Perang Rusia-Ukraina: Sisi Muslim (1)

Perang Rusia-Ukraina: Sisi Muslim (1)

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Perang Rusia versus Ukraina, bermula dengan invasi Rusia (24/2) ke berbagai wilayah dan Kota Ukraina, boleh jadi berlangsung lama. Invasi Rusia ke Ukraina menjadi pengerahan pasukan terbesar di Eropa sejak selesainya Perang Dunia II.

Korban nyawa, harta, dan infrastruktur berjatuhan di wilayah Ukraina. Militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan AS tak berbuat menghentikan agresi Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin tak peduli resolusi PBB, seruan pemimpin dunia, dan sanksi ekonomi.

Asal muasal konflik Ukraina dengan Rusia tak perlu diungkapkan di sini karena sudah banyak dibahas media dan diulas analis, baik daring maupun luring. Juga ada pembicaraan tentang dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi global.

Termasuk terhadap ekonomi Indonesia sebagai importir gandum Ukraina dan juga net importer minyak mentah. Banyak juga pembahasan tentang sikap resmi Indonesia terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri (24/2) dan Resolusi Majelis Umum PBB (2/3), Indonesia menegaskan, penghormatan pada tujuan dan prinsip PBB serta hukum internasional tentang integritas wilayah dan kedaulatan.

Serangan militer (invasi) di Ukraina tidak bisa diterima yang membahayakan keselamatan rakyat, mengancam perdamaian, serta stabilitas kawasan dan dunia.

Indonesia meminta invasi atau perang segera dihentikan, dan mengutamakan penyelesaian damai lewat diplomasi dan dialog di antara pihak terkait. Pemerintah Indonesia seolah gagap merespons invasi Rusia ke Ukraina.

Agaknya karena kegagapan itu, Indonesia seakan meninggalkan posisi bebas aktif. Indonesia cenderung berpihak pada Ukraina dengan mengecam negara agresor, tak lain Rusia yang berhubungan diplomatik lebih dari 70 tahun dengan RI.

Juga ada hubungan intens Indonesia-Rusia dalam berbagai bidang dari ekonomi, politik, sosial-budaya dan turisme, industri, sains-teknologi, pertahanan, pertanian dan bioteknologi, serta agama. Hubungan Indonesia dengan Ukraina tidak intens dan panjang.

Kegagapan terlihat pula dalam sikap NATO dan AS. Bertahun-tahun sampai operasi militer Rusia, NATO dan AS menyatakan tak bakal membiarkan Ukraina sendirian menghadapi Rusia. Namun, saat Rusia mengerahkan kekuatan militer dari timur, selatan, serta utara NATO dan AS berpangku tangan saja.

Sikap kagok pun terlihat dari Organisasi Kerja sama Islam (OKI). Tak ada pertemuan atau pernyataan OKI, yang biasanya dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ seperti penyerbuan Rusia ke Ukraina. Indonesia anggota penting OKI, tapi tampak tak ada rencana meminta OKI bersidang.

Sikap ini sama dengan negara penting lain anggota OKI, seperti Arab Saudi, Turki, Mesir, Iran, Pakistan, atau negara Teluk Persia atau ‘Teluk Arab’—tidak ada yang menyerukan ‘sidang darurat’ OKI.

OKI abstain. Boleh jadi karena Rusia bagian dari OKI sebagai ‘peninjau’ (observer) sejak 2005. Meski hanya peninjau, Rusia cukup aktif. Melalui OKI, Rusia yang sering diwakili pemimpin atau tokoh Muslimnya menjalin hubungan dengan negara Muslim atas nama sesama warga OKI.

Sebaliknya, Ukraina tidak termasuk ‘anggota’ atau ‘peninjau’ di antara 57 anggota dan lima peninjau OKI. Rusia memiliki hubungan lebih intens dengan negara OKI terkait kenyataan perubahan historis negara ini.

Sebelumnya, ketika masih berupa entitas Uni Soviet, hubungan dengan OKI atau banyak negara Muslim pernah tidak begitu mulus karena invasi dan pendudukan Soviet ke Afghanistan (24 Desember 1979 sampai 15 Februari 1989).

Mengorbankan banyak harta benda dan nyawa, Soviet tidak mampu membendung laskar Mujahidin sehingga Soviet menarik seluruh militernya dari Afghanistan. Uni Soviet bubar dalam proses tiga tahun (1988-1991), digantikan Federasi Rusia.

Enam entitas politik yang dulu negara bagian Soviet memerdekakan diri: Azerbaijan, Kazakhstan, Kirghyztan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Dinamika politik, ekonomi, dan sosial negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ini berbeda satu sama lain.

Namun, mereka tak mengalami kegaduhan dan konflik politik signifikan. Meski enam negara itu telah memisahkan diri, Rusia masih memiliki republik yang integral ke dalam Federasi Rusia.

Sedikitnya ada sembilan republik otonom berpenduduk mayoritas Muslim: Tatarstan, Bashkortostan, Dagestan, Adygeya, Chechnya, Inghushetia, Ossetia Utara, Kabardino-Balkaria, dan Karachayevo-Cherkessia.

Dengan eksistensi republik-republik Muslim ini ditambah kaum Muslim yang cukup signifikan di berbagai tempat lain, seperti Moskow atau St Petersburg, Islam dan kaum Muslim cukup kuat di Rusia.

Kaum Muslim diperkirakan 14 juta-20 juta jiwa (antara 10-15 persen) dari sekitar 146 juta total penduduk Rusia (2021)—menjadikan Rusia negara berpenduduk Muslim terbanyak di Eropa.

Sedangkan kaum Muslim di Ukraina hanya sekitar 400 ribu jiwa (sekitar 0,9-1,2 persen) total penduduk sekitar 41 juta jiwa. Muslim Ukraina adalah etnis Tatar Krimea, Turki, Chechen, Dages, Azerbaiji dan lebih sedikit etnis Ukraina sendiri.

Sumber: Resonansi Republika, Kamis, 10 Maret 2022. (sam/mf)