Pendidikan Masa Depan Berbasis Keterampilan Abad 21: Aktualisasi Pendidikan Akidah dan Akhlak dari Kisah Nabi Yusuf AS

Pendidikan Masa Depan Berbasis Keterampilan Abad 21: Aktualisasi Pendidikan Akidah dan Akhlak dari Kisah Nabi Yusuf AS

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Prolog

Tulisan ini merupakan kelanjutan tulisan pertama saya pada edisi sebelumnya. Telah ditegaskan bahwa kisah Nabi Yusuf AS dalam surat Yusuf merupakan kisah terbaik (ahsan al-Qashash) (QS Yusuf/12:3) yang sangat sarat pelajaran multidimensi. Muhammad Bassam Rusydi Zein (2001), dalam Madrasat al-Anbiyâ’: ‘Ibar wa Adhwâ’, menyatakan bahwa kisah Nabi Yusuf itu kaya pelajaran pendidikan, sosial, spiritual, hukum, ekonomi, politik, dan dakwah. Persoalannya, bagaimana membaca dan memaknai kisah Yusuf AS dalam konteks pengembangan pendidikan masa depan berbasis keterampilan abad 21? Dengan kata lain, bagaimana menjadikan kisah Yusuf sebagai sumber inspirasi dalam pengembangan sistem pendidikan yang berorientasi masa depan gemilang?

Dalam al-Lubab: Makna, Tujuan, Pelajaran dari Surah-surah al-Qur’an, Muhammad Quraisy Shihab (2012) juga menegaskan bahwa kisah Nabi Yusuf merupakan ahsan al-qashash karena kandungannya yang demikian kaya dengan pelajaran, tuntunan, dan hikmah, kaya juga dengan gambaran yang sungguh hidup dalam melukiskan gejolak hati pemuda, rayuan wanita, kesabaran, kepedihan, dan kasih sayang ayah. Bahkan kisah ini juga mengandung imajinasi, di samping memberi informasi tersurat dan tersirat tentang sejarah masa silam. Karena itu, dari pelajaran historis masa lalu, kita melakukan refleksi untuk merancang dan membangun masa depan melalui sistem pendidikan profetik yang dilandasi akidah tauhid yang kokoh.

Pendidikan Akidah

Beberapa nilai edukasi dari kisah Nabi Yusuf sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya hingga ayat 22 Surat Yusuf.  Pendidikan masa depan dalam perspektif kisah Nabi Yusuf, antara lain, harus dilandasi penanaman dan peneguhan akidah tauhid. Karena iman yang kuat menjadi benteng pertahanan diri (self defence) dari segala bentuk godaan kehidupan (hawa nafsu, setan, perempuan, keduniaan, kekuasaan, dan sebagainya). Dalam penolakannya terhadap rayuan perempuan (istri al-‘Aziz), Nabi Yusuf berlindung terlebih dahulu kepada Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya.

Berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah SWT merupakan bagian integral dari aktualisasi akidah tauhid yang benar dan autentik. Akidah tauhid yang benar dan auntentik kepada Allah menjadi sumber energi positif untuk pengendalian dan perlindungan diri, sehingga Yusuf mampu menahan emosi, tidak meluapkan kemarahan dan kemurkaannya karena menjadi korban tuduhan dan framing yang tidak benar. “Tidak ada pembalasan terhadap orang yang berbuat buruk, walaupun tidak sampai berzina, terhadap istrimu selain dipenjarakan setimpal dengan kesalahannya, atau kalau tidak dipenjarakan, maka dihukum dengan siksa yang pedih”. (QS Yusuf [12]:25)

Abad 21 merupakan era disrupsi, era yang penuh terjadinya inovasi dan perubahan secara besar-besaran dan secara fundemental yang mengubah semua sistem dan tatanan yang ada ke cara-cara baru. Perubahan akibat kemajuan sains dan teknologi itu tidak jarang membuat manusia kehilangan jatidiri, integritas moral, dan kekayaan mental spiritual karena menjadi “budak” harta, tahta, dan wanita, termasuk budak ipteks. Oleh karena itu, pendidikan iman, khususnya pendidikan akidah tauhid bukan hanya memodali diri dengan perisai diri, tetapi juga dapat menjadi kiblat yang lurus, penentu orientasi kehidupan duniawi dan ukhrawi yang benar dan harmoni. Pendidikan iman tetap harus menjadi fondasi yang kokoh bagi pendidikan masa depan. Pendidikan iman itu ibarat bangunan, jika fondasinya kokoh, maka bangunan itu tidak akan mudah goyah dan roboh.

Oleh karena itulah, selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah, Nabi Muhammad SAW meletakkan dasar dengan membangun akidah tauhid yang kokoh melalui pendidikan akidah. Merubah akidah dan tradisi jahiliyah yang sudah rusak karena sistem teologinya berbasis syirik yang sudah mandarah daging tentu tidaklah mudah. Namun dengan logika tauhid yang sederhana, rasional, dan tidak ruwet seruwet sistem teologi trinitas, perlahan tapi pasti, Nabi SAW berhasil melakukan transformasi teologis. Berhala-berhala Jahiliyah dapat dikikis dan diatasi dengan logika tauhid bahwa Allah itu Maha Esa, Pencipta langit dan bumi, Tuhan semesta alam, Tuhan yang Maha Hadir dalam kehidupan makhluk-Nya, Tuhan nenek moyang seluruh umat manusia. Pendidikan akidah dengan logika tauhid yang lurus, rasional, dan sesuai dengan fitrah manusia terbukti menjadi benteng mental spiritual kehidupan manusia.

Karena keimanan yang kokoh, Yusuf menunjukkan pribadi yang tidak takut menghadapi aneka masalah, tuduhan, dan framing yang bertendensi fitnah. Dia berani membela diri karena berkeyakinan diri tinggi atas kebenaran sikap dan perilakunya. Setelah mendengar tuduhan keji tersebut, Yusuf membantah: “Aku tidak pernah bermaksud buruk kepadanya, tetapi dia menggodaku.” (QS Yusuf [12]:26). Pada saat itu, sang suami (al-‘Aziz) merasa ragu, dan dalam kebimbangannya itu, tampil seorang saksi dari keluarga perempuan itu dengan mengatakan: “Jika bajunya koyak (robek) di bagian muka/depan, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk kelompok para pendusta. Dan jika engkau melihat bajunya koyak di belakang, maka wanita itulah yang telah berdusta dan Yusuf termasuk orang yang benar.” (QS Yusuf [12]: 27). Ayat ini juga sarat dengan nilai pendidikan hukum yang fair, objektif, dan antentik dalam pembuktian dan penyelesaian kasus hukum seperti yang menimpa Nabi Yusuf, sehingga tidak terjadi kriminalisasi terhadap pahlawan kebenaran.

Keyakinan diri yang kuat karena benar dan berlindung kepada Allah membuat Yusuf sama sekali tidak takut “ditersangkakan” oleh rezim penguasa yang pada umumnya bisa berbuat semena-mena. Kesaksian tersebut menunjukkan bahwa Nabi Yusuf berusaha menghindar dan lari dari “bujuk rayu dan desakan hasrat syahwat” wanita (istri al-‘Aziz), lalu dia dikejar olehnya dari belakang dan memegangnya dengan kuat sehingga bajunya koyak memanjang ke bawah, bukan ke samping. Setelah diperiksa dan diverifikasi faktual oleh sang suami, ternyata baju Nabi Yusuf memang koyak di bagian belakang dan memanjang ke belakang. Yusuf pun kemudian berkata tanpa ragu: “Sesungguhnya peristiwa  yang terjadi ini dan tuduhan yang dituduhkan itu adalah bagian dari tipu daya kamu, wahai para wanita, dan sesungguhnya tipu daya kamu, khususnya dalam bidang rayu merayu, adalah sangat besar (dahsyat).” (QS Yusuf [12]: 28)

Pendidikan iman itu menyelamatkan kehidupan duniawi-ukhrawi, dan menghindarkan diri dari keterpurukan dengan merasa malu: merasa berdosa, merasa menyesal, dan merasa hina di hadapan Allah SWT. Setelah menegur istrinya, al-‘Aziz berpaling kepada Nabi Yusuf yang berdiri di dekatnya; dan berkata kepadanya: “Yusuf, berpalinglah dari ini, yakni jangan hiraukan peristiwa ini. Anggap dia tidak pernah ada.” Selanjutnya, dia berpaling  sekali lagi kepada istrinya sambil berkata: “Dan engkau, hai wanita, mohon ampunlah atas dosamu itu. Semoga dengan permohonanmu itu engkau tidak terkena sanksi dari Tuhan dan dariku. Mohon ampunlah, karena sesungguhnya engkau termasuk kelompok orang-orang berdosa.” (QS Yusuf [21]: 29). Jadi, pendidikan iman itu menyadarkan hati, menyegarkan dan mencerdaskan pikiran, dan menginjeksi energi positif dan konstruktif untuk beramal shalih: membangun masa depan peradaban berkemajuan.

Pendidikan Akhlak

Selain pendidikan akidah dengan logika tauhid yang rasional dan sesuai fitrah, pendidikan akhlak juga merupakan modal kehidupan dan pendidikan masa depan. Artinya, pendidikan masa depan harus dikawal dan diperindah dengan pendidikan akhlak. Esensi pendidikan akhlak itu membangun dan membentuk pribadi yang bersikap benar, berkarakter positif, berperilaku mulia, dan bermuamalah hasanah (baik, etis, elegan, dan bermartabat). Selama 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi SAW selalu menjadikan pendidikan akhlak sebagai core (intisari) amanah kenabian atau tugas profetik yang diembannya. Karena, sabda Nabi SAW: “Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR Malik).

Pendidikan akhlak dapat berfungsi efektif: membentuk karakter, integritas, dan kepribadian mulia, apabila dilandasi akidah tauhid yang kokoh dan pengamalan syariat. Karena akidah tauhid dan pengamalan syariat secara benar dan konsisten dapat membuahkan akhlak mulia. Akhlak mulia merupakan buah akidah dan syariah yang dijalankan secara istikamah. Akhlak terpuji berpangkal pada kesucian hati, kejernihan pikiran, dan kecintaan kepada kebaikan, keutamaan, dan kemuliaan. Setelah terjadi peristiwa memalukan tersebut, Nabi Yusuf menunjukkan sikap dan perilaku terhormat, tidak membeberkan, apalagi memviralkan, aib keluarga al-‘Aziz, meskipun aib itu benar, karena Yusuf mengalaminya langsung dan menjadi korban. Akan tetapi, dia menjaga kehormatan dan martabat keluarga istana, sebuah akhlak terpuji dalam bentuk pengendalian diri, tidak emosi, dan tetap bersabar.

Namun demikian, serapat apapun keluarga istana menutupi aib, asap dari api “asmara” istri al-‘Aziz ternyata menyeruak dan tercium oleh “orang di luar” istana. Hal ini boleh jadi disebabkan atau dibocorkan oleh wanita itu tanpa sadar. Ayat 30 menjelaskan bahwa beberapa wanita yang tinggal di kota tempat istri pejabat itu tinggal berkata: “Istri al-‘Aziz, yakni istri pejabat terhormat kota ini, menggoda bujangnya yang muda. Sesungguh cintanya terhadap bujangnya itu telah merasuk mendalam mencapai lubuk hatinya, sehingga ia tidak dapat menguasai dirinya lagi. Sesungguhnya kami benar-benar memandangnya akibat sikapnya itu telah berada dalam kesesatan yang nyata.”

