Pendidikan Tinggi Islam dan Upaya Anti Korupsi
Korupsi adalah merupakan wabah yang sangat berbahaya bagi bagi umat manusia. Karena begitu dahsyatnya bahaya korupsi ini, tidak kurang dari organisasi dunia Persirakatan Bangsa-bangsa mengadakan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan konvensi pemberantasan korupsi sedunia. Dalam konferensi Merida (Mexico), Desember, 2003 konvensi PBB antikorupsi telah ditandatangani oleh sejumlah negara dan konvensi ini akan diberlakukan di seluruh dunia setelah 90 hari sejak penandatangan pada 11 Desember 2003 yang lalu. Sekarang tahun 2005. Dengan demikian konvensi tersebut telah berlaku.
Menurut survey yang diadakan badan-badan pengamat dunia tentang korupsi, bahwa Indonesia termasuk negara yang paling korup di dunia. Itulah sebabnya, masalah pemberantasan korupsi merupakan salah satu dari program reformasi yang dicetuskan oleh para mahasiswa pada tahun 1998. Dari perjuangan mahasiswa tersebut, yang dikenal dengan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), telah melahirkan berbagai upaya dalam bidang undang-undang seperti TAP VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Dari Rekomendasi tersebut telah dilahirkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Proses pembentukan komisi korupsi tersebut telah menelan dana tidak kurang dari Rp 6,4 milyar.
Berkaitan dengan upaya tersebut, maka kini telah banyak pejabat negara yang ditangkap, diadili dan dijebloskan ke Penjara, dan telah terdapat pula sejumlah pejabat yang kini sudah tercatat namanya sebagai tersangka. Upaya ini perlu mendapat perhatian dan dukungan semua pihak, karena manfaatnya akan diterima oleh semua lapisan masyarakat, dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan tindakan yang keji itu.
Namun demikian, dalam kenyataannya, korupsi semakin merajalela, bukan hanya berada di pusat pemerintahan, tetapi sekarang telah mewabah sampai ke daerah-daerah sejalan dengan pelaksanaan undang-undang otonomi daerah. Apabila telah banyak upaya baik pada tingkat legislative maupun pada tingkat yudikatif dan eksekutif untuk memberantas korupsi, masih adakah tempat bagi dunia pendidikan dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut? Hal ini menarik untuk dikaji, bahkan sekaligus menantang dunia pendidikan, sebab di dalam salah satu laporan resmi menunjukkan betapa Departemen Pendidikan Nasional menempati peringkat ke-2 terkorup di tingkat pemerintahan, mengikuti Departemen Agama pada peringkat pertama, dan Departemen Kesehatan di peringkat ke-3. Melihat kenyataan ini, kita melihat perlu adanya tanggung jawab moral untuk menelaah sampai di manakah Departemen Pendidikan Nasional yang menangani pembinaan generasi muda, generasi yang akan datang, di dalam pemberantasan korupsi? Menurut hemat penulis masih ada celah bagi pemberantasan korupsi melalui sektor pendidikan, apabila kita bersungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi dari berbagai aspek kehidupan, bukan hanya pada tingkat lembaga atau organisasi-organisasi yang besar, tetapi juga pada tingkat interaktif sesama manusia termasuk dalam proses belajar dari generasi muda. Hal ini dimungkinkan, karena korupsi termasuk pelanggaran moral dan oleh sebab itu merupakan tanggung jawab moral dari pendidikan nasional untuk memberantasnya. Selain itu proses pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan. Jika korupsi telah merupakan suatu gejala kebudayaan dalam masyarakat Indonesia, maka adalah tanggung jawab moral dari pendidikan nasional untuk membenahi pendididikan nasionalnya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mengatasi Korupsi
