Pendidikan Masa Depan Berbasis Keterampilan Abad 21: Aktualisasi Nilai-nilai Edukasi dari Kisah Nabi Yusuf AS
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Dewasa ini sistem pendidikan dan pembelajaran dari tradisional menuju modern, berbasis teknologi dan pengembangan kompetensi mengalami transformasi. Pembelajaran autentik, kontekstual, dan berbasis pengalaman menjadi orientasi baru dalam rangka penyiapan peserta didik yang terampil dan siap beradaptasi dengan kemajuan zaman. Revolusi industri (4.0), era digital, dan disrupsi menghendaki peserta didik memiliki kompetensi, keterampilan, dan penguasaan literasi yang dibutuhkan. Sistem pendidikan tidak lagi berfokus pada pengembangan kognisi, transfer of knowledge, tetapi harus mengedepankan kompetensi dan keterampilan yang relevan dan dibutuhkan dengan kehidupan modern.
Konsep pengembangan pendidikan berkelanjutan (Education for Sustainability Development, ESD) abad 21 bertujuan menyiapkan peserta didik yang menguasai aneka keterampilan dalam menghadapi tatangan global, seperti: cognitive science, bio-molecular, information technology dan nano-science. Dengan kata lain, pendidikan masa depan: pembelajaran masa depan, sekolah masa depan, ilmu masa depan, pendidik dan peserta didik masa depan, perlu dirancang bangun, didesain secara holistik dan sistemik, agar luaran (outcome) pendidikan itu tidak gagap atau siap beradaptasi dan hidup di masa depan dengan segala tantangan dan peluangnya.
Salah satu yang luput dari konseptualisasi keterampilan abad 21 adalah keterampilan bermuamalah hasanah dengan akhlaq mahmudah (akhlak terpuji), dengan menampilkan kepribadian dan karakter positif, mulia, dan produktif. Oleh karena itu, gagasan pendidikan masa depan berbasis keterampilan abad 21 penting dimaknai dan dikembangkan dalam perspektif Islam. Salah satu perspektif yang dapat digunakan untuk meneropong dan membaca masa depan pendidikan dan pendidikan masa depan adalah kisah Nabi Yusuf AS dalam Alquran.
Kisah Nabi Yusuf AS merupakan kisah terbaik (ahsan al-Qashash) (QS Yusuf/12:3) yang sangat sarat pelajaran multidimensi. Muhammad Bassam Rusydi Zein (2001), dalam Madrasat al-Anbiya’: ‘Ibar wa Adhwa’, menegaskan bahwa kisah Nabi Yusuf itu kaya pelajaran pendidikan, sosial, spiritual, hukum, ekonomi, politik, dan dakwah. Persoalannya, bagaimana membaca dan memaknai kisah Yusuf AS dalam konteks pengembangan pendidikan masa depan berbasis keterampilan abad 21?
Tentu saja pembacaan dan kontekstualisasi kisah Yusuf AS penting diletakkan dalam bingkai pendidikan holistik integratif, karena kisahnya dinarasikan secara utuh dan sistematis dalam satu surat (Yusuf/12); tidak terpencar-pencar dalam berbagai surat seperti kisah Nabi Ibrahim AS, Luth AS, dan Nabi Musa AS. Pemaknaan kisah Yusuf tidak hanya dilakukan dengan mencermati redaksi dan gaya bahasa yang digunakan, tetapi juga memperhatikan konteks sosial yang menyertai perjalanan hidup Yusuf: keluarga, saudara-saudaranya, intrik-intrik dalam keluarga, perbudakan, lingkungan istana, kisah asmara, penjara, mimpi dan takwilnya, dan sistem sosial politik pada umumnya. Semua dibaca dan dimaknai dengan pendekatan intertekstual (muqarabah at-tanashsh), sehingga dapat dipetik nilai-nilai edukasinya, lalu dikontekstualisasikan dalam merancang pendidikan masa depan.
Penting diyakini bahwa kisah Yusuf AS pasti benar dan sarat nilai edukasi, sehingga semua momentum perjalanan hidupnya, dari kecil hingga menjadi Menteri Keuangan (bendahara negara) Mesir diasumsikan merupakan modal intelektual untuk penyiapan pendidikan masa depan. Kompetensi dan keterampilan takwil mimpi (dan hikmah) yang dimiliki Yusuf jelas merupakan isyarat pentingnya membaca masa depan, mengantisipasi disrupsi akibat kemajuan sains dan teknologi, dan mengelola perubahan agar tidak kehilangan peluang dan keuntungan untuk meraih kemajuan di masa depan.
