Pesantren atau Sekolah Asrama?
Aku tidak sanggup mengalahkan telepon pintar. Anakku tidak bisa lepas darinya. Jika ditegur, komentarnya tidak menyenangkan. Karena itu aku terpaksa menitipkan dia di pesantren. Meski berat menyayat hati terpaksa aku lakukan. Demikian alasan teman saya memesantrenkan anak perempuan tunggalnya.
Anaknya masuk SMP. Masih sangat kecil. Keluarganya di Palembang. Pesantrennya di Bekasi. Liburan anak hanya setahun dua kali. Ribuan bahkan jutaan orangtua terpisah dari anak-anaknya. Demi anak mondok di pesantren. Sistem pendidikan 24 jam. Anak bukan hanya belajar sejumlah pengetahuan tetapi belajar dan dididik how to live together.
Di Indonesia ada 25.938 pesantren, dan terdapat 3.962.700 santri. Tidak ditemukan data pasti berapa jumlah sekolah asrama (boarding school) di Indonesia. Yang pasti pertumbuhannya sangat bagus dari tahun ke tahun. Sekolah asrama merupakan sekolah alternatif bagi masyarakat yang tidak tertarik dengan pesantren.
Hak Berkumpul Anak
Benarkah atau tepatkah menitipkan anak sejak usia sekolah dasar atau sekolah menengah di pesantren atau asrama? Misalnya, beberapa pesantren tahfiz (menghafal Alquran) menerima santri usia sekolah dasar. Anak-anak terpisah dari orangtuanya. Hal ini memicu perdebatan di kalangan orangtua dan ahli pendidikan.
Terdapat perbedaan sistem pesantren dan sekolah asrama. Pada umumnya pesantren membatasi pertemuan anak dan orangtua. Anak hanya boleh pulang dua kali atau satu kali dalam setahun. Orangtua bisa sekedar menjenguk anak satu bulan sekali atau satu minggu sekali. Tidak boleh dibawa pulang.
Salah satu alasannya adalah rumah atau lingkungan di luar pesantren membawa "penyakit", "kotoran", atau dampak negatif bagi santri. "Jika lama di luar pesantren akan berat bagi kami untuk membersihkannya". Demikian dikatakan seorang pemilik pesantren di Bekasi.
Sedangkan sekolah asrama atau boarding school lebih longgar. Beberapa di antaranya mengizinkan anak dibawa pulang ke rumah seminggu sekali. Jumat sore hingga Minggu malam. Waktu anak di sekolah dan di rumah hampir seimbang. Peluang interaksi anak dengan guru dan orangtua hampir sama.
Menurut seorang direktur sekolah asrama di Depok, anak-anak masih membutuhkan waktu bersama keluarga. Pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama. Guru dan orangtua. Orangtua yang anaknya di asrama tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak kepada guru dan pembina asrama. Guru dan orangtua harus menjalin kerjasama dalam pendidikan anak.
Kondisi Keluarga
Manakah dari dua sistem tersebut yang lebih tepat bagi perkembangan kepribadian siswa? Pesantren dengan sistem yang ketat atau sekolah asrama yang lebih longgar? Jawabannya tergantung pada kondisi orangtua. Pertama, orangtua yang memiliki waktu dan memahami pendidikan anak. Bagi orangtua yang memiliki waktu bersama anak-anak di hari libur akan lebih baik bagi mereka bersama keluarga. Anak-anak bisa menyampaikan pengalamannya kepada orangtua selama di sekolah dan asrama (communication skill).
Demikian juga jika orangtua memiliki pemahaman yang baik tentang pendidikan anak, lebih baik dan lebih ideal anak-anak bersama mereka. Dikatakan, orangtua adalah guru terbaik bagi anak-anak mereka. Bagaimanapun baiknya seorang guru atau ustaz tidak akan sebaik dan seperhatian orangtua.
Kedua, orangtua yang sibuk atau awam dalam pendidikan anak. Orangtua yang jarang di rumah meski berpendidikan baik, mungkin lebih tepat memasukan anaknya ke pesantren. Mereka tidak bisa mengawasi anak sehari-hari bahkan di hari libur. Peran mendidik anak dilimpahkan ke guru dan ustadz pesantren.
Namun demikian dikatakan bahwa pertemuan orangtua dengan anak tidak bisa dinilai dari kuantitasnya tetapi kualitasnya. Meski sebentar tetapi berkualitas lebih baik daripada sering tetapi tidak berkualitas. Tentu saja yang ideal adalah waktunya cukup dan berkualitas.
Demikian juga orangtua yang awam dalam pendidikan anak meski punya waktu, lebih tepat memesantrenkan anak mereka. Meskipun tidak semua anak akan betah di pesantren. Tidak semua orangtua juga tertarik dengan pesantren. Ada juga keluarga yang semua anaknya alumni pesantren.
Mendidik anak tidak mudah dan penuh tantangan di era baru ini. Diperlukan pengetahuan bagaimana bicara, menegur, menghukum, melatih, dan mendidik anak anak di rumah. Jika tidak tepat mendidik anak, maka ia akan mencari teman dan lingkungan di luar rumah yang membuatnya merasa nyaman.
Sedangkan tantangan mendidik anak saat ini adalah telepon pintar. Mereka tidak bermain dengan teman sebaya, kecuali di sekolah. Anak-anak bisa seharian memainkan telepon di rumah atau kamar mereka. Mulai dari bermain media sosial, menonton, dan main games. Hampir semua anak tertarik dengan telepon pintar.
Akibatnya waktu istirahat dan belajar anak berkurang bahkan sangat kurang. Dampaknya adalah kesehatan dan kecerdasan anak menurun. Belum lagi dampak negatif muatan media sosial dan internet yang tidak sepenuhnya sesuai dengan usia anak-anak.
Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Wasekjen PGRI, Jumat, 02 Agustus 2019. (lrf/mf)