Jika kita sepakat mengatakan bahwa korupsi merupakan penyakit, yakni penyakit pelanggaran moral, maka setiap penyakit tentu ada penyebab. Seorang dokter sebelum mengatasi suatu penyakit biasanya dicari penyebabnya terlebih dahulu. Dengan demikian, maka untuk mengatasi korupsi terlebih dahulu harus dicari akar penyebabnya. Dalam kaitan ini terdapat sejumlah teori yang dikemukakan para ahli tentang sebab-sebab terjadinya korupsi. Sejumlah teori tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, menurut Robert Merton yang terkenal dengan teorinya tentang “means-ends schemeâ€, bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Semua system sosial mempunyai tujuannya. Manusia berupaya untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Inilah yang selanjutnya disebut norma-norma lembaga yang dikenal di dalam masyarakat. Sebagaimana biasanya banyak orang mengikutinya. Mereka adalah golongan kompromis. Namun demikian sistem sosial juga menimbulkan tekanan yang menyebabkan banyak orang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut karena pembatasan-pembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, kekurangan keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya. Golongan ini kemudian berupaya mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat. Di dalam perjuangan ini banyak terdapat jarak antara kebutuhan dan apa yang dapat disediakan oleh masyarakat. Kenyataan di dalam masyarakat ialah banyak yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama sehingga mereka melawan peraturan yang ada baik secara inovatif maupun secara kriminal. Di dalam teori Merton ditunjukkan bahwa kebudayaan yang terlalu menekankan kepada sukses ekonomi namun membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya akan menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi. Suatu kehidupan masyarakat yang mementingkan anggota keluarga sendiri seperti di dalam nepotisme akan menyebabkan orang lain iri dan menyuburkan korupsi. Demikian pula orang akan mencari jalan di dalam mencapai struktur kekuasaan agar ia mendapatkan kesempatan untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa banyak negara berkembang jatuh ke dalam wabah korupsi. Apalagi dalam suatu masyarakat transisi di mana control masyarakat menjadi lemah dan kekuasaan yang berlebihan di dalam negara yang tidak demokratis mengalami kekurangan kontrol dari masyarakat. Negara-negara ini adalah negara-negara yang lemat atau menurut istilah Gunnar Myrdal, ahli ekonomi Norwegia, menunjukkan hubungan antara motivasi untuk maju (achievement motivation) dan korupsi. Survey tersebut menunjukkan bahwa semakin kurang makmur suatu negara, tetapi mempunyai motivasi untuk maju yang sangat tinggi akan menyebabkan korupsi yang besar. Sebaliknya, suatu negara yang motivasinya rendah dan akses untuk memperoleh kemajuan itu tinggi mempunyai korupsi yang rendah seperti yang terlihat di negara-negara Skandinavia.
Kedua, menurut Edward Banfeld yang mendasarkan teorinya pada keterikatan erat dekat kepada keluarga, mengatakan bahwa korupsi merupakan suatu ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme ialah suatu perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga atau kepada sahabat atau kepada anggota kelompoknya. Inilah yang dinamakan nepotisme. Nepotisme merupakan suatu sikap loyal terhadap kewajiban partikularistik yang merupakan ciri dari suatu masyarakat prakapitalis atau masyarakat feodal. Partikularisme ini bertentangan dengan universalisme, yaitu komitmen untuk bersikap sama terhadap yang lain. Inilah ciri-ciri suatu masyarakat modern yang berorientasi pasar dan menghormati nilai-niali universal tersebut. Pendapat Banfeld ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Max Weber tentang munculnya nilai-nilai etik Protestan dalam lahirnya kapitalisme. Menurut Weber, nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat (Barat) sebelum protestanisme adalah nilai-nilai gereja (Katolik) yang mementingkan nilai-nilai masyarakat, keluarga, dan golongan masyarakat yang dominan dalam membantu yang miskin. Dengan lahirnya Kalvinisme (suatu aliran Protestanisme) nilai-nilai komunitarian tersebut menghilang diganti dengan sifat yang mementingkan diri sendiri, sehingga kondusif untuk akumulasi kapital. Untuk itu lahirlah kapitalisme dengan norma-normanya.
