organisasi kemasyarakatan direspon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengatakan bahwa Visi Pendidikan Indonesia dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 masih berupa rancangan. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian, Totok Suprayitno, mengatakan pemerintah masih menyempurnakan peta jalan pendidikan yang masih berada dalam tahap penyempurnaan. "Kemendikbud menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas atensi berbagai kalangan demi penyempurnaan Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 ini dan akan terus menyampaikan perkembangan terkait penyusunannya," ujar Totok saat merespon kritik soal absennya frasa agama, lewat keterangannya, Selasa, 9 Maret 2021. TEMPO.CO, Jakarta.
Meskipun dokumen PETA JALAN PENDIDIKAN NASIONAL 2020-2035 yang beredar ke publik masih berbentuk draft, namun yang dipahami bahwa dokumen itu merupakan cikal bakal bahan perumusan dan penetapan kebijakan pendidikan nasional yang secara substantif bila lepas dari pengamatan dan kritik publik memang telah memuat masalah yang kontroversial karena tidak adanya frase ‘agama’ sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan kesadaran rasional publik sebagai bangsa yang secara instrinsik memiliki spirit dan nilai-nilai agama sebagai jati diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Isu Kontroversial PP 57 Tahun 2021 Terkait dengan Kurikulum Pendidikan
Selepas dari masalah PETA JALAN PENDIDIKAN NASIONAL, muncul lagi masalah kontroversial diseputar hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Mengapa PP ini kontroversial ? jawabannya adalah karena PP ini nampaknya hanya mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang tidak secara utuh sebagai sumber rujukan. Selain itu tidak juga menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi sebagai sumber rujukan hadirnya PP ini. Masalah kontroversial dalam PP 57 ini yaitu tidak dimuatnya mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia untuk pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Masalah lainnya dalam PP 57 ini juga meletakkan posisi kata agama dalam poin yang bawah sebagaimana terdapat dalam pasal 40.
Bila PP 57 ini mengacu secara utuh pasal yang ada dalam UU Sisdiknas antara lain dalam Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”, maka tidak akan menimbulkan hal kontroversial, karena pada Pasal 1 ayat 2 ini terkandung ada 4 (empat) kata kunci yang dijadikan landasan atau dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu Pancasila, UUD 1945, Nilai-nilai Agama dan Kebudayaan Nasional. Keempat hal pokok tersebut (Pancasila, UUD 1945, Nilai-nilai Agama dan Kebudayaan Nasional) dalam implementasi operasionalnya menjadi bahan kajian dan muatan wajib dalam kurikulum di setiap jenjang dan jenis pendidikan yaitu dalam kemasan mata pelajaran atau mata kuliah agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia dalam kurikulum pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
PP 57 ini memang nampaknya hanya mengacu pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 dan tidak mengacu pasal 1 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003. Bila hanya mengacu pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 tentang SIstem Pendidikan Nasional sebagaimana tertulis dalam ayat (1) bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. Sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan bahwa “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa”.
Dalam pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas memang tidak secara ekspilist tertulis kata Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai muatan wajib kurikulum untuk jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Selanjutnya bila PP 57 Tahun 2021 ini juga menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2012 maka muatan kurikulum wajib pada jenjang pendidikan tinggi dalam PP 57 ini akan sejalan dengan muatan dalam UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagaimana pada pasal 35 ayat (3) berbunyi “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah : a. Agama; b. Pancasila; c. Kewarganegaraan; d. Bahasa Indonesia.
