Pola Dialektik Masuknya Islam di Nusantara

Pola Dialektik Masuknya Islam di Nusantara

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Islam masuk di Indonesia tidak di dalam ruang yang hampa agama dan kepercayaan. Jauh sebelum Islam datang di kepulauan Nusantara ini, masyarakatnya sudah mengenal beberapa agama dan kepercayaan. Bahkan sudah bertumpang tindih antara satu ajaran agama dengan ajaran agaman lain.

Islam datang di Indonesia, menurut kalangan ahlinya, pada abad ke-13 M. Proses masuknya Islam di Indonesia melalui apa yang disebut Taufik Abdullah dengan relativering process, yaitu melalui jalan damai, melewati proses tawar menawar antara eksistensi nilai-nilai lokal dan nilai-nilai universal Islam. Sebelum Islam melakukan islamisasi terlebih dahulu harus merelakan dirinya mengalami proses Indonesianisasi. Karena itu, islamisasi di Indonesia, menurutnya, harus dianggap sebagai on-going process yang harus selalu dilanjutkan.

Para penganjur Islam masa awal berhasil meletakkan pangkalan pendaratan dengan mulus, seperti yang diperagakan oleh para Wali Songo, menggunakan simbol-simbol lokal di dalam memperkenalkan Islam, sehingga tidak ada satu komponen masyarakat yang harus merasa teancam. Akhirnya, para raja pun serta-merta menerima kehadiran Islam tanpa curiga.

Tidak sedikit para Raja mengangkat para penganjur Islam sebagai anggota keluarga kerajaan. Lihatlah misalnya sejumlah pusat kerajaan lokal di Indonesia, mereka menempatkan Islam sebagai agama kerajaan. Ini terjadi sesuai kaedah masyarakat: Dinul ijtima’ ‘ala dini mulukihim (agama masyarakat ialah agama rajanya). Kalau rajanya sudah memeluk agama Islam, maka serta-merta rakyat ikut agama rajanya.

Hal yang sering terlintas di dalam elit-elit masyarakat, khususnya elit agama terhadap mereka ialah, mestikah mereka “dibina” menurut ‘apa adanya’ sekalipun ada terlintas dalam kesadaran bahwa agama dan kepercayaan tersebut berdiri di atas landasan yang batil?

Mestikah mereka “dibina” dengan ‘bagaimana seharusnya’, sekalipun ada dugaan keharmonisan di antara mereka akan terganggu.

Dengan kata lain, mestikah keharmonisan itu dipertahankan walau di atas landasan yang batil, atau mestikah sesuatu yang haq itu ditegakkan sekalipun harus mengorbankan keharmonisan di masyarakat.

Memang serba dilema, mendiamkan persoalan ini sama artinya melakukan pembiaran terhadap sebagian warga bangsa kita hidup dalam ketidakadilan.

Pada sisi lain, menghadirkan regulasi baru untuk mengakomodir mereka bisa menimbulkan ketegangan konseptual baru dan berdampak pada sistem kenegaraan yang sudah terlanjur mapan.

Sebutlah misalnya, jika mereka diakomodir dalam bentuk pemberian pengakuan, maka dampaknya ialah persentasi penganut agama yang sudah mapan pasti mengalami penurunan signifikan secara statistik, karena agama lokal dan Aliran Kepercayaan yang pernah “menumpang” dalam kolom agamanya, hijrah ke kolomnya sendiri.

Di samping itu, Pemerintah harus menyiapkan struktur, minimal setingkat Direktur di Kementerian Agama dan kantor-kantor perwakilan cabang, termasuk personalia dan prasarananya; sementara angka-angka pasti mereka belum jelas, dan selama ini umumnya berdasarkan klaim. Belum lagi dampak sosialnya menyangkut masalah perkawinan, muzakki, mustahiq (zakat), mauquf ‘alaih (waqaf), dll.

Yang patut menjadi pertanyaan ialah seberapa kuat daya tahan Islam di Indonesia untuk bertahan di tengah pasar bebas isme-isme yang menyerbu Indonesia.

ISME itu bukan hanya mengambil tema “luar” yang sering berhadap-hadapan dengan ajaran Islam, seperti liberalisme, sekularisme, materialisme, pragmatisme, dan semacamnya, tetapi juga dengan mengambil tema “dalam” (from within), seperti paham NII, ISIS, Al-Qaedah, Hizbut Tahrir, Salafi-Jihadi, Ahmadiyah, Wahabi, Syi’ah, dan sejumlah Tarekat yang non-mu’tabarah di Indonesia.

Di masa penjajahan sampai paroh pertama pemerintahan Orde Baru, Islam di Indonesia masih relatif terpelihara dengan sistem lama sebagaimana distrategikan oleh the founding fathers bangsa dan al-sabiqun al-awwalun penyiar Islam Indonesia.

Mereka mempertahankan homogenitas umat Islam dengan membatasi isme-isme trans nasional demi berkonsentrasi “menuntaskan” islamisasi tahap berikut di masyarakat.

Umat dibiarkan berkonsolidasi menjadi muslim Sunny-Asy’ary- Syafi’iyah. Pondok Pesantren begitu kuat legitimasinya di masyarakat, walaupun itu hanya di Pulau Jawa dan Madura, karena di luar Pulau Jawa saat itu pondok pesantren belum merata.

Perkembangan selanjutnya, terutama paroh kedua Pemerintahan Orde Baru, yang ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh pembaharu di Indonesia yang baru pulang dari luar negeri dan memompakan semangat modernitas di masyarakat melalui forum dan lembaganya masing-masing.

Patut dicatat sejumlah nama seperti Prof Dr Harun Nasution mendirikan Pascasarjana UIN Jakata, Prof Mukti Ali yang menjadi tokoh birokrasi muslim berpengaruh, Gus Dur yang baru pulang langsung menggebrak dengan FORDEM-nya, Nurcholish Majid dengan Paramadinanya, Quraish Shihab dengan Pusat Studi Al- Qur’annya, Bang Imad, Dawam Raharjo, dll, semuanya merasa terpanggil untuk mengambil bagian.

Disusul dengan lahirnya ICMI yang dikomandani banyak alumni Barat. Tampilnya figur Pak Habibie, disebut oleh media Barat dengan The Habibie Factors mengubah wajah Islam Indonesia.

Sumber: rm.id., 5-7 Februari 2022. (sam/mf)