Teori Banfeld tersebut menekankan kepada yang disebutnya sebagai konsep amoral familism, yaitu budaya yang kurang mengandung nilai-nilai komunitarian tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Familisme yang tidak bermoral tersebut memberikan kesempatan untuk hidupnya korupsi dan memperkuat tingkah laku yang menyeleweng dari nilai-nilai universalisme serta sistem merit. Inilah yang ditemukan Banfeld di dalam system mafia di Italia Selatan. Di dalam beberapa studi oleh Bank Dunia menunjukkan, di banyak negara Asia terjadi korupsi karena keterikatan di dalam keluarga. Sebaliknya negara-negara Skandinavia kurang mementingkan ikatan keluarga dan ditunjukkan di dalam skala korupsi yang rendah.
Selain itu, Koentjaraningrat melihat, bahwa di samping adanya nilai-nilai budaya tradisional yang masih didup di dalam masyarakat Indonesia, juga terdapat mentalitas yang timbul sesudah revolusi. Dalam hubungan ini ada lima sikap mental yang berkembang: 1) sikap mental meremehkan mutu; 2) sikap mental yang suka menerabas (cutting-corner attitude), 3) sikap tak percaya pada diri sendiri; 4) sikap tak berdisiplin murni; dan 5) sikap mental yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Di antara lima sikap yang mendorong timbulnya korupsi sebagaimana tersebut di atas, yang paling dominan adalah sikap suka menerabas dan sikap tak berdisiplin murni. Sikap suka menerabas (cutting-corner attitude) ialah suatu sikap yang ingin mencapai sesuatu dengan tidak memperhatikan cara-cara yang berlaku. Sikap ini mengabaikan peraturan-peraturan yang ada karena semuanya dapat diserobot. Orang Indonesia sangat sulit untuk antri di dalam berbagai kehidupan bersama. Di dalam berbagai tata cara kehidupan orang suka menerabas dengan melanggar hukum, tampak di dalam lalu lintas yang tak beraturan, karena semua orang ingin mendahului yang lain dengan melanggar kesopan berlalu lintas. Orang tidak dapat antri di depan loket dan saling berebutan seperti orang berebutan menaiki kereta api atau bisa meskipun melalui jendela sekalipun. Sikap suka menerabas ini ternyata berkaitan erat dengan kepatuhan terhadap keberaturan atau disiplin. Manusia Indonesia adalah manusia yang tidak berdisiplin, ada yang mengatakan sikap tidak berdisiplin ini merupakan suatu system norma yang ditinggalkan oleh norma-norma kolonial. Antara kolonialisme Inggris dan kolonialisme Belanda terdapat perbedaan di dalam penghormatan kepada prosedur. Pemerintahan penjajah Inggris sangat mementingkan prosedur dan hal ini terlihat misalnya di negara bekas jajahan Inggris seperti Singapura dan Malaysia yang sangat mementingkan ketertiban umum. Sebaliknya di bekas-bekas jajahan Belanda terlihat kesemrawutan karena tidak mementingkan prosedur yang ada. Hal ini menyulitkan tradisi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang demokratis, sebab salah satu tuntutan masyarakat yang demokratis adalah disiplin dari para anggotanya. Disiplin berarti mengikuti keberaturan hidup yang diatur oleh peraturan dan undang-undang yang telah disepakati bersama. Dalam masyarakat Indonesia, banyak undang-undang yang tidak sampai dilaksanakan dan sekedar hanya merupakan wacana, baik wacana para pemimpin maupun rakyat karena mereka melihat para pemimpinnya sendiri yang melanggar apa yang telah dibuatnya. Longgarnya kontrol hukum menyebabkan lahan yang sangat subur untuk korupsi. Kita lihat praktik-praktik hukum dewasa ini di mana para pemimpinnya meremehkan pelaksanaan hukum dan kontrol masyarakat, sehingga pengadilan menjadi bahan tertawaan orang banyak. Demokrasi sebenarnya meliputi dua hal, yaitu demokrasi prosedural dan demokrasi substantive. Dalam pelaksanaan demokrasi prosedural kita harus menghormati prosedur-prosedur yang ada, agar hak asasi manusia dapat terlaksana. Demokrasi substansial menunjukan kepada kematangan dari anggota masyarakat sebagai warga yang cerdas. Warga yang cerdas adalah warga yang telah dikembangkan kecerdasan kewarganegaraannya (civic intelligent). Dalam hubungan ini menarik sekali apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, bahwa civic intelligent mencakup tiga hal, yaitu pengetahuan kewargaan (civic knowledge), keterampilan kewargaan (civic skills), dan sikap kewargaan yang terpuji (sivic disposition), dan akhirnya partisipasi warga secara aktif di dalam membangun masyarakatnya (civic participation).[1] Dengan adanya civic intelligent ini, maka kontrol masyarakat terhadap penyelenggara negara, pemimpin-pemimpin masyarakat di dalam lembaga-lembaga pemerintahan dapat dikontrol secara terbuka, sehingga memungkinkan meminimkan tumbuhnya sikap korupsi.
