Perspektif Islam terhadap Wanita
Nanang Syaikhu
SEORANG artis wanita ternama di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu meliak-liuk di atas panggung. Ia begitu bersemangat saat membawakan lagu kesayangannya yang belum lama dirilis. Untuk menambah pesona penampilannya, ia menggunakan pakaian serbaminim dan superketat.
Itu baru di jagat televisi. Di jagat media sosial, terutama Tiktok, Instagram, dan Youtube, penampilan wanita seronok tak lebih miris lagi. Di media hiburan itu, para wanita muda kerap memamerkan wajah cantik dan baju yang agak terbuka demi sebuah konten atau follower dan viewer. Penampilan mereka ada yang disukai netizen, tapi tidak sedikit pula yang mencemooh.
Penampilan artis seronok di layar kaca, baik sebagai penyanyi maupun pemain sinetron, dan para kreator konten saat ini bukan hal aneh. Dalam jagat hiburan, televisi dan media sosial yang menampilkan sejumlah wanita cantik dan seksi merupakan sebuah fenomena sekaligus tragedi kemanusiaan bagi kaum hawa. Itu karena dalam panggung hiburan yang cenderung ‘mengeksploitasi seks’ itu, wanita tidak lagi memiliki nilai, kecuali sebatas objek ‘pemuas’ nafsu kaum laki-laki.
Kaum wanita tidak lagi dipandang sebagai makhluk Tuhan yang harus dicintai dan dihargai martabatnya. Mereka tak lebih sekadar barang antik yang layak dipajang di berbagai etalase. Bahkan, wanita juga dianggap maskot keberuntungan, seolah jika tanpa wanita produk barang maupun jasa tidak menjadi laku jual.
Selain di jagat hiburan, hampir tidak ada hotel, restoran, atau show room yang tidak melengkapi usahanya dengan wanita-wanita cantik dan berbikini seronok. Hukum pasar itu tidak hanya berlaku di Barat, tapi juga di Indonesia yang memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda.
Wanita di Barat
Di dunia Barat (Ibnu Musthafa, 1993), seks dan wanita memang sudah tak aneh karena semangat ekonomi Barat yang cenderung kapitalistik, telah menganggap seks sebagai industri. Tak ada kegiatan ekonomi tanpa seks dan tak ada seks tanpa ekonomi. Dengan kata lain di Barat saat ini telah berlaku pepatah ‘ekonomi untuk seks dan seks untuk ekonomi’.
Sebuah gambaran bagaimana seks telah menjadi sebuah kekuatan industri dan ekonomi pernah dilaporkan Committee of Fourteen, yakni suatu komisi pembaruan moral di Amerika, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya. Laporan itu menyebutkan hampir semua ballroom, night club, salon kecantikan, manicure shop, panti pijat, dan hair dressing shop di Amerika telah berubah menjadi tempat-tempat pelacuran, bahkan dengan kondisi yang lebih buruk lagi. Belum terhitung tempat-tempat bisnis resmi yang menampung ribuan pelacur di kota-kota besar Amerika, seperti New York, Rio de Janeiro, dan Buenos Aires.
Sementara itu, di Inggris, terdapat wanita-wanita yang menggantungkan kehidupannya dari menyewakan atau menjual tubuhnya. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal yang sama juga melanda negara-negara Eropa lainnya, seperti Prancis, Jerman, dan Swedia.
Di Jerman, bahkan secara resmi telah membuka dan mengesahkan tempat-tempat pelacuran. Di Hamburg, tepatnya di Distrik St Pauli, terdapat kira-kira 300.000 pengunjung setiap bulan. Mereka dengan leluasa dapat memarkir mobilnya di garasi bawah tanah untuk selanjutnya memilih seorang wanita untuk teman berkencan. Menggeliatnya industri seks juga berlangsung di Benua Australia serta beberapa negara di kawasan Asia kini.
Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, seks dan wanita tidak dipandang semurah itu. Seks ialah sesuatu yang sakral dan hanya ada dalam ruang privacy para pemiliknya. Ketika Adam (simbol pria) diciptakan, Allah kemudian menciptakan Hawa (simbol wanita), yang menurut sejumlah literatur, berasal dari tulang rusuk Adam atau berasal dari satu jiwa (QS An-Nisa: 1).
Hawa (Eve) yang kelak menjadi istri Adam, lalu ditasbihkan sebagai wanita pertama yang melahirkan keturunan manusia, baik laki-laki maupun wanita. Dari sinilah proses reproduksi manusia terus berlangsung hingga abad kini (QS An-Nisa: 1).
Namun, wanita dan pria selain diciptakan berasal dari satu jiwa, keduanya memiliki sifat-sifat perbedaan dan sekaligus persamaan. Pria memiliki fisik yang lebih kuat sehingga memungkinkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan energi besar. Sementara itu, wanita memiliki fisik lemah dan penuh kelembutan, yang baginya hanya membutuhkan pekerjaan-pekerjaan dengan kesabaran dan ketelatenan.
Selain itu, pria memiliki gejolak jiwa yang lebih rasional, sementara wanita lebih emosional dan berperasaan. Meski berbeda secara fisik, baik jenis kelamin maupun letupan jiwanya, keduanya memiliki hubungan serasi bila dipadukan dan menjadi sebuah harmoni dalam kehidupan.
Itulah perbedaan dan persamaan dari sunnatullah pria-wanita. Keduanya memiliki fitrah untuk sama dan tidak sama (QS Ar-Ruum: 30).
Untuk mengharmonikan kehidupan, Allah mengizinkan pria dan wanita melangsungkan pernikahan secara sah sesuai dengan syariat. Pernikahan, tepatnya hubungan seksual, di luar syariat dianggap batal dan pelakunya dikategorikan zina (QS Al-Isra: 32).
Allah juga mengecam pria dan wanita melakukan penyimpangan-penyimpangan seksual lain, termasuk membuka aurat di ruang publik. Bahkan, secara spesifik, Allah menegur kepada para wanita yang berasyik-masyuk dengan keindahan tubuhnya di depan publik (QS Al-Ahzab: 59 dan QS An-Nur: 31), kecuali kepada mahram di lingkungan keluarganya.
Di mata Allah, manusia (pria-wanita) memiliki kemuliaan dan keagungan. Perintah Allah kepada setan untuk bersujud kepada Adam, setidaknya menjadi bukti dari kemuliaan manusia atas makhluk-makhluk lain—meski kemudian setan melakukan pembangkangan atas perintah Allah tersebut.
Dengan kemuliaannya itu, manusia kemudian diperintahkan untuk menjaga harmoni karena proses diciptakannya manusia untuk memelihara kelangsungan hidup dan sekaligus memelihara harmoni alam. Proses harmoni manusia akan dicapai apabila keduanya saling memahami diri--sesuai dengan hak dan kewajibannya, serta tugas dan fungsinya. Keduanya juga tidak saling mengeksploitasi satu sama lain yang pada gilirannya akan menurunkan martabat manusia dari kemuliaannya di sisi Allah (QS Ar-Ruum: 30 dan QS At-Tin: 4-5).
Kemuliaan dan martabat manusia, juga telah menjadi perhatian Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Ada tiga hal yang sangat aku senangi di dunia, yaitu wangi-wangian, istri salihah, dan ketenangan saat salat."
Sementara itu, kalangan sufi, seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi, memandang wanita sebagai objek penglihatan terhadap Tuhan. Dalam diri wanitalah, segala keindahan dan keagungan Tuhan mewujud. Wanita, kata Ibnu ‘Arabi, ialah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. (ZM)
Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di laman opini Media Indonesia, Selasa 5 September 2023. Lihat https://mediaindonesia.com/opini/610621/perspektif-islam-terhadap-wanita