Perawat Perlu Hargai Budaya Lokal
Syahida Inn, UIN Online - Guru Besar Antropologi Kesehatan UIN Prof Dr Rusmin Tumanggor mengatakan, kehidupan manusia merupakan bagian siklus daur alam semesta, yang berciri eksistensi awal tak bergaris dan tak berbatas ruang dan waktu.
“Daur alam dimaksud adalah satuan-satuan gugus planet tak bertopang benda padat atau cair satu sama lain. Melainkan oleh daya tolak-tarik sehingga mengorbit tanpa berbenturan satu dengan yang lain,†kata Rusmin dalam seminar nasional bertema Culture Approach in Holistic Nursing Care in Globalization Era yang diselenggarakan  BEM Prodi Ilmu Kaperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) di Syahida Inn, Sabtu (14/11).
Turut hadir Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Prof Dr Ahmad Thib Raya, Dekan FKIK Prof Dr dr M K Tadjudin Sp And, Ketua Prodi Ilmu Keperawatan Tien Gartinah MN, serta para utusan mahasiswa Ilmu Keperawatan se-Jabodetabek.
Rusmin menjelaskan, manusia terdiri dari bentukan atom-atom dari unsur-unsur yang terkandung pada planet. Namun meski unsur tanah, besi, air, listrik, api, dan udara menyatu dalam ekologi masing-masing planet, tapi tidak semua planet memiliki kandungan unsur energi yang sama satu dengan yang lain.
“Karena esensi manusia adalah ekstrak dan jejaring komponen yang terdapat di bumi, maka kesempurnaan kehidupan manusia ditentukan oleh kecukupan dan kesinambungan pada unsur tanah, besi, air, listrik, api, dan udara,†ujarnya yang juga konsultan tetap proyek penelitian di Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag RI.
Lebih lanjut Rusmin mengatakan, untuk kecukupan asupan, kesinambungan, serta kemampuan memiliki unsur manusia memerlukan kerjasama di antara sesama manusia itu sendiri. Kerjasama itu adalah kerjasama ide, kegiatan bersama, dan artifact. Semua itu disebut kebudayaan (culture).
Karena itu, di samping optimisme yang harus dibangun dalam memaksimalkan etos kerja sosial dan memanfaatkan alam, manusia tetap memohon perlindungan, keberkahan dalam pengelolaan alam untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Sementara itu Dosen Senior pada Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran (Unpad) Dra Suharyati Samba SKp M Kes mengatakan, hal yang dapat mempengaruhi manusia baik atau tidak baik, sehat atau tidak sehat yaitu pada kondisi tubuh, semangat, dan pikiran. Lebih dari itu juga dipengaruhi dari keturunan, budaya, dan pengalaman.
“Seorang bayi dilahirkan dari orang tua keturunan Jawa atau Sunda, sangat memungkinkan akan mempengaruhi budayanya kelak,†jelas Suharyati yang juga Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) periode 2005-2010.
Suharyati mencontohkan, sekitar tahun 1957 hingga 1970 ketika seorang ibu melahirkan di rumah dikenal dengan istilah dibedong, digendong terus menerus dalam 40 hari (ditepuk-tepuk, digoyang-goyang plus dinyayikan) dan menyusui.
“Kini di rumah sakit dibedong tetap ada, ditidurkan khusus di kamar bayi, dan diberikan ke ibu tiap tiga jam satu kali untuk disusui. Tapi sekarang untuk menyusui kembali seperti dulu, selagi si bayi mau boleh disusui,†terang Suharyati.
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan UI Dra Setyowati SKp M App Sc PhD menilai, perbedaan budaya perlu dijadikan sebagai ekspresi budaya seseorang. Masyarakat yang memiliki nilai dan budaya yang berbeda juga harus dapat mengharagai budaya masing-masing.
“Pola komunikasi verbal atau non verbal sangat bervariasi pada masing-masing budaya, dan jika perawat tidak dapat memahaminya pasien akan merasa tidak enak,†tukasnya. Bagi Setyowati, diagnosa yang tepat dan pengobatan tidak bisa terjadi jika pemberi pelayanan kesehatan tidak bisa mengerti keinginan pasien. [Jaenuddin Ishaq]