Pendidikan Profetik untuk Pemajuan Peradaban Ilmu

Pendidikan Profetik untuk Pemajuan Peradaban Ilmu

Muhbib Abdul Wahab
(Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah)

Prolog

Sistem pendidikan di era digital ini cenderung didesainkan untuk menghasilkan “lulusan” yang melayani dunia industri, mengabdi kepada kepentingan “kapitalisme”, dan memenuhi kebutuhan jasa di bidang teknologi, ekonomi, sosial, dan sebagainya, daripada memajukan peradaban ilmu dan kemanusiaan. Di antara bukti konkretnya adalah penerapan konsep link and match; lulusan pendidikan (tinggi) harus bisa diserap dan sesuai dengan kebutuhan pasar/dunia kerja. Pendidikan mengalami reduksi dan pergeseran makna dari pemanusiaan manusia (humanisasi) menjadi “instrumentalisasi” (manusia menjadi alat yang melayani kepentingan industri dalam berbagai aspeknya).

Sebagai pusat transmisi dan pengembangan ilmu dari generasi ke generasi, institusi pendidikan juga mengalami ketercerabutan dari akar filosofisnya. Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan kurang menjadi perhatian. Apakah hal tersebut karena filsafat dianggap telah mati? Stephen William Hawking (1942 –2018) pernah mengemukakan bahwa filsafat telah mati. Buku berjudul “Maut al-Falsafah” (Kematian Filsafat, Januari 2023) karya Charlie Heunemann, dkk pun terbit. Pertanyaannya, benarkah filsafat telah mati, sehingga tidak lagi dipandang penting sebagai landasan pengembangan pendidikan? Jika benar, apakah kematian filsafat itu juga menyebabkan kematian ilmu sekaligus kematian pendidikan?

Lebih lanjut dinyatakan bahwa yang dimaksud kematian filsafat (ilmu) itu adalah kematian peran filsafat dalam menafasirkan alam materi dan fenomena alam. Perannya telah digantikan oleh ilmu. Jika sebelumnya filsafat menjadi “umm al-’ulûm” (induk segala ilmu), maka di era modern filsafat berperan sebagai metode atau kaidah berpikir, menjadi dasar penalaran logis dalam teroritisasi dan formulasi ilmu. Ilmu kemudian dikembangkan menjadi fondasi dan kompas pengembangan peradaban. Ilmu terus dimajukan dan dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan hidup manusia, termasuk pengembangan teknologi.

Ilmu (sains dan teknologi) terus berkembang maju (dinamis dan akumulatif) karena dikembangkan melalui riset (penelitian). Ilmuwan semakin tertantang untuk menemukan dan memecahkan misteri alam, masalah kehidupan, dan menyiapkan masa depan, termasuk menemukan jawaban dan solusi atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak semua bisa dijawab oleh agama dan budaya. Temuan (teori) ilmu (sains) modern yang semakin maju itu kemudian difungsikan sebagai pemandu peradaban. 

Jejak perkembangan ilmu dinarasikan Albert Camus (1913-1960), peraih hadiah Nobel di bidang sastra (1957), sebagai berikut: “Jika abad ke-17 merupakan abad matematika, abad ke-18 merupakan abad fisika, abad ke-19 adalah abad biologi, maka abad ke-20 adalah abad ketakutan dan kecemasan (qarn al-khauf wa al-qalaq).” Mengapa demikian, karena ilmu berubah menjadi salah satu ancaman yang menakutkan bagi kemanusiaan, seperti: ilmu persenjataan berbahan dasar nuklir dan senjata kimia atau biologi. Ilmu yang dikembangkan menjadi teknologi persenjataan modern terbukti menjadi alat pembunuh paling massif (lebih dari 75 ribu jiwa syahid), genosida manusia di Palestina oleh rezim biadab Zionis Israel.

Idealnya, pendidikan dikembalikan kepada khitahnya, sebagai sarana liberasi (pembebasan dari kesyirikan, kebodohan, kemunduran, dan kemiskinan), humanisasi (berakhlak mulia, beradab, berkarakter positif), transendensi (bersikap, berpikir, dan bertindak dalam rangka taqarrub ila Allah), dan sebagaimana sistem pendidikan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, bagaimana memaknai dan mengembangkan pendidikan profetik berbasis wahyu, uswah hasanah Nabi SAW, dan akal rasional yang menghasilkan lulusan seperti para sahabatnya dengan aneka profil keadaban luhur dan keilmuan yang membuahkan amal shalih dan perilaku mushlih (membangun, memperbaiki, dan memajukan peradaban)?