Pendidikan Berbasis Keterampilan Abad 21
Kemajuan Iptek, khususnya ICT dan robot cerdas menggantikan dan mendegradasi peran manusia. Internet of Thing (IoT), munculnya big data, percetakan 3D, Articifial Intellegence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot, dan mesin pintar membuat hidup manusia kurang bermakna. Society 5.0 menawarkan masyarakat berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. IR 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegent), sedangkan society 5.0 memfokuskan pada diri manusianya. Konsep society 5.0 menjadi inovasi baru. Society 5.0 adalah era di mana semua teknologi menjadi bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi, tetapi juga harus dimanfaatkan untuk melayani dan menjalani kehidupan.
Keterampilan abad 21 meliputi: (1) life and career skills, (2) learning and innovation skills, dan (3) Information media and technology skills. Ketiga keterampilan tersebut dirangkum dalam sebuah skema yang disebut pelangi keterampilan pengetahuan abad 21 atau 21st century knowledge-skills rainbow (Trilling dan Fadel, 2009). Skema tersebut diadaptasi oleh organisasi nirlaba P21 yang mengembangkan kerangka kerja (framework) pendidikan abad 21 ke seluruh dunia melalui situs www.p21.org yang berbasis di Tuscon, Amerika Serikat.
P21 (Partnership for 21st Century Learning) mengembangkan framework pembelajaran di abad 21 yang menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan di bidang teknologi, media dan informasi, keterampilan pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir. Framework ini juga menjelaskan keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai agar siswa sukses dalam kehidupan dan pekerjaannya.
Keterampilan belajar dan inovasi meliputi empat keterampilan utama (4Cs), yaitu: berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi. Berpikir kritis dan solusi problem berarti terampil berpikir argumentatif, kritis-logis dan memecahkan masalah dengan menawarkan solusi yang tepat. Komunikasi berarti terampil berkomunikasi, berbagi ide, pemikiran, informasi, gagasan, kepada komunikan, baik lisan maupun tulisan. Kolaborasi berarti mampu dan terampil bekerjasama secara efektif dengan berbagai pihak, termasuk dalam pembelajaran. Kreativitas berarti mampu berpikir kreatif dengan inovasi baru, mengelaborasi ide, menunjukkan orisinalitas, terbuka terhadap berbagai perspektif, dan berkontribusi dalam diskusi dan kerjasama.
Pembelajaran abad 21 juga mengharuskan penguasaan pengetahuan dan kemampuan literasi digital, literasi informasi, literasi media, dan teknologi informasi dan komunikasi. Penguasaan literasi teknologi informasi dan komunikasi dimanifestasikan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitas sehari-hari, dan untuk menyampaikan beragam gagasan, aktivitas kolaborasi, dan interaksi dengan berbagai pihak.
Literasi teknologi informasi dan komunikasi yang penting dikembangkan meliputi: (1) Literasi informasi: pembelajaran didesain agar peserta didik mampu mengakses, mengevaluasi, menggunakan, dan mengatur informasi yang dapat diselaraskan dengan topik pembelajaran; (2) Literasi media: pembelajaran didesain untuk membantu peserta didik mampu memilih dan mengem-bangkan media yang digunakan untuk mendukung ketercapaian kompetensi komunikasi bahasa mereka; dan (3) Literasi ICT: pembelajaran didesain agar dapat membantu peserta didik untuk menggunakan teknologi komunikasi yang relevan dalam proses pembelajaran, seperti: youtube, video, perangkat lunak pengenalan bahasa (speech recognition software), dan lain sebagainya.
Adapun keterampilan hidup dan berkarir yang perlu dikembangkan dalam pendidikan abad 21 meliputi: (1) fleksibilitas dan adaptabilitas, (2) inisiatif dan mengatur diri sendiri, (3) interaksi sosial dan antarbudaya, (4) produktivitas dan akuntabilitas, dan (5) kepemimpinan dan tanggungjawab. Pendidikan dan pembelajaran abad 21 didesain untuk menyiapkan peserta didik yang sukses berkarir, menjalani kehidupan, dan siap menghadapi tantangan dengan kompetensi dan keterampilan yang dikuasainya.
Nilai-nilai Edukasi dari Kisah Yusuf AS
Apa relevansi pendidikan berbasis keterampilan abad 21 tersebut dengan kisah Nabi Yusuf AS dalam konteks pendidikan masa depan? Jika dibaca dan dianalisis dengan pendekatan intertekstual, kisah Nabi Yusuf AS memang sarat nilai edukasi dan inspirasi untuk berpikir futuristik: mendesain pendidikan masa depan.