Pencegahan Korupsi
Jika uraian tentang berbagai teori timbulnya korupsi sebagaimana tersebut di atas dicermati kita dapat menemui bahwa penyebab terjadinya korupsi adalah (1) Tekanan sosial yang menyebabkan manusia melakukan pelanggaran terhadap norma-norma. Sistem sosial yang menyebabkan timbulnya tekanan yang mengakibatkan banyak orang yang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut, karena pembatasan-pembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, kekurangan keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya; (2) Karena adanya sikap partikularisme (perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang), nepotisne (sikap loyal terhadap kewajiban partikularistik) yang merupakan ciri dari suatu masyarakat prakapitalis atau masyarakat feodal. Partikularisme ini bertentangan dengan universalisme (komitmen untuk bersikap sama terhadap yang lain); (3) Sikap mental yang meremehkan mutu; (4) Sikap mental yang suka menerabas; (5) Sikap tak percaya pada diri sendiri; (6) Sikap tak berdisiplin murni, dan (7) Sikap mental yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Dari ketujuh macam penyebab terjadinya korupsi tersebut di atas, sesungguhnya dapat dikategorikan menjadi dua sebab. Pertama sebab yang bersifat sistem, yakni sistem sosial yang menekan dan diskriminatif, dan yang kedua adalah sebab yang bersifat sikap mental. Jika kedua masalah ini dihubungkan dengan peran dan missi Perguruan Tinggi Islam, maka terdapat sejumlah catatan tentang cara penanggulan korupsi tersebut sebagai berikut.
Pertama, bahwa Perguruan Tinggi Islam mengemban missi perbaikan moral. Kata Islam yang menjadi sifat atau identitas Perguruan Tinggi tersebut, mengandung arti bahwa Perguruan Tinggi tersebut harus melaksanakan missi pelaksanaan ajaran Islam yang pada intinya membawa rahmat bagi seluruh alam, menciptakaan keamanan, kedamaian, kesejahteraan lahir dan batin, serta mencegah orang dari berbuat yang keji, jahat, munkar, merugikan orang lain. Perbuatan korupsi termasuk ke dalam perbuatan yang merugikan dan menyengsarakan orang lain, dan termasuk perbuatan jahat. Dengan kata lain kata Islam yang disandang oleh Perguruan Tinggi tersebut menuntut Perguruan Tinggi tersebut terlibat aktif dalam pemberantasan kejahatan yang merugikan orang lain.
Perguruan Tinggi Islam saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa. Di dalamnya ada akademik sekolah tinggi, institut dan universitas. Jika pada Perguruan Tinggi Islam yang sudah menjadi Universitas, yang diajarkan di dalamnya bukan hanya ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga ilmu umum. Sedangkan pada Perguruan Tinggi Islam dalam bentuk akademi, sekolah tinggi atau institut hanya diajarkan ilmu-ilmu agama saja. Dengan demikian, pada seluruh bentuk dan tingkatan Perguruan Tinggi Islam itu diajarkan ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu agama Islam yang berbasiskan pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah membawa missi perbaikan moral, karena inti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah adalah perbaikan moral. Fazlur Rahman misalnya mengatakan, bahwa inti ajaran al-Qur’an adalah moral yang bertumpu pada hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Inti ajaran al-Qur’an tentang moral tersebut, selain untuk dipahami dan dihayati, namun yang terpenting lagi diamalkan. Ajaran al-Qur’an tentang moral tersebut bukan hanya untuk dihafal, melainkan dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Untuk itu gerakan akhlak mulia yang digagas dan dideklarasikan oleh Irsyad Sudiro, Anggota Dewan Perkawilan Rakyat Indonesia baru-baru ini perlu, mendapatkan dukungan dari semua pihak. Upaya ini terkait dengan upaya mengatasi terjadinya korupsi yang disebabkan karena rendahnya mutu sikap mental atau akhlak yang dianut oleh masyarakat.
Kedua, Perguruan Tinggi Islam dapat mengambil peran pemberantasan korupsi tersebut melalui upaya mendorong terciptanya system sosial yang egaliter dan demokratis. Faham egaliter ini didasarkan pada ajaran Islam yang mengakui adanya pluralisme, heterogenitas atau kemajemukan. Ajaran Islam mengakui bahwa umat manusia diciptakan oleh Tuhan dengan latar belakang agama, budaya, bahasa, suku bangsa, warna kulit, adat istiadat, pangkat, jabatan, tingkat ekonomi, kecerdasan, bakat, jenis kelamin, kecantikan atau ketampanan, tempat tinggal dan lain sebagainya yang amat beragam. Dari keadaan tersebut selanjutnya dapat dibagi ke dalam dua bagian, yang pertama mereka yang berada dalam keberuntungan dan yang kedua yang berada dalam kekurang-beruntungan. Mereka yang kurang beruntung itu bisa jadi karena system sosial yang ada kurang mendukungnya yang menyebabkan ia mengambil sikap menerabas. Keadaan ini harus diperbaiki dengan mengembangkan sikap hidup yang egaliter yang memandang bahwa manusia dalam pandangan agama berada dalam kesederajatan antara satu dan lainnya, keculai siapa di antara mereka yang paling bertakwa kepada Tuhan. Sikap tersebut diikuti pula dengan mengembangkan sikap yang demokratis dalam arti yang sesungguhnya. Berbagai proses pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan, hukum, ekonomi, dan lain sebagainya harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Masyarakat yang diperlakukan tidak demokratis akan memberontak dan mencari jalan keluar dalam bentuk pelanggaran.
Ketiga, Pendidikan Tinggi, sebagaimana pendidikan lainnya memiliki sasaran yang sama, yaitu mempengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, perasaan dan tingkah lakunya dengan cara memberikan wawasan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, penugasan, dan sebagainya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam melakukan merubah wawasan, pengetahuan, dan prilaku manusia tersebut dunia Pendidikan Tinggi telah memiliki pengalaman dan berbagai macam metode dan pendekatan yang bermacam-macam yang dihasilkan para ahli metodologi. Berbagai pendekatan ini hendaknya dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka merubah perilaku yang korup menjadi prilaku yang amanah. Di dalam ajaran agama terdapat berbagai metode yang dianggap paling effektif untuk memberantas korupsi. Metode tersebut adalah pembiasaan, keteladanan dan hukuman. Dengan pembiasaan ini, seseorang diajak serta secara nyata membiasakan perbuatan yang baik, dan menjauhi perbuatan yang