Konsep Dasar Pendidikan Profetik

Konsep pendidikan profetik dapat dipahami dari visi dan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. Beliau diutus oleh Allah SWT itu untuk menyampaikan, melakukan edukasi nilai-nilai kasih sayang. " Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’/21: 107). Artinya, Pendidikan profetik itu berbasis nilai-nilai kasih sayang (rahmah), welas asih, cinta, dan kelemahlembutan. Pendidikan profetik berorientasi kepada pembacaan ayat-ayat Allah, penyucian diri (pembebasan diri dari penyakit hati), pembelajaran al-Qur’an dan as-Sunnah.

Hal tersebut ditegaskan dalam ayat berikut: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-Jumu’ah/62:2). Sedangkan proses dan luaran pendidikan profetik adalah penyempurnaan akhlak mulia. Nabi SAW bersabda: “Aku memang diutus untuk menyempurnakan akhlak, budi pekerti” (HR al-Baihaqi). 

Menurut riwayat Abu Hurairah RA, Nabi SAW pernah diminta untuk mendoakan keburukan kepada orang-orang musyrik, tetapi beliau menolak. Lalu bersabda: “Aku diutus bukan untuk menjadi pencaci maki, pelaknat, tetapi aku diutus dengan (membawa) misi dan nilai-nilai kasih sayang.” (HR Muslim). Dalam hadis lain, Nabi SAW menegaskan ciri pendidikan profetik adalah sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai seorang yang menyusahkan atau mencari-cari kesukaran, tetapi Dia mengutusku sebagai pendidik yang memudahkan.”

Pendidikan profetik merupakan aset dan modal sosial yang harus diwarisi para ulama, karena ulama itu memang pewaris ilmu-ilmu Nabi SAW. Mengapa pendidikan profetik yang diteladankan Nabi SAW itu sukses mengemban misi transformasi keimanan, keilmuan, keadaban dan peradaban? Karena sebagai pendidik, Nabi SAW memainkan (dan mengintegrasikan) lima peran profetik sekaligus: (1) saksi dan bukti kebenaran Islam, (2) penyampai kabar gembira (menggembirakan) atau motivator ulung, (3) pemberi peringatan (penegak keadilan), (4) penyeru kepada jalan Allah, dan (5) inspirator yang mengilhami aneka kebaikan (sirajan munira). (QS al-Ahzab/33:45-46). 

Pendidikan profetik bukan sekadar transfer of knowledge dan penguasaan keterampilan, tetapi proses dan muaranya dibarengi dengan pembuktian kebenaran, motivasi yang menyentuh hati, keteladanan integritas moral, seruan ke jalan Allah (kebaikan dan kemanusiaan), dan inspirasi perubahan menuju kemajuan peradaban. Jika 5 ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW (surat al-‘Alaq/96:1-5) dan ayat 110 surat Ali Imran dianalisis secara mendalam, sejatinya pendidikan profetik sekurang-kurangnya mengintergrasikan 5 orientasi. Pertama, orientasi liberasi. Pendidikan profetik itu mencerdaskan dan membebaskan manusia atau menjadi solusi atas kebodohan, kegelapan iman dan ilmu, kemunduran, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pendidikan profetik berorientasi membebaskan manusia dari aneka penjajahan (hawa nafsu, setan, penguasa zhalim, dsb) menuju kemerdekaan hakiki.

Kedua, orientasi humanisasi. Pendidikan profetik itu dirancang untuk pemuliaan dan pembahagiaan manusia melalui intelektualisasi dengan edukasi, dakwah, dan uswah hasanah dalam menapaki jalan kehidupan. Pendidikan profetik itu ramah murid dan santri, antiperundungan, bullying, pencabulan, kekerasan, dan sebagainya. Ketiga, orientasi transendensi. Pendidikan profetik itu memurnikan dan meluruskan akidah yang salah dengan akidah tauhid yang benar, beribadah sesuai tuntunan syariah, berlaku ihsan kepada Allah dan sesama manusia melalui spiritualisasi diri dengan tilawah, tazkiyah an-nafs (penyucian diri) dzikir, dan doa yang tulus kepada-Nya. Pendidikan profetik itu membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan, mengamalkan dalil (wahyu) bukan mendalili amal dan tradisi yang menyimpang.