Di antara indikator efektivitas pendidikan akhlak itu adalah, seperti ditunjukkan dalam sikap dan perilaku moral Nabi Yusuf, menjaga kehormatan diri dan keluarga, integritas, dan tidak mudah tergoda oleh kenikmatan duniawi dan bujuk rayu hawa nafsu dan syahwat. Hal ini membuat nama baik, harga diri, dan wibawa Nabi Yusuf tidak jatuh. Karena itu, pendidikan akhlak idealnya dirancang sukses untuk menanamkan rasa sayang terhadap diri sendiri bahwa kehormatan, harkat, dan martabat manusia terletak pada keluruhan dan kemuliaan akhlaknya, bukan pada ketampanan, kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan materi. Karena tidak sedikit pejabat publik yang harkat dan martabatnya jatuh, terpuruk, karena tuna moral, tidak memiliki rasa malu, dan melacurkan diri untuk kenikmatan duniawi sesaat atau menghalalkan segala cara untuk “menuhankan” kekuasaan dan melampiaskan keserakahan duniawi.

Ketika ucapan para wanita itu viral dan sampai di telinga pejabat itu, dia (istri al-‘Aziz) mengutus kepada para wanita  itu seorang yang membawa undangan makan dengan tujuan menunjukkan mengapa hal  yang mereka gosipkan itu terjadi. Dikisahkan, menurut Quraisy Shihab, untuk menjamin tercapainya tujuan istri pejabat itu sendiri, bukan para pembantunya yang menyiapkan  bagi mereka tempat duduk bersandar dan makanan sehingga mereka  dapat lebih nyaman menikmati jamuan. Dia memerintahkan memberi kepada setiap orang dari mereka sebilah pisau untuk memotong aneka makanan yang dihidangkannya. Para undangan (sosialita atau selebriti papan atas saat itu) pun hadir dan bercengkrama sambil menikmati suguhan yang dihidangkan. Lalu dalam suasana demikian, ketika masing-masing sedang memegang pisau, istri pejabat itu menuju ke tempat Nabi Yusuf yang ketika itu tidak berada di ruang makan. Dia berkata: “Keluarlah, wahai Yusuf, tampakkan dirimu kepada mereka.” Maka keluarlah Nabi Yusuf.

Episode selanjutnya adalah “penampilan diri” Nabi Yusuf di hadapan para tamu undangan. Dalam ayat 31 surat Yusuf dijelaskan bahwa para tamu undangan tidak sedikit pun menduga kehadiran Yusuf begitu dekat di tengah mereka, seperti performa peragawan atau peragawati di atas pentas peragaan busana. Ketika mereka menyaksikannya, serta-merta mereka dibuat kagum, dan tanpa sadar (karena terpesona dan terkesima) mereka memotong sehingga melukai dengan cukup keras atau berkali-kali jari-jari mereka masing-masing. Ketika itu, ada di antara mereka yang bergumam: “Mahasuci Allah, Mahaindah, Mahabaik, dan Mahabenar Dia.” Ungkapan ini disambut oleh yang lain: “Sosok yang kita lihat dari dekat dan sangat jelas ini bukanlah manusia.” “Benar”, sambut yang lain, dan dikonfirmasi yang lain lagi: “Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (QS Yusuf [12]:31)

Di satu segi, pendidikan akhlak menghendaki penanaman nilai keberanian, dan di segi lain internalisasi rasa malu dan kesabaran. Karena nilai keberanian itu merupakan kekuatan jiwa yang tangguh untuk menjaga kesucian diri (‘iffah) dari segala yang merusak harkat dan martabat. Keberanian dalam diri yang menjaga kesuciannya pasti membuahkan keberanian menegakkan kebenaran, termasuk berani “tampil” di muka para tamu undangan, seperti yang dilakukan Nabi Yusuf tersebut, untuk menunjukkan kebenaran dan kejujuran dirinya. Rasa malu itu meneguhkan jiwa protektif, membentengi diri dari berbuat kemaksiatan sekaligus malu jika tidak mensyukuri nikmat Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi,  keberanian menegakkan kebenaran atau mengakui kesalahan sesungguhnya merupakan aktualisasi diri dari modal spiritual dan moral: keimanan, kebenaran, kejujuran, dan kesabaran.

Setelah itu, para tamu undangan istri al-‘Aziz baru menyadari bahwa mereka telah melukai jari-jari mereka sendiri karena terpikat dan terpesona oleh “ketampanan dan kharisma” Nabi Yusuf. Tuan rumah amat senang karena telah berhasil menunjukkan kepada para undangan bahwa apa yang terjadi baginya dapat terjadi pula pada mereka. Karena itu, ia tidak perlu merasa malu, bahkan dengan bangga dia berkata: “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena tertarik kepadanya. Aku mengaku kepada kamu secara terang-terangan bahwa demi Tuhan, sesungguhnya aku telah merayunya, akan tetapi dia bersungguh-sungguh menolak. Kini aku tidak menyembunyikan kepada kamu bahwa hatiku tetap terkait dengannya dan aku tetap ingin bersamanya, dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan, niscaya pasti dia akan dipenjarakan, atau dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” (QS Yusuf [12]:32).

Berani karena benar, sebagai manifesti akhlak mulia, ditunjukkan dengan keterbukaan informasi, keterbukaan sikap dan perilaku. Nabi Yusuf tidak merasa malu menjadi “tontonan” para wanita, karena dia tidak merasa dipermalukan, melainkan dia merasa perlu menunjukkan bahwa jiwa ksatria, harga diri, dan integritas diri itu disebabkan oleh jiwa berani karena benar. Oleh sebab itu, esensi akhlak mulia itu bersumber dari kejujuran dan keberanian. Jujur dan benar itu dapat mengantarkan kepada kebaikan. Nabi Yusuf tidak merasa “dihinakan” oleh istri al-‘Aziz karena kejujuran, kebenaran, dan keberanian  yang sudah terpatri dalam jiwanya membuahkan pribadi sabar dan mulia, bukan pribadi murahan dan terhina.

Epilog

Kisah Nabi Yusuf AS mengajarkan kita pentingnya pendidikan akidah dan akhlak. Pendidikan masa depan harus tetap dilandasi akidah yang benar dan kokoh; dan dikawal dengan pendidikan akhlak mulia. Akidah dan akhlak merupakan aset manusia yang paling berharga. Logika tauhid dan kemuliaan akhlak menentukan integritas pribadi, harkat dan martabatnya. Kehidupan di masa depan dipastikan penuh godaan dan tantangan, sebagaimana Nabi Yusuf dihadapkan aneka godaan dan rayuan ketika hidup bersama keluarga istana. Akan tetapi, Nabi Yusuf mampu keluar dari jebakan “godaan nafsu syahwat” dan kenikmatan duniawi. Dia mampu menunjukkan pertahanan diri (self defance) yang tidak bisa ditaklukkan, meskipun oleh seorang first lady, istri penguasa. Akidah tauhid dan akhlak terpuji menyelamatkan Nabi Yusuf dari kehancuran integritas moral dan harga dirinya.

Pendidikan masa depan tidak hanya perlu dikembangkan berbasis keterampilan abad 21, tetapi juga harus dilandasi dan diperkuat dengan kompetensi akidah yang benar dan akhlak mulia. Pendidikan akidah dan akhlak harus menjadi fondasi dan penentu arah kiblat kehidupan yang mengintegrasikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kesuksesan lulusan pendidikan tidak ditentukan semata-mata oleh penguasaan keterampilan, karena keterampilan hanya menjadi modal professional mereka, sementara kompetensi akidah dan akhlak menjadi kekuatan jiwa dan energi positif dalam membetengi diri dari segala bentuk kemaksiatan, kemungkaran, dan penyimpangan. Akidah tauhid membuat manusia takut kepada Allah, bukan takut kepada atasan atau makhluk. Sedangkan akhlak mulia membuahkan perilaku yang benar, jujur, terbuka, sabar, berani menegakkan kebenaran dan keadilan, dan menjaga kesucian diri dari segala bentuk kehinaan dan kerendahan orientasi duniawi semata. Bersambung….

Sumber: Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 6/XIX Dzulqo’dah 1442 H./Juli 2021 M. (mf)