Pinjol dan Orang Kota
Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat
Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan masalah yang muncul karena hadirnya “Pinjaman Online” (selanjutnya disingkat: “pinjol” saja). Kehebohan terjadi karena praktik yang dilakukan institusi tersebut sangat tidak manusiawi. Bisa saja itu karena oknum, misalnya. Namun tetap saja fenomena ini tidak bisa dibiarkan sebagai noktah kecil yang harus ditoleransi.
Hadirnya pinjol tidak bisa dilepaskan dari berbagai fakta sistem besar keuangan kita serta realitas teknologi yang hadir beriringan dengannya. Pertama, sektor keuangan dianggap salah satu driver perekonomian karena memiliki kemampuan untuk mendukung ragam usaha bisnis terutama untuk ekspansi modal produksi, sehingga meningkatkan laba institusi bisnis tersebut;
Kedua, sektor keuangan memang berhubungan dengan kebutuhan orang banyak, sehingga bisnis di sektor ini selalu dianggap sangat menjanjikan; Ketiga, perilaku masyarakat pengguna uang kita yang memang sudah akrab dengan gaya hidup masyarakat, sehingga budaya ini menjadi peluang tersendiri bagi mereka yang punya modal.
Hadirnya teknologi untuk memperbesar ruang dan ranah sektor keuangan menyebabkan para investor cukup “bernafsu” untuk juga masuk ke ranah ini. Salah satu sektor keuangan yang merupakan kembang dari sektor lama konvensional adalah Fintech atau Financial Technology. Fintech begitu gempita disambut oleh banyak pihak: baik investor maupun kreditor.
Perilaku konsumtif dan kebiasaan berhutang yang sudah lama menjadi budaya kita, membuat sektor ini begitu disambut antusias. Hal ini bisa dibuktikan dengan data yang keluarkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang menyebutkan bahwa sampai Februari tahun 2021, Pinjaman Fintech mencapai Rp 169,5 Triliun. Lalu menjadi Rp. 181,67 Triliun per Maret 2021.
Fintech adalah sub-sektor keuangan yang merebak beberapa tahun terakhir karena didukung oleh adanya teknologi digital. Variabel teknologi yang ada diyakini bisa mengurangi resiko negatif bisnis, sehingga banyak pihak kemudian berlomba-lomba untuk masuk ke sektor ini.
Lalu, seperti bisa diperkirakan, tawaran pinjaman pun semarak seperti jamur yang tumbuh menjelang musim hujan.
OJK, sebagai lembaga yang berwenang mengawasi kegiatan institusi bisnis ini mencatat bahwa sampai tahun 2021 ada 116 perusahaan yang menjadi penyedia jasa P to P ini.
Namun jangan salah, sampai tahun 2021, Tim satgas Waspada Investasi (TWI) telah menutup dan memberhentikan sebanyak 3.193 Pinjol ilegal ini sejak 2018 (Sumber: databoks, 2021). Artinya bagi beberapa orang, fintech merupakan peluang untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat, meski dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma-norma.
Pinjol bisa jadi merupakan fenomena perkotaan. Hal ini dikarenakan ragam aplikasi yang kemudian diakses oleh peminjam, kebanyakan dilakukan oleh orang kota. Jadi bisa dikatakan bahwa pinjol sebagai fenomena kota karena teknologi, pengakses, pemodal dan “korban”nya semua adalah orang-orang yang lebih banyak di kota.
Jika dilihat dari perspektif relasi pinjam meminjam, sebenarnya ini merupakan replikasi dari kebiasaan lama yang sudah cukup membudaya. Pada masyarakat, sudah lama dikenal istilah “bank keliling” (kadang disingkat: bankke) atau rentenir.
Rentenir atau bank keliling memiliki modus operandi yang sama dengan sistem keuangan seperti perbankan. Sama-sama menjadikan kegiatannya adalah memberikan pinjaman kepada kliennya. Hanya saja pendekatan rentenir atau bankke ini kadang lebih personal dan membuat kesepakatan-kesepakatannya pun lebih fleksibel.
Pinjol sebenarnya mengadopsi sistem ini dengan lebih institusional. Bahkan kemudian memperkuatnya dengan aparat khusus yang bergerak pada penagihan utang nasabah atau klien. Di sinilah masalah kemudian mengkristal dan menjadi semakin besar, karena dalam praktiknya, mereka kemudian menerapkan “bunga berbunga” yang di luar nalar kemanusiaan.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa kasus yang mendera nasabah pinjol akhir-akhir ini semakin marak? Ada beberapa perspektif untuk menjawabnya, salah satunya kita bisa melihat pada aspek sosiologis.
Pertama, meluruhnya modal sosial masyarakat. Modal sosial adalah ruang di mana seseorang akan merasa “aman” dalam suatu komunitas karena ia memiliki beragam ikatan yang bisa menyelamatkan kehidupan subsistennya.
Mereka yang termasuk ke dalam kategori kelompok rentan ini, tidak akan terjebak pada ruang lain yang tidak jelas, samar, dan kadang menjebak, karena di dalam komunitasnya mereka merasa masih memiliki jaminan. Sehingga jika ada hal-hal yang terkait dengan kebutuhan dasar sehari-hari, mereka tidak perlu harus menggunakan pihak ketiga seperti pinjol ini.
Ketika modal sosial ini mengalami peluruhan akibat banyak hal, sementara kebutuhan dasar tetap harus dipenuhi, mereka yang tidak lagi merasa ada jaminan di komunitasnya maka kemudian menggunakan jasa pinjol sebagai penjamin kehidupan jangka pendeknya. Meski, bisa jadi sebenarnya mereka (nasabah ini) pun sudah mengetahui risiko-risikonya.
Kedua, terpaan atau paparan dari media. Seperti kita rasakan bersama, bahwa salah satu obyek yang memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat akhir-akhir ini adalah media, terutama media sosial. MedSos ini cukup banyak telah mengharubiru kehidupan bahwa sedikit banyak telah “menggantikan” model relasi konvensional berbasis tatap muka menjadi tatap gawai.
Celakanya, narasi di media sosial kadang banyak yang ditampilkan tidak apa adanya; melain merupakan rekaan dan buatan. Hasil-hasil editan inilah yang kemudian bisa menghasilkan makna ambigu bagi pembacanya: dianggap asli dan nyata atau dianggap palsu sama sekali.
Kaitannya dengan pinjol hari ini, beberapa peminjam pun juga terjadi karena terpaan media ini, terutama karena ia sangat berhasrat untuk memastikan keberlangsungan kehidupannya, baik yang pada level benar-benar butuh atau hanya “jadi perlu” saja. Namun ujungnya tetap sama, mereka akhirnya terjerat dengan skema pinjol ini.
Ketiga, di sisi lain, kedua kelemahan ini begitu apik dimanfaatkan oleh para pengusaha “hitam” untuk mengakumulasi kekayaannya meski dengan cara-cara yang tidak halal dan tidak sesuai aturan. Mereka melakukan beragam “penindasan” terhadap nasabah yang bermasalah karena didasarkan pada logika hanya ingin menambang keuntungan semata.
Pinjol ini tidak mendasarkan tindakannya pada motivasi atau niatan ingin membantu; bagi entitas ini pinjol adalah bisnis murni, yang tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan.
Dari ketiga hal di atas kita bisa melihat, mengapa kehadiran Fintech yang tidak berimbang dengan pengetahuan masyarakat tentang perilaku sektor ini menyebabkan banyak cerita pilu yang hadir. Sehingga kisah-kisah pilu ini akhirnya menutup pinjol yang benar-benar bergerak sesuai aturan pemerintah.
Karena itu, bola sekarang ada pada pemerintah. Apakah dengan beragam kisah pilu ini pemerintah masih mau tetap mengijinkan pinjol sebagai entitas yang melayani kebutuhan keuangan masyarakat? Kita tunggu saja.
Sumber: rm.id. (mf)