Politik, Koalisi, dan Immortal Interest
PERCATURAN perpolitikan nasional pascapemilihan umum legislatif (pileg) menyuguhkan konfigurasi peta kekuatan politik yang sesungguhnya melalui blok-blok koalisi. Konsolidasi blok-blok koalisi ini mulai mengkristal dan menuju pusat pusaran dengan kepentingan yang sama. Pada saat inilah ungkapan bahwa dalam berpolitik tidak ada kawan yang abadi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi (immortal interest) menjadi tepat. Semuanya demi kepentingan meraih kekuasaan menuju kursi presiden.
Kepentingan meraih kekuasaan "menjadi orang nomor satu" di negeri ini diwujudkan melalui pemilihan figur calon presiden yang diyakini bisa dipercaya oleh rakyat untuk memimpin bangsa ini.
Sampai hari ini terdapat tiga blok peta koalisi besar yang mengincar posisi tersebut. Pertama, Blok S (SBY) dari Partai Demokrat dengan beberapa alternatif kekuatan pendukungnya seperti PKS, PAN, dan PKB. Kedua adalah Blok M (Megawati) melalui partai PDIP dengan dukungan Gerindra. Sementara itu, blok ketiga adalah Blok J (Jusuf Kalla) melalui Partai Golkar yang berkoalisi dengan Partai Hanura (Wiranto), yang secara resmi telah menyatakan menjadi pasangan capres dan cawapres.
Sementara itu, PPP tampaknya masih di ujung persimpangan jalan-apakah akan bergabung dengan Blok S atau Blok M, atau dengan Blok J.
Pada momen inilah insting politik para politikus dipertaruhkan. Di sinilah kejelian melihat kesempatan dan peluang, kecepatan menangkap sinyal dan respons, keberanian melawan arus, dan kegigihan memperjuangkan kepentingan benar-benar dibutuhkan demi mengejar impian politik tersebut.
Salah menentukan arah koalisi, kegagalan akan menjadi taruhannya. Namun, jika tepat, kekuasaan akan menjadi ganjarannya. Tak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkan demi konsolidasi politik yang dijalankan. Tak peduli ketidaksepahaman politik yang dimiliki, yang penting tujuan politiknya bisa tercapai. Segala cara terbuka untuk dilakukan walau harus menghilangkan nilai-nilai ideologi dan platform partai.
Sekadar review, dalam politik tidak ada yang mustahil; semua bisa dilakukan asal memiliki kepentingan yang sama. Beberapa waktu yang lalu terjadi kemesraan pertemuan langka antara Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla dan Ketua Umum PDIP Megawati, yang sebelumnya mustahil terjadi. Semua itu dilakukan hanya karena memiliki kepentingan yang sama, yakni menjajaki kemungkinan koalisi mendatang.
Yang lebih spektakuler lagi adalah pertemuan Prabowo dan Wiranto setelah sekian lama berseteru. Semua perbedaan pandangan, kekecewaaan, fitnah, dan ketidakpercayaan di antara mereka musnah dalam sekejap, demi merajut koalisi melawan sebuah kekuatan besar yang dianggap menjadi musuh bersama dalam politik, yaitu kekuatan SBY.
Kejadian-kejadian tersebut makin menunjukkan bahwa betapa immortal interest benar-benar menjadi roh politik, baik untuk kepentingan kelompok (partai) maupun individu (pribadi).
Jadi, tak perlu heran jika seorang politikus hari ini menyatakan A, namun dalam hitungan jam menyatakan B atau bahkan C dan D. Hal itu dianggap wajar dalam dunia politik. Politik akhirnya senantiasa identik dengan kebohongan, kepiawaian mengelabui, kecanggihan siasat dan intrik, adu strategi segala cara, dan kecerdasan memutarbalikkan fakta.
Kini, politik bukan hanya dimaknai sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik telah mengalami degradasi makna yang cukup jauh, identik dengan seni untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun inkonstitusional.
Dalam kata-kata Lenin, politik itu "siapa boleh melakukan apa kepada siapa (who could do what to whom). Sementara itu, menurut ahli sains politik, Harold Lasswell, politik itu "siapa yang dapat apa, bila dan bagaimana (who gets what, when and how). Semua berujung pada muara meraih kekuasaan dengan segala macam cara.
Namun, apakah selama ini politik benar-benar dipakai untuk memperjuangkan rakyat, ataukah kepentingan rakyat diperjuangkan sepanjang sesuai dengan kepentingan pribadi atau partai? Semuanya menjadi tidak jelas.
Maka, wajar apabila Presiden Soekarno pernah mengilustrasikan kekecewaannya terhadap sikap politik dan peran partai-partai dalam pidato peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 yang berjudul "Kuburkan Partai Politik". "Kita semua diserang penyakit. Penyakit yang lebih berbahaya daripada sentimen etnis dan kedaerahan. Anda barangkali bertanya, penyakit apa itu? Dengan terus terang, saya katakan, penyakit partai politik."
Merekam seluruh perkembangan politik nasional menjelang Pemilu Presiden 2009, penulis mengingatkan seluruh elite partai politik yang terlibat di dalamnya untuk kembali mengutamakan kepentingan nasional. Intrik-intrik politik dalam rajutan koalisi sah-sah saja dilakukan, tapi kepentingan bangsa dan masyarakat hendaknya menjadi tujuan utamanya.
Dalam demokrasi, kalah dan menang adalah hal yang wajar. Pihak yang menang hendaknya tidak jemawa dan tidak menafikan peran pihak-pihak yang kalah. Pihak yang kalah hendaknya menerimanya dengan legowo, sportif, dan elegan. Kalaupun terdapat dugaan kecurangan dan manipulasi, sebaiknya ditempuh jalur hukum sebagai jalan utama untuk menemukan kebenaran dan keadilan.
Kita berharap agar immortal interest yang dimiliki setiap partai benar-benar ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Di sinilah kedewasaan dan sikap gentlemen para politikus dipertaruhkan.
Siapa pun yang menang dalam Pilpres 2009 hendaknya dapat menjadi penguasa dan pengelola pemerintahan yang baik, dengan sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pihak yang kalah, jadilah oposan yang baik, yang senantiasa membawa angin perbaikan yang konstruktif bagi bangsa tercinta ini. Semoga Pilpres 2009 berjalan sukses demi Indonesia tercinta.*
Tulisan ini pernah dimuat di Suara Karya, 7 Mei 2009
Penulis adalah peneliti CSRC UIN Jakarta