buruk. Pembiasaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan konsisten, sehingga perbuatan tersebut mendarah-daging. Sebagai contoh bangsa di negara-negara lain yang dapat mewujudkan kebersihan, adalah karena mereka dibiasakan hidup bersih dengan membuang sampah pada tempatnya, sehingga perbuatan tersebut menjadi budaya dan menimbulkan rasa malu jika tidak dapat melakukannya. Pembiasaan tersebut diikuti pula dengan memberikan contoh teladan dari pimpinan, orang tua dan lainnya, sehingga kebiasaan tersebut semakin kokoh tertanam. Selanjutnya hukuman dapat pula digunakan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran, sehingga keadaan tersebut akan menimbulkan rasa takut bagi orang lain untuk melakukan pelanggaran tersebut. Pembiasaan, keteladanan dan hukuman tersebut merupakan metode dan pendekatan yang amat ditekankan di dalam al-Qur’an, terutama dalam menanamkan kebiasaan perbuatan yang baik, dan menjauhi perbuatan yang buruk. Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di dunia yang terhindar dari korupsi adalah karena bangsa tersebut membiasakan hidup jujur, memberikan keteladanan tentang kejujuran, dan sekaligus memberikan hukuman yang tegas kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran. Nabi Muhammad SAW misalnya dengan tegas mengatakan: “Andaikata Fatimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.†Indonesia yang dikategorikan sebagai negara terkorup di dunia antara lain belum melakukan gerakan hidup jujur, memberikan keteladanan tentang kejujuran, dan sekaligus mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran korupsi.
Diketahui bahwa saat ini, Pemerintah Indonesia sudah menunjukkan kemauna, tekad dan keberaniannya yang lumayan untuk memberantas korupsi. Berbagai perangkat, system, pelaksana dan berbagai perangkat lainnya sudah diciptakan untuk memberantas korupsi tersebut. Pihak Polisi, kejaksaan dan para penegak hukum lainnya sudah menunjukkan kerja kerasnya. Upaya ini sudah mulai membuahkan hasil walaupun terasa masih terdapat kekurangan di sana-sini, termasuk di dalam penciptaan kesejahteraan masyarakat agar mereka tidak tergoda untuk mencuri atau korupsi. Berbagai pejabat yang melakukan korupsi sudah banyak yang diadili dan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu saat ini, setiap orang sudah terlihat hati-hati dan berfikir seribu kali untuk melakukan tindakan korupsi atau melakukan pelanggaran lainnya.
Keempat, Perguruan Tinggi adalah tempat mencetak kader-kader yang akan memimpin masa depan bangsa. Perguruan Tinggi adalah lembaga yang paling memiliki idealisme yang tinggi serta komitmen terhadap penegakkan moral. Idealisme Perguruan Tinggi ini tercipta sebagai hasil kajian mereka terhadap ilmu pengetahuan serta tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Atas dasar idealisme dan komitmen moral inilah, tidak mengherankan jika Perguruan Tinggi senantiasa tampil sebagai moral force. Berbagai unjuk rasa, demo dan sebagainya yang menuntut penegakkan moral dan idealisme lainnya biasanya muncul dari kalangan Perguruan Tinggi, terutama dari kalangan mahasiswanya. Banyak faktor yang menyebabkan mahasiswa tampil sebagai moral force tersebut. Di antaranya, karena mahasiswa sosok manusia yang tengah mencari identitas diri, penuh dengan cita-cita dan idealisme, belum berada dalam struktur yang membelunggunya, mereka masih bebas (independent) sehingga dapat menyuarakan aspirasi dan tindakannya, tanpa harus merasa takut. Keadaan ini akan terus berlangsung selama ia menjadi mahasiswa. Namun setelah mereka tamat dan bekerja pada birokrasi, biasanya idealisme tersebut mengalami perubahan atau terjadi kelunturan. Hal ini terjadi karena mereka sudah memiliki kecenderungan, kebutuhan terhadap materi, kedudukan dan sebagainya yang menyebabkan idealisme dan komitmen mereka menurun. Untuk itu beberapa langkah dan gerakan yang mengawasi masyarakat agar tetap memiliki komitmen moral sebagaimana tersebut di atas tetap dipertahankan.*
Prof Dr Abuddin Nata MA, Guru Besar Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta