Pendidikan Ramah Santri dan Budaya Pesantren
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wajah pendidikan pesantren kembali tercoreng oleh berbagai kasus kejahatan seksual dan kekerasan yang memilukan. Belum lama ini terjadi kasus pembakaran seorang santri oleh seniornya di Pasuruan yang menyebabkan kematian santri. Kasus yang sama juga terjadi pada tahun lalu di sebuah pondok modern terkenal di Gontor Jawa Timur. Masih belum hilang dari ingatan kolektif kita sebuah kasus yang menimbulkan citra negatif pesantren, yaitu pemerkosaan 13 santri oleh pengasuh (kiai) pesantren di Bandung pada Desember 2021. Kasus pelecehan dan kejahatan seksual juga pernah viral di sebuah pesantren di Jombang dan pelakunya anak seorang kiai. Kasus-kasus tersebut tentu tidak diharapkan menjadi fenomena gunung es (ice berg), di permukaan kecil, tetapi lapisan di bawahnya lebih besar dan massif.
Meskipun tidak terjadi di pesantren, kasus permohonan dispensasi nikah akibat hamil di luar nikah yang diajukan sejumlah peserta didik di Ponorogo juga sempat viral di media sosial dan sangat memperihatinkan. Data Pengadilan Agama (PA) Ponorogo yang dilansir Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Ponorogo menunjukkan bahwa pada tahun 2019 dari 97 dispensasi nikah yang diterima PA, 42 (43,2%) disebabkan kehamilan dan 55 (56,7%) karena sebab lain. Angka-angka tersebut mengalami kenaikan yang sangat tajam di tahun 2020. Pada 2020, dari 241 dispensasi nikah yang diterima PA, 91 (37,7%) disebabkan kehamilan dan 150 (62,2%) karena sebab lain. Seiring puncak pandemi Covid-19 pada 2021, angka dispensasi nikah kembali naik, yaitu 266. Dari angka tersebut, 131 (49,2%) akibat hamil dan 135 (50,8%) karena alasan lain.
Fakta dan data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pesantren belum ramah santri. Kasus kekerasan dan berbagai kejahatan seksual (pelecehan, perkosaan, rudapaksa, perzinahan, dan sebagainya) masih terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan seperti pesantren, meskipun hal itu hanyalah kasus yang tidak merepresentasikan mayoritas pesantren. Namun demikian, paradoks dan problem klasik ini harus dapat diatasi, minimal dieliminasi, karena esensi pendidikan itu humanisasi (memanusiakan manusia) agar menjadi insân kâmil, manusia yang berakhlak mulia, sesuai dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW: “Aku diutus hanyalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia” (HR Malik).
Akar Masalah
Sebagian pesantren menganut sistem tradisional dan sebagian yang lain dikelola dan dikembangkan secara modern. Pesantren tradisional pada umumnya mengembangkan pola kepemimpinan kharismatik, mengandalkan figur seorang kiai, dan segala keputusan diambil dan ditentukan oleh kiai. Sivitas akademika santri harus bersifat sami’na wa atha’na kepada kiai. Kepemimpinan pendidikan pesantren tradisional berbasis genealogis (mirip sistem monarkhi, tidak melalui proses demokrasi).
Sedangkan pesantren (pondok) modern dikembangkan berbasis kepemimpinan kolektif kolegial, dengan tata kelola dan manajemen yang akuntabel, transparan, kredibel, dan efektif. Selain itu, pesantren modern didesain berbasis sistem dan penjaminan mutu, tidak mengandalkan pada figur seorang kiai. Dengan kepemimpinan demokratis, kebijakan dan keputusan penting kepesantrenan diambil secara kolektif melalui rapat (musyawarah mufakat) dengan pola komunikasi egalitarian dan persuasif.
Masing-masing sistem pesantren tentu memiliki plus-minus, kekuatan dan kelemahan, tergantung dari perspektif mana pesantren dipandang dan dinilai. Dari hasil observasi dan pencermatan berbagai kasus tersebut, tampaknya kultur “feodalisme” dalam kepemimpinan tradisional pesantren turut memberi dampak terjadinya kasus kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan pesantren karena relasi kuasa, patron-klien, menjadikan santri pada posisi subordinatif. Lemahnya pengawasan (kontrol) internal maupun eksternal pesantren dan kurang efektifnya sistem pengasuhan di pesantren juga diduga menjadi penyebab maraknya kekerasan dan kejahatan seksual. Selain itu, posisi tawar santri juga berada dalam ekosistem yang tidak berdaya dan “tidak berani” melawan aksi kekerasan dan kejahatan seksual karena mungkin terindoktrinasi ajaran “tidak berkah” dan “bisa kuwalat”, apabila menentang kemauan dan permintaan kiai, pimpinan, atau ustadz di pesantren.
Dalam perspektif teori pendidikan karakter, akar masalah merebaknya kekerasan dan kejahatan seksual diakibatkan oleh proses mental yang gagal atau proses kognisi yang tidak membuahkan afeksi dan psikomotorik yang terpuji. Kegagalan ini boleh jadi disebabkan karena proses pembelajaran yang tidak tuntas, berorientasi kognitif semat, tanpa dibarengi penghayatan, pemaknaan, pembiasaan, dan peneladanan yang menghasilkan karakter positif (akhlak mulia). Ilmu yang dipelajari hanya sebatas teori, tidak dilandasi iman, penghayatan, dan pengamalan, sehingga tidak membentuk karakter dan budaya kesalehan.
Akar masalah lainnya adalah belum adanya atau belum ditegakkannya regulasi (peraturan, pedoman, panduan) budaya pesantren ramah santri. Sekiranya sudah ada regulasinya, boleh jadi, implementasi regulasi itu masih belum optimal. Mekanisme penegakan regulasi belum berfungsi secara efektif dan belum dikawal dengan disiplin positif oleh pimpinan pesantren. Regulasi belum menumbuhkan kesadaran dan kedisiplinan terhadap norma hukum dan sistem interaksi sosial harmoni dan damai.
Oleh karena itu, formulasi, sosialisasi, dan implementasi regulasi budaya pesantren yang ramah santri menjadi sangat penting dan mendesak, karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama (akidah, ibadah, muamalah, akhlak mulia) dan tafaqquh fi ad-dîn pasti berupaya secara optimal menjaga marwah dan harkat martabatnya. Tidak mungkin pesantren membiarkan jati diri dan nama baiknya ternoda oleh ulah tidak bermoral oknum kiai atau ustadz yang berpikiran mesum dan bertindak cabul. Budaya kekerasan dalam dunia pendidikan terkadang juga dipicu oleh pola asuh yang salah dan tidak berbasis regulasi yang efektif, termasuk pendidikan seks menurut Islam.
Akar masalah merebaknya budaya kekerasan dan kejahatan seksual di dunia pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dari ekosistem pesantren. Ekosistem pesantren merupakan suatu kesatuan fungsional antara sivitas akademika pesantren dengan lingkungannya yang di dalamnya terdapat hubungan dan interaksi yang sangat erat dan saling memengaruhi. Ekosistem pesantren sangat dipengaruhi kultur dan budaya yang terbangun di dalamnya. Budaya kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, bisa jadi disebabkan oleh pola asuh, pola komunikasi, dan pola interkasi yang timpang dan tidak egaliter.
Ekosistem pesantren tertentu boleh jadi memberlakukan hukuman fisik, seperti pemukulan, sehingga terbentuk budaya kekerasan antara santri senior dan yunior. Hal ini dapat berimplikasi munculnya “mata rantai” kekerasan akut yang bersifat turun-temurun. Oleh sebab itu, ekosistem pesantren perlu dikembangkan by design dan by system melalui pemberlakuan regulasi dan budaya pesantren yang ramah santri.
Ramah Santri
Esensi pesantren ramah santri adalah pesantren yang mengembangkan budaya damai, harmoni, nirkekerasan, dengan memenuhi hak-hak tumbuh kembang para santri dan dengan menciptakan ekosistem pesantren yang terbebas dari perlakuan tidak humanis dalam pola asuh, pola komunikasi, dan pola interaksi sosial. Pesantren Muhammadiyah (PesantrenMu) dikembangkan berbasis nilai-nilai ramah santri, seperti: membiasakan senyum, sapa, salam, dan sopan santun. Etika pembelajaran dan relasi santri-kiai dibangun berdasarkan prinsip “adab di atas ilmu”. Artinya, niat ikhlas belajar, menghormati kiai dan ustadz, taat beragama, menampilkan akhlak mulia, menjaga nama baik pesantren, dan sebagainya harus diutamakan daripada belajar itu sendiri. Belajar tidak terbatas di dalam ruang kelas. Semua ekosistem pesantren sejatinya merupakan sumber belajar ilmu dan makna hidup.
Dalam Buku Budaya Pesantren Muhammadiyah, ada sejumlah nilai ramah santri yang sangat strategis dibudayakan dalam ekosistem pesantren. Pertama, menjauhi dan menghindari kekerasan verbal dan non-verbal. Sivitas akademika pesantren dibiasakan bertutur kata yang baik, sopan santun, dan tidak menebar ujaran kebencian dan tindak kekerasan. Kedua, mengeliminasi pembulian atau perundungan terhadap santri, karena dapat menyebabkan trauma dan rasa minder. Ketiga, menyediakan fasilitas berwawasan ergonomik (ventilasi lancar, bersih, dan sehat, pencahayaan cukup, lahan terbuka hijau yang memadai, kebun produktif, dan sebagainya di lingkungan pesantren (green pesantren).
Keempat, memfasilitasi kebutuhan difabel (siapapun berkebutuhan khusus) yang berada di lingkungan pesantren, seperti fasilitas akses kursi roda. Pemenuhan fasilitas difabel merupakan manifestasi pesantren ramah santri yang membuat mereka tidak mendapat perlakuan diskriminatif, terutama dalam penyediaan fasilitas. Kelima, menyediakan kran air minum (steril dan sehat) di lingkungan pesantren. Hal ini dimaksudkan agar para santri dibiasakan menikmati air bersih dan sehat. Keenam, meneguhkan relasi harmoni dan komunikasi humanis (egaliter) di antara sivitas akademika pesantren.
Budaya ramah santri itu tidak mungkin dimanifeskan secara instan. Nilai-nilai ramah santri tersebut perlu ditanamkan, dikembangkan, dibiasakan, diteladankan, dan diamalkan di lingkungan pesantrenMu tidak secara instan, tetapi melalui proses terus-menerus, terprogram, berkelanjutan, terintegrasi dengan kurikulum, aktivitas rutin santri, di dalam maupun di luar pesantren. Aktualisasi nilai-nilai ramah santri mengharuskan kolaborasi semua pihak: kiai, pimpinan, dewan guru, para musyrif, para santri, para tenaga kependidikan, dan segenap pemangku kepentingan pesantren.
Oleh karena itu, nilai-nilai ramah santri harus menjadi komitmen bersama untuk dibudayakan dalam ekosistem pesantren. Dengan demikian, aktualisasi nilai-nilai ramah santri merupakan tanggung jawab bersama, terutama pimpinan pesantren sebagai teladan yang baik (uswah hasanah) dalam mewujudkan ekosistem pesantren yang sehat dan bermartabat. Pesantren ramah santri diproyeksikan sebagai pesantren ideal di masa depan. Dengan implementasi nilai-nilai ramah santri, ekosistem pesantren dapat menciptakan budaya pesantren modern dan berkemajuan.