Keempat, orientasi moralisasi. Pendidikan profetik itu memuliakan manusia, membentuk kebiasaan hebat dan bermartbat, meneguhkan sikap dan karakter positif (akhlak terpuji), sehingga dapat dijadikan teladan bagi orang lain. Meyakini Nabi SAW sebagai teladan terbaik itu menginspirasi pendidik dan peserta didik bisa menjadi uswah hasanah, bisa digugu dan bisa ditiru. Kelima, orientasi sivilisasi: Pendidikan profetik itu berwawasan masa depan dan berorientasi keunggulan karena keteguhan iman, kedalaman ilmu, kelembutan hati, dan konsistensi amal shahlih dalam membangun peradaban agung. Pendidikan profetik bukan sekadar mengembangkan budaya qira’ah, tetapi juga budaya tau’iyah (penyadaran), tazkiyah (penyucian), ta’lim (pengajaran, budaya ilmu), ta’dib (adab, pemeradaban), dan tahqiq al-hadharah (aktualisasi peradaban). 

Pemajuan Peradaban Berbasis Iman dan Ilmu

Pendidikan profetik itu bukan slogan, tanpa bukti nyata. Sirah nabawiyyah (sejarah perjalanan karir kenabian) itu membuktikan bahwa pendidikan profetik itu otentik, sarat dengan praktik dan tradisi baik (sunnah hasanah). Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW itu tidak hadir dalam ruang kosong, tetapi menyejarah dalam konteks sosial kultural yang direkonstruksi menjadi sebuah sistem pendidikan profetik. 

Pendidikan profetik dimulai dengan literasi purifikasi (pemurnian) akidah dan restorasi akhlak Jahiliyah yang sudah rusak dan merusak tatanan kehidupan. Agenda purifikasi dan restorasi ini sangat penting karena masa depan manusia ditentukan oleh keyakinan teologis dan keluhuran akhlaknya. “Tidak patut bagi seseorang manusia yang diberi kitab oleh Allah, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Tetapi (yang patut ialah) ia berkata, "Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya". (QS Ali Imran/3:79)

Menurut Wahbah az-Zuhaili, dalam at-Tafsir al-Wajiz, tidak wajar bagi seorang manusia Allah berikan kitab kepadanya, dan mengajarkan hikmah berupa syariat dan ilmu yang bermanfaat dan menganugerahkan kenabian dan risalah, lalu dia menyuruh kepada manusia untuk menyembahnya selain Allah. Namun Nabi SAW berkata kepada pengikutnya: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang berilmu dan berpikir rasional dengan mengamalkan perintah Allah, taat kepada-Nya dengan maksimal, karena kamu selalu mengajarkan kitab Allah kepada manusia dan disebabkan kamu tetap mempelajari syariat berupa hukum-hukum dan nasihat. Ayat ini turun untuk orang-orang Nasrani, yang membuat fitnah atas Isa, dan tidak layak bagi mereka untuk mengatakan itu, dan tidak ada seorang pun dari temannya yang dianugerahi kenabian

Profil lulusan yang dihasilkan pendidikan profetik itu adalah insan Rabbani, dengan dua kompetensi utama yaitu: ta’lim (membelajarkan kitab suci) dan dirasah (pembelajar, penstudi sejati, peneliti). Fakta historis menunjukkan bahwa para sahabat Nabi itu merupakan pembelajar yang memiliki antusiasme yang tinggi terhadap kebenaran ilahi; dan bersamaan dengan itu, mereka selalu tergerak untuk mengamalkan dan membelajarkan ilmunya. Sejumlah sahabat perawi hadis bahkan banyak tinggal di serambi Masjid Nabawi karena bermaksud untuk updating ilmu dan petunjuk dari Nabi SAW.

Menurut Nurcholish Madjid, ilmu yang dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan profetik itu merupakan hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan Allah, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir rahasia ayat-ayat-Nya. Iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan, meskipun dapat dibedakan. Iman mendorong manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu, selain juga membimbing ilmu dalam bentuk pertimbangan moral dan etis dalam penggunaanya. Sedangkan ilmu yang dipahami dengan benar dapat memperkuat iman, dan menjadikan Mukmin lebih mantap dan khusyuk dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Profil lulusan dari pendidikan profetik yang ideal adalah menjadi ulama yang memiliki cita rasa khasyyah (penghayatan mendalam, sehingga takut kepada Allah) dan berkompeten menjadi pewaris para Nabi. “Yang hanya takut kepada Allah-lah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama,” (QS Fathir/35: 28). Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan benar-benar takut adalah para ulama yang mengenal dan memahami betul tentang hakikat Allah, karena ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah memadai, maka perasaan takut kepada-Nya akan semakin besar.” Lulusan yang lebih takut kepada atasan (pimpinan) daripada takut kepada Tuhan, dengan melakukan korupsi dan kemaksiatan misalnya, berarti bukan lulusan pendidikan profetik.

Dalam praktiknya, ilmu kerap disalahgunakan. Ilmu semestinya digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Sebaliknya, ilmu tidak jarang digunakan untuk menghancurkan peradaban dan kemanusiaan melalui perang dengan menggunakan senjata pemusnah massal, bom fosfor, bom nuklear, dan sebagainya. Pendidikan profetik tidak sekadar melayani kebenaran ilmu, tetapi juga menjaga fitrah kemanusiaan dan mengelola hawa nafsu. Kebenaran ilmu memang tidak absolut (nisbi), sehingga ilmu berpotensi disalahgunakan, karena pengguna ilmu (manusia) kerap dipengaruhi hawa nafsu, kepentingan pragmatik, politik kekuasaan, ekonomi, dan sebagainya. Ilmu yang semestinya tidak bebas nilai, kemudian tercerabut dari akar/sumber ilmu: al-Haqq (Maha Benar), al-’Alim (Maha Berilmu), al-Khabir (Maha Pakar), al-Akram (Maha Murah), dan al-Muhith (Maha Meliputi dan Menjangkau).

Oleh karena itu, pendidikan profetik menjadikan lmu (sains) berperan penting sebagai fondasi, pilar, atau basis penopang peradaban umat manusia. Ilmu membuka cakrawala berpikir dan mencerahkan kehidupan manusia dengan memberikan solusi terhadap persoalan hidupnya. Ilmu dalam proses pendidikan profetik harus meneguhkan akidah tauhid sekaligus mengokohkan kepribadian dan karakter positif, membuahkan amal shalih dan akhlak mulia. Dengan kata lain, pendidikan profetik itu didesain untuk memajukan peradaban iman, ilmu, dan amal shalih, bukan peradaban sekular, liberal, permisif, dan hedonistik, sehingga menyebabkan kegersangan spiritual dan menjauh dari konektivitas dengan Tuhan.

Dalam pendidikan profetik, peran Ilmu harus terus menyala, menyinari kehidupan, mengangkat derajat kemanusiaan, dan mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Ilmu dikembangkan dan dimanfaatkan dengan mempertimbangkan logika berpikir ilmiah melalui penelitian dan pengembangan. Ilmu harus dimanfaatkan dengan pertimbangan nilai, etika dan adab. Al-Adab qabla al-‘Ilmi. Ilmu harus melembutkan hati dan menginspirasi perilaku bermoral dan beradab. Dengan demikian, Ilmu juga harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk memberi solusi, pemecahan terhadap persoalan hidup manusia melalui teori kebenaran, prinsip moral, dan estetika (kepatutan, kepantasan, dan estetika kehidupan).  

Peradaban berkemajuan itu tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa ilmu yang bermanfaat. Konsep “ilm yuntafa’u bih” bukan sekadar terkait dengan pentingnya pendidikan yang menghasilkan legasi kemanfaatan masa depan sebagai amal jariyah, tetapi bagaimana ilmu itu menjadi sumber motivasi dan inspirasi membangun sistem kehidupan yang baik, bahagia, tenteram, damai, sejahtera, adil dan Makmur (baldah thayyibah wa Rabbun ghafur). Pemajuan peradaban seperti dinarasikan al-Qur’an (Saba’/34:15) bukanlah utopia yang hanya ada di alam ide, melainkan telah mengejawantah dan menyejarah dalam praktik baik (best practice) dalam kehidupan masyarakat Madinah (al-Madinah al-Munawwarah, negara kota berperadaban yang tercerahkan) di bawah pimpinan Nabi SAW dan para khulafa’ Rasyidun. Jadi, pemajuan peradaban harus dibangun dan diwujudkan berbasis iman, ilmu, dan amal shalih.

Ilmu Memandu Jalan Keunggulan

Allah SWT telah menjanjikan peninggian derajat manusia dan kemanusiaan berbasis iman dan ilmu. “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadalah/58:11)

Dalam pendidikan profetik, ilmu digungsikan tidak hanya untuk menjelaskan fenomena dan menafsirkan peristiwa, tetapi juga memandu jalan kebenaran menuju pendakian spiritual dan kedekatan dengan Tuhan. Ilmu harus bermanfaat sebagai petunjuk yang mengantarkan kepada kebaikan, kemaslahatan, dan kemajuan. Hasan al-Bashri menyatakan “Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tak bertambah sikap asketiknya (zuhud) kepada dunia, maka ia akan semakin jauh dari Allah.” 

Sebaliknya, ilmu yang dikembangkan dalam proses pendidikan profetik tidak membuat pembelajarnya semakin cinta dunia. Oleh karena itu, Imam Syafi’i (150-204 H) mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga: rendah hati kepada Allah, berlaku adil terhadap dirimu sendiri, dan baik dalam mendengarkan (orang lain).” Pertama, ilmu memandu jalan menuju tawadhu’ kepada Allah; ilmu sejati membuat seseorang semakin tunduk dan tidak sombong, tidak takabbur. Karena, “dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih berilmu” (QS Yusuf/12:76) dan sejatinya, “… tidaklah kamu diberi ilmu pengetahuan melainkan sedikit" (QS al-Isra’/17:85).

Kedua, ilmu menginspirasi kita untuk berlaku adil terhadap diri sendiri dengan mengakui kesalahan dan menerima kebenaran dari siapapun, lalu kita bisa memperbaiki kesalahan dan kualitas diri. Pendidikan profetik membuka ruang kesadaran dan keinsafan untuk menembus batas dan sekat-sekat egoisme dan fanatisme buta. Dengan demikian, ilmu memandu jalan keunggulan kompetetif, profesional, dan keunggulan budaya fastabiqul khairat (berkompetisi dalam beramal kebajikan). 

Ketiga, ilmu memotivasi kita untuk mau terus mendengarkan dan terus belajar; ilmu menjadi tanda kerendahan hati dan keinginan sungguh-sungguh (kuriositas) untuk memahami dan mengembangkan ilmu. Pendidikan profetik menyediakan ekosistem keterbukaan dan kebutuhan untuk terus-menerus memperbarui dan meningkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal shalih dan mushlih.

Oleh karena itu, pengembangan ilmu sebagai pemandu jalan keunggulan difasilitasi al-Qur’an dengan sejumlah instrumen. Perintah al-Qur’an untuk mengembangkan ilmu (sains) ini tidak hanya terbatas pada penggunaan terma aql saja, tetapi menggunakan beberapa terma dan instrumen keilmuan yang beraneka ragam, seperti: (1) tadabbara: merenungkan sesuatu yang tersurat dan yang tersirat; (2) tafakkara: berefleksi, berpikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam/kausalitas; (3) faqiha: memahami, mengerti secara mendalam; menyelami substansi dan esensi persoalan; (4) tadzakkara: mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, bisa mengambil lessons learned, (5) fahima: memahami secara mendalam; (6) nadzara: melihat secara abstrak, dalam arti merenung, mengobservasi, mencermati, dst.; dan (7) abshara: mencermati, memahami hakikat, mengerti esensi, dan sebagainya.

Akhirul kalam, ilmu yang dipelajari dan dikembangkan itu harus bermanfaat (‘ilm yuntafa’u bih), memberi nilai tambah dan nilai kemaslahatan bagi umat manusia. Karena itu, ilmu harus dikembalikan kepada “habitatnya” sebagai sarana/media untuk mengatasi persoalan, memberi solusi permasalahan, sekaligus menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Nashr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa esensi peradaban Yunani adalah peradaban akal (hadharah al-’Aql), peradaban Mesir adalah peradaban pascakematian (Hadharah ma ba’da al-maut), sedangkan peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat an-nash). Sementara esensi peradaban teks adalah peradaban ilmu, berbasis kajian dan penelitian, yang kemudian ditulis sebagai karya ilmiah yang menginspirasi dan mencerahkan kehidupan. Peradaban teks (ilmu) mengintergasikan akal dan wahyu, spiritualitas dan intelektualitas, orientasi langit dan bumi, kemaslahatan dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.  

Pendidikan profetik mengagendakan aktualisasi pemajuan peradaban yang mengintegrasikan peradaban iman, ilmu, akhlak, dan amal shalih dan mushlih. Dan cita ideal dari peradaban ini adalah terujudnya sistem kehidupan yang aman, damai, sejahtera, Bahagia, adil makmur. Itulah peradaban yang mestinya dihasilkan Pendidikan profetik, yaitu peradaban Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang bahagia duniawi dan ukhrawi).Sinergi iman, ilmu, amal shalih, dan akhlak mulia dalam Pendidikan profetik in syaa Allah membuahkan kemajuan peradaban karena Islam itu dîn (agama) sekaligus hadhârah (peradaban). Integrasi keduanya (agama dan peradaban) secara historis diwujudkan melalui sistem pendidikan dan sosial politik profetik yang inklusif (terbuka), dialogis, dan humanis.