Perang Rusia-Ukraina Sisi Muslim (2)
Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kenyataan ini penting karena dengan begitu, agama dan penganutnya di kedua negara, tidak eksplisit dan langsung terlibat penghancuran kemanusiaan dan peradaban karena invasi Rusia ke Ukraina. Dalam konteks itu, perlu melihat demografi keagamaan di kedua negara itu.
Gereja Ortodoks menjadi komunitas keagamaan terbesar Rusia —sekitar 41 persen dari lebih 146 juta warga dan sekitar 25 persen warga percaya pada Tuhan walau tidak berafiliasi pada agama. Sedangkan Muslim diestimasi antara 14-20 juta (10-15 persen).
Komunitas agama terbesar d Ukraina juga Nasrani Ortodoks, sekitar 50,4 persen dari 41 juta jiwa warga. Kaum Muslim Ukraina hanya sekitar 400 ribu jiwa (0,9-1,2 persen) —berasal dari etnis Tatar Krimea, Turki, Chechen, Dages, Azerbaiji, dan sedikit etnis Ukraina.
Kebanyakan mereka imigran Muslim dari Asia Tengah sejak abad ke-19. Imigrasi meningkat pada masa Uni Soviet dan berlanjut pada era Rusia walau tak mudah berganti kewarganegaraan dari Rusia menjadi Ukraina.
Peningkatan jumlah Muslim di Ukraina tak signifikan; tiada konsentrasi Muslimin di daerah tertentu atau perlakuan khusus dalam regulasi dan administrasi pemerintahan Ukraina.
Umat beragama di kedua negara yang berperang kebanyakan sama-sama dari gereja Ortodoks —dengan sedikit perbedaan karena pengaruh realitas lokal sehingga menyebut diri sebagai ‘Gereja Ortodoks Rusia’ dan ‘Gereja Ortodoks Ukraina’.
Sedangkan kaum Muslim kedua negara kebanyakan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, mayoritasnya ‘tradisional’, dengan sedikit ‘Salafi’ yang datang dalam beberapa tahun terakhir. Tidak banyak Muslim beraliran Syiah di kedua negara walaupun wilayah mereka tidak terlalu jauh dengan Iran, negara Syiah terbesar.
Perang Rusia-Ukraina tidak terkait agama atau umat beragama. Perang sepenuhnya disebabkan konflik politik dan kontestasi hankam yang secara historis sudah berlangsung lama.
Kepemimpinan agama tak terlibat; mereka tak bisa mencegah invasi Rusia; kini juga tak bisa berperan menghentikan perang dan menciptakan perdamaian. Meski demikian, militer Rusia melibatkan banyak tentara beragama Islam yang organik dalam angkatan bersenjata.
Juga ada pasukan relawan Muslim yang datang dari berbagai republik otonom Federasi Rusia. Banyak video pendek beredar dalam media sosial tentang tentara Muslim di pihak Rusia, yang sedang atau bersiap melakukan shalat di pinggir hutan wilayah perang yang masih rontok di tengah musim dingin.
Di lain pihak, ada laporan media yang relatif lebih terbatas tentang sejumlah Muslim yang ikut berperang mempertahankan Ukraina dari serangan Rusia. Keterlibatan Muslim dalam militer Rusia bukan sama sekali baru karena Muslim makin banyak dan terintegrasi.
Penganut Islam terus berkembang sejak pertengahan abad ke-7 M dan menyebar dari wilayah Persia (Suni) dan Turki memasuki Asia Tengah, sehingga secara religio-kultural mereka ‘Persian’ dan ‘Turkic’ Suni.
Sementara itu, Muslimin Ukraina khususnya etnis Tatar Krimea yang berimigrasi ke Eropa Timur sejak akhir abad ke-7 M secara religio-kultural adalah ‘Turkic’.
Keterlibatan Muslim dalam militer Rusia dan Ukrania yang sejak pekan terakhir Februari berperang, berakar dalam sejarah panjang—melintasi entitas-entitas politik berbeda. Sebelum Ukraina merdeka (24 Agustus 1991) dari Uni Soviet yang dalam proses pembubaran, tentara Muslim menjadi bagian integral dari militer entitas politik.
Tentara Islam mulai terekrut ke dalam militer kekuasaan entitas Tsar Rusia yang dikenal juga sebagai ‘Tsardom of Muscovy’ yang berdiri sejak 1547. Tsardom Rusia menyatukan wilayah luas di Asia Utara dan Eropa Timur, termasuk Ukraina, ke dalam kekuasaan sentralistik.
Mayoritas tentara Tsar Muscovy beragama Islam direkrut dari penduduk Muslim di wilayah Ural-Volga, yang ditaklukkan Tsar sepanjang paruh kedua abad ke-16. Pertambahan jumlah tentara Muslim meningkat drastis ketika pemerintah Tsar memberlakukan ‘wajib militer’ (conscription) di wilayah Ural-Volga sejak 1874.
Namun, komunitas Muslim di wilayah Asia Tengah, Kaukasus Utara dan Kaukasus Selatan dan Krimea tidak terkena wajib militer; Muslim dari wilayah ini hanya sedikit yang menjadi tentara Tsar Muscovy.
Pemerintah Tsar tidak menerapkan wajib militer di wilayah ini karena khawatir Muslim eksodus ke kawasan Turki Utsmani. Pemerintah Tsar juga meragukan kesetiaan Muslim dari wilayah Kaukasus karena penetrasi kekuasaan Tsar Muscovy tidak efektif menjangkau wilayah ini.
Selain itu, sejak masa Tsar Catherine II Yang Agung (1762-1796), Islam bersama Gereja Orthodox diakui sebagai warisan dan agama resmi negara ‘Tsar Muscovy’. Catherine akomodatif pada kaum Muslim.
Dia menerbitkan ‘Akta Toleransi untuk Semua Agama 1773’. Akta ini juga memberi izin resmi bagi kaum Muslim mendirikan masjid, memberi pengakuan pada madrasah dalam sistem pendidikan nasional, dan mengizinkan kaum Muslim pergi naik haji.
Tsar perempuan ini juga memberi subsidi negara pada masjid, mullah, dan komunitas Muslim di lingkungan mereka masing-masing.
Sumber: Resonansi Republika, 17 Maret 2022. (sam/mf)