Jadi PP 57 ini untuk jenjang pendidikan tinggi masalahnya tidak mengacu pada UU No.12 Tahun 2012. Seandainya PP 57 ini seperti dalam pasal 40 ayat (2) dan (3) mengacu UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2) dan pasal 37 serta pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi terkait dengan pasal tentang kurikulum (PP 57 Tahun 2021) dipastikan tidak akan menimbulkan hal yang kontroversial, karena secara eksplisit ada empat hal fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan. Keempat hal fundamental tersebut menjadi muatan wajib yang dituangkan dalam kurikulum pendidikan di setiap jenjang pendidikan yaitu agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia sebagai wujud dalam dari budaya bangsa. Dengan kata lain mestinya PP 57 Tahun 2021 ini pada pasal 40 ayat (2) dan (3) mengacu juga pasal 1 ayat (2) dan pasal 37 ayat (1) dan (2) UU 20 Tahun 2003 serta pasal 35 ayat (3) UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak akan menimbulkan kontroversi seperti yang terjadi saat ini
Isu Kontroversial PP 57 Tahun 2021 terkait Pembubaran BSNP
Masalah lanjutan dari hadirnya PP 57 Tahun 2021 ternyata tidak saja terkait dengan muatan wajib dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan, tetapi juga terkait dengan pembubaran BSNP sebagai suatu badan independen yang menjadi amanah dalam UU Nomor 20 Tahuhn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas pasal 35 ayat dinyatakan bahwa (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai tindaklanjut dari pasal 35 UU Sisdiknas, lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) 19 Tahun 2005 Tetang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dirubah dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dirubah dengan PP Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketiga PP SNP ini di dalamnya masih tetap mempertahankan keberadaan suatu lembaga yang bernama BSNP sebagai badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan dan mengendalikan standar nasional pendidikan. Ketiga PP SNP tersebut meskipun mengalamai perubahan namun masih tetap berlaku kecuali pada pasal yang dirubah. Artinya isi dari setiap bab dan pasal dari PP 19 Tahun 2005 sebagai aturan induk SNP masih tetap berlaku seutuhnya sebatas tidak ada perubahan oleh PP 32 Tahun 2013 dan PP 13 Tahun 2015.
Lain halnya dengan kehadiran PP Nomor 57 Tahun 2021 yang keberadaannya bukan merupakan kelanjutan dan perubahan dari PP SNP sebelumnya, tetapi sebagai PP SNP baru yang menggantikan keberadaan PP SNP sebelumnya (PP 19 Tahun 2005, PP 32 Tahun 2013, dan PP 13 Tahun 2015). Dalam PP 57 Tahun 2021 pasal 34 ayat (1) Pengembangan Standar Nasional Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu Pendidikan. (2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Menteri. (3) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, badan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) dapat melibatkan pakar. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Ketentuan mengenai suatu badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan berdasarkan PP 57 Tahun 2021 ini diatur oleh Menteri. Pasal 34 ayat (4) PP 57 ini secara substantif berbeda dan bertentangan dengan bunyi pasal 35 ayat (4) yang menyatakan bahwa badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan kata lain sebelum lahirnya PP 57 Tahun 2021 keberadaan BSNP dibentuk berdasarkan PP sedangkan keberadaan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan setelah hadirnya PP 57 Tahun 2021 dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden yang ditindaklanjuti dengan peraturan Menteri. Sebagaimana dalam legal opinionnya Prof. Johannes Gunawan dalam sebuah webinar berpandangan bahwa dengan merujuk pasal 35 UU Sisdiknas, badan yang mengembangkan standar nasional pendidikan diatur dengan PERATURAN PEMERINTAH BUKAN PERATURAN PRESIDEN.
Sejalan dengan perubahan nomenklatur kementerian yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan pada periode kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang semula Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) tersebut pada pasal 6 huruf h menyatakan bahwa Kementerian (maksudnya Kemendikbudristek) terdiri atas Badas Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan. Selanjutnya pada pasal 49 menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja kementerian ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang aparatur Negara”. Dalam Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbudristek pasal 233 mengatur tentang Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan. Prof. Azyumardi Azra menegaskan bahwa "BSNP dibubarkan, sebagai blunder dan kemunduran pendidikan bangsa, pembubaran BSNP membuat pendidikan sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah. Pendidikan sepenuhnya dikuasai pemerintah tanpa kontrol lagi dari lembaga independen BSNP yang mewakili masyarakat pendidikan, (Kompas.com, Kamis (2/9/2021). (Kompas.com, Kamis (2/9/2021). (sam/mf)