Aktualisasi Budaya Pesantren
Sebagai sistem nilai, budaya pesantren tidak akan berfungsi efektif, apabila tidak ditegakkan dan digerakkan menjadi living values, dan difungsikan sebagai referensi nilai dalam membentuk dan menjadi pola hidup (perilaku) di lingkungan pesantren. Budaya pesantren harus berisi nilai-nilai, tertulis maupun tidak tertulis, yang diniati dan diinisiasi untuk diamalkan dan dibiasakan dalam ekosistem pesantren.
Budaya pesantren dapat hidup, berkembang, dan menjadi referensi, standar moral dalam berperilaku dalam ekosistem pesantren, apabila dipahamkan dan dipahami sivitas akademika pesantren dengan baik dan benar. Budaya pesantren yang dihidupkan dan dikembangkan dalam ekosistem pesantren harus bersumber dari ajaran Islam, berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah as- Shahihah, dan kearifan lokal yang dinilai relevan dan mendukung terwujudnya pesantren berkemajuan, seperti: kerja bakti, gerakan Jum’at bersih, dan sebagainya.
Untuk antisipasi dan prevensi, Lembaga Pengembangan Pesantren telah merumuskan 20 nilai budaya berikut indikator operasionalisasinya. Dua pula nilai budaya dimaksud adalah keikhlasan, tafaqquh fi ad-dîn wa al-‘ulûm (mendalami agama dan sains), tajdid (pembaruan, inovasi), integritas, ukhuwwah (persaudaraan), disiplin, mandiri, moderat, sederhana, kerjasama, istiqamah, pola hidup bersih dan sehat, ramah santri, sopan santun, gemar beramal shalih, pelayanan prima, percaya diri, peduli lingkungan, dan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni), dan malu.
Pengembangan budaya pesantren tersebut diharapkan berfungsi optimal menjadi: (1) panduan etis (berakhlak mulia), (2) norma pergaulan dan interaksi sosial atau bermuamalah hasanah, (3) penggerak dan pengarah perubahan menuju kebaikan dan kemajuan bersama, (4) acuan dalam beradaptasi dan hidup bersama (learning to life together) dalam ekosistem pesantren; (5) kontrol sosial, menjadi tolak ukur dalam mengawasi dan mencegah munculnya berbagai pelanggaran yang tidak diharapkan.
Pengembangan dan aktualisasi 20 nilai budaya pesantren tersebut pasti menghendaki proses, program, dan progres yang terukur dan terstruktur dengan efektif. Oleh karena itu, diperlukan strategi aktualisasi 20 nilai tersebut secara terencana dan berkesinambungan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Pertama, membangun saling pengertian dan pemahaman (mutual understanding) yang komprehensif tentang aktualisasi 20 nilai budaya pesantrenMu kepada semua sivitas akademika pesantrenMu, terutama melalui pengenalan nilai-nilai budaya pesantrenMu pada masa orientasi di awal tahun pelajaran. Komitmen menjadi santri yang ramah, dan tidak mudah marah, harus disemai sejak dini dalam ekosistem pesantrenMu.
Kedua, memberi keteladanan yang baik (modelling (uswah hasanah) dari pimpinan, asatidz, musyrif, dan stakeholder (pemangku kepentingan) pesantrenMu dalam bersikap, berpakaian, berkomunikasi, berperilaku, bergaul, berinteraksi sosial, beribadah, berakhlak mulia, bertransaksi di kantin atau mini market, berolah raga, dan sebagainya. Pimpinan, ustadz, musyrif, pegawai, dan tamu, misalnya, tidak dibenarkan merokok di lingkungan pesantren. Pesantren yang ramah santri harus zero waste dan zero kekerasan.
Ketiga, pemberian fasilitas, sarana dan prasarana (facilitating) yang memadai dan memenuhi kebutuhan santri dalam rangka aktualisasi 20 nilai budaya pesantrenMu. Misalnya, demi mewujudkan Smart and Green Islamic Boarding, pesantrenMu perlu menyediakan bak/tong sampah sesuai jenis sampah (organik, non-organik, atau plastik, kertas, daun-daun, dan sebagainya). Gerakan Jumsih (Jumat bersih) di lingkungan pesantren juga perlu difasilitasi. Untuk mewujudkan santri yang sehat jasmani dan rohani, pemenuhan gizi (nutrisi) yang cukup dan aneka fasilitas olah raga menjadi sebuah kenicayaan, termasuk fasilitas pembinaan minat dan bakat santri di bidang seni dan budaya kreatif.
Keempat, pemberian penghargaan (appreciating and rewarding) terhadap santri berprestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Dalam upacara rutin, misalnya setiap Senin, disampaikan hasil penilaian musyrif terhadap: kamar santri terbersih, kamar terkotor, kamar terdisiplin, santri berprestasi, pegawai paling disiplin, dan sebagainya. Ekosistem santri diciptakan dan dikembangkan dalam suasana kondusif dan penuh spirit fastabiqul khairat.
Kelima, penegakan aturan hukum yang berlaku (low enforcment), antara lain, dengan memberlakukan sanksi (hukuman) yang mendidik kepada pelanggar aturan, tata tertib, dan nilai-nilai budaya pesantrenMu. Pemberlakuan sanksi yang melakukan pelanggaran disiplin diberikan dalam bentuk kerja sosial: menghafal mufradat dalam jumlah tertentu, menyalin ayat-ayat Alquran dalam jumlah tertentu, membersihkan masjid, mencuci karpet masjid, mencuci mobil pesantren, memakai jilbab berwarna khusus (bagi santriwati), dan penegakan hukuman lainnya sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Penegakan hukum itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan disiplin positif santri.
Keenam, mempromosikan (promoting) keunggulan dan kekhasan tertentu dari pesantrenMu, sesuai dengan potensi, kreasi, dan kearifan lokal masing-masing, sehingga memiliki daya saing tinggi dan menarik minat masyarakat. Misalnya saja, pesantrenMu tertentu memiliki “brand” sebagai pesantren tahfizh dengan metode paling cepat dan efektif dalam menghafal al-Qur’an, pesantren takhashshush seperti: baca kitab Turâts, pesantren ilmu alat, pesantren trensains, pesantren agrobisnis, pesantren entrepreneur, pesantren berbudaya bahasa Arab dan Inggris, pesantren kelautan, dan sebagainya. Oleh karena itu, pesantrenMu perlu mengembangkan kolaborasi dan networkingi dengan pihak lain, agar dapat melakukan akselerasi (percepatan) kemandirian dan kemajuan.
Akhirul kalam, memutus mata rantai kekerasan dan kejahatan seksual memang harus dimulai dari diri pribadi masing-masing sivitas akademika pesantren. Setiap insan pesantren harus berupaya menampilkan keteladanan yang baik. Sistem pendidikan pesantren dibangun berbasis regulasi yang efektif. Budaya pesantren yang ramah santri harus menjadi komitmen kolektif dan konstruktif. Nilai-nilai budaya pesantren perlu dikawal dan diamalkan oleh sivitas akademik pesantren dengan prinsip tawashaw bi al-haqq wa tawashaw bi ash-shabr dan disiplin positif. Mewujudkan budaya pesantren harus menjadi agenda perjuangan kolektif dalam rangka menyukseskan pesantren ramah santri yang berkemajuan di masa depan. Harkat, martabat, dan marwah pesantren sebagai kiblat pendidikan keagamaan dan sainteks modern harus dijaga bersama agar kekerasan dan kejahatan seksual tidak terjadi lagi.
Sumber: Majalah Tabligh Edisi Nomor 2/XXI Rajab-Syaban 1444 H/Februari 2023