Peneliti: Keluarga Sediakan Kondisi bagi Tumbuhnya Sikap Radikal

Peneliti: Keluarga Sediakan Kondisi bagi Tumbuhnya Sikap Radikal

Ciputat, BERITA UIN Online— Keluarga dinilai berperan penting dalam pembentukan sikap dan gerakan terorisme di Indonesia. Ia menciptakan kondisi bagi radikalisasi tahap awal di kalangan anggotanya melalui transmisi nilai dan perilaku loyal mereka terhadap pemimpin, organisasi, dan ideologi radikal.

Demikian disampaikan Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Haula Noor Ph.D, dalam presentasinya pada diskusi bertajuk "Keluarga dan Peranannya dalam Pembentukan Terorisme di Indonesia". Kegiatan digelar secara daring dan luring dari Ruang Seminar PPIM UIN Jakarta, Kampus II UIN Jakarta, Jumat (30/9/2022).

Riset yang dilakukannya pada tiga model keluarga terkait terorisme, sebutnya, menemukan keluarga sebagai salah satu faktor penting dalam menciptakan kondisi bagi terbentuknya sikap dan paham radikal. "Keluarga tidak serta merta menjadikan seseorang menjadi teroris. Tapi mereka bisa menciptakan kondisi untuk early radicalisation, radikalisasi tahap awal," sebutnya.

Kondisi demikian, tuturnya, dilakukan melalui transmisi nilai-nilai dan perilaku radikal bagi anggota keluarga. Hasil transmisi ini selanjutnya terbentuk dalam rupa kesetiaan anggota keluarga terhadap pemimpin dan organisasi pendukung ideologi radikal, serta ideologi radikal itu sendiri.

"Jadi ada kondisi yang diciptakan untuk mendukung pembentukan loyalitas, kesetiaan tertentu dalam diri individu," imbuhnya.

Loyalitas pada pemimpin dan organisasi pengusung ideologi radikal itu pada akhirnya berpengaruh kuat bagi seseorang untuk menjadi jihadis atau tidak. "Jadi sangat tergantung kondisi yang diciptakan, sangat tergantung pada loyalitas yang diciptakan tersebut," tambahnya.

Haula menuturkan, loyalitas demikian terutama terbentuk pada model keluarga dengan tokoh utama keluarga, orang tua, yang berbagi peran dengan baik dalam proses transmisi nilai dan sikap tersebut. "Orang tua yang aware dengan apa yang harus dilakukan dengan ideologi-ideologi (radikal, red.) tersebut," tuturnya.

Model keluarga yang dimaksudkan Haula sendiri terbagi ke dalam tiga kategori keluarga terkait aktifitas radikal jihadis yang ia jadikan sumber data primer risetnya. Ketiga kategori keluarga ini ia tarik dari 31 keluarga terafiliasi gerakan radikal dengan total 76 responden yang ia teliti.

 

Kategori pertama keluarga terkait sikap radikal, keluarga jihadis aktif. Keluarga ini memiliki keterlibatan historis dalam gerakan militan sekaligus terdapat jihadis diantara anggota keluarganya. Loyalitas pada keluarga ini mengarah pada ideologi, pemimpin, dan organisasi ideologi radikal itu sendiri.

Kategori kedua, keluarga jihadis tidak aktif. Keluarga ini diidentifikasi memiliki keterkaitan historis dengan aktifitas militan namun tidak memiliki anggota keluarga yang tercatat sebagai jihadis. Tidak lagi kepada pemimpin dan organisasi, loyalitas pada kategori ini diarahkan langsung pada ideologi radikal sendiri.

Kategori ketiga, keluarga non-Jihadis. Keluarga ini teridentifikasi tidak memiliki keterkaitan historis dengan aktifitas militan, namun memiliki anggota keluarga yang menjadi jihadis. Keluarga ini terbuka untuk menerima pengaruh nilai-nilai dari luar, termasuk pengaruh nilai radikal.

Lebih jauh, Haula menyebutkan, peran keluarga dalam menyediakan landasan sikap radikal terutama dimainkan oleh orang tua. Ini terutama ditemukan pada keluarga kategori pertama dan kedua dimana seorang bapak menjadi owner ideologi yang diusung keluarga itu sendiri dan ibu berperan sebagai kordinator penting penerapan ideologi  tersebut.

"Seorang ayah menjadi owner of the ideology dan ibu sebagai center of daily upbringing atau field coordinator. Siapa yg paling berpengaruh? Ibu, karena ia menjadi kordinator lapangan dalam kehidupan sehari-hari anak-anak," paparnya.

 

 

Lebih jauh, Haula mengingatkan agar penyelesaian gerakan radikal tidak hanya melalui program deradikalisasi di dalam negeri. Menurutnya, hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan anak-anak, generasi yang terlahir dari pasangan jihadis yang tersebar di sejumlah negara pasca munculnya organisasi radikalis teror seperti ISIS. Sejumlah pasangan jihadis asal Indonesia termasuk diantaranya yang memiliki anak keturunan dengan kondisi demikian.

Banyak wanita pasangan jihadis yang kembali menikah dengan jihadis lain setelah suami jihadis pertamanya meninggal. Kondisi ini memungkinkan anak-anak masuk dalam pengasuhan dengan kepala keluarga jihadis yang selanjutnya berpotensi melanggengkan keberadaan keluarga dengan kecenderungan sikap radikal.

Bahkan pada anak-anak keluarga jihadis yang mendapatkan program deradikalisasi pasca kekalahan militer mereka, terpaksa dididik dengan para pengajar merupakan wanita-wanita yang memiliki kecenderungan mendukung organisasi ideologi radikal. Kondisi ini turut memungkinkan masih adanya keberlangsungan keluarga radikal.

"Ini jadi PR besar kita juga. Kita nguplek di dalam, padahal kita juga memiliki PR di luar yang pastinya itu perlu kerja keras untuk diselesaikan. Tapi saya kira, negara memiliki otoritas, kita tunggu saja," tutupnya. (zm)