Sesuai dengan namanya, Yusuf –yang berasal dari Bahasa Arab—berarti kesedihan, karena banyaknya ujian dan cobaan selama hidupnya, seperti ujian kedengkian dari saudara-saudaranya, pencelakaan dirinya dengan dimasukkan ke dalam sumur, dijual sebagai budak dengan harga murah, ujian asmara dan percintaan dengan istri al-‘Aziz, penguasa Mesir saat itu, tuduhan selingkuh, pemenjaraan dirinya, dan ujian kedudukan (jabatan) politik di Mesir.
Sepanjang sejarahnya, pendidikan selalu dihadapkan kepada berbagai persoalan, baik terkait dengan institusi, kurikulum, proses, dan sarana prasaranya maupun terkait dengan pendidik, peserta didik, dan tenaga kependidikannya. Profil Yusuf dalam Alquran dihadirkan untuk menjadi teladan bagaimana melalui tarbiyah Ilahiyyah Yusuf bisa menyelesaikan persoalannya dan melakukan perubahan from zero to hero, dari tercampakkan di dasar sumur (zero) kemudian bangkit dan menjadi menteri pahlawan (hero) dan idola rakyatnya. Artinya, pendidikan masa depan harus bervisi menyiapkan lulusan dari zero menjadi hero.
Dalam Heroes, Values, and Tancending Time (1998) Tony R. Shancez berpendapat bahwa spirit dan nilai-nilai kepahlawanan (spirit and values of heroism) itu sangat penting dikembangkan dalam proses edukasi. Nilai-nilai kepahlawanan, seperti: integritas, religiositas, keberanian, ketekunan, kejuangan, kerelaan berkorban dan mengambil risiko demi kepentingan dan kemaslahatan orang lain, altruisme, loyalitas, dedikasi tanpa pamrih, harus menjadi bagian integral proses edukasi nilai. “Sungguh ada beberapa tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya (berpikir kritis dan reflektif).” (QS Yusuf/12: 7)
Kisah Yusuf dimulai dengan mimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; semuanya bersujud kepadanya (QS Yusuf/12: 4). Mimpinya (dream) itu isyarat kenabian sekaligus masa depan yang mencerahkan bagi keluarga Nabi Ya’qub AS. Kenabian merupakan anugerah Allah yang berpotensi mengundang cemburu dan dengki, sehingga sang ayah, Ya’qub, melarangnya untuk menceritakan mimpinya itu kepada saudara-saudaranya karena mereka akan membuat makar (rencana jahat) untuk membinasakannya (QS Yusuf/12:5). Yusuf diangerahi Allah SWT ilmu “spesial” yaitu ta’bir atau takwil mimpi, kompetensi dan keterampilan membaca dan memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan (QS Yusuf/12:6). Pendidikan masa depan harus menyiapkan kurikulum progresif dan berorientasi futuristik.
Karena “merasa” diperlakukan tidak adil dan Yusuf dianggap lebih disayangi ayahnya, maka saudara-saudara Yusuf merencanakan kejahatan dengan membunuh atau membuang Yusuf ke dasar sumur yang dalam, dengan harapan ayahnya lebih memperhatikan dan mencintai mereka (QS Yusuf/12:9). Persekongkolan dan kejahatan mereka terhadap Yusuf direkayasa sedemikian rupa; Yusuf diberitakan mati karena dimakan srigala ketika mereka asyik bermain dekat hutan. Mereka kemudian “berpura-pura” menangis, sambil menunjukkan “bukti palsu” kepada ayahnya berupa baju yang berlumuran darah palsu pula (QS Yusuf/12: 16-18). Pendidikan masa depan harus menjadi pusat pengembangan kepribadian yang utuh, autentik, penuh integritas, bukan kepalsuan, kedengkian, dan kebohongan.
Menyikapi kepura-puraan dan “bukti palsu” yang dihadirkan, Ya’qub tidak panik dan sabar menghadapi “aksi rekayasa” saudara-saudara Yusuf, karena beliau yakin Yusuf tidak dibunuh. Ya’qub memasrahkan “nasib Yusuf” kepada pertolongan dan perlindungan Allah (QS Yusuf/12:18). Pendidikan masa depan harus mampu mengembangkan segala potensi dan kompetensi, tidak membunuh masa depan peserta didik, sekaligus menjadi spirit kebangkitan dan menginspirasi “anak yang dibuang” atau “anak yang diperbudak” menjadi anak emas, anak hebat dan berprestasi di masa depan.
Ketika sebuah kafilah berhenti dan beristirahat di dekat sumur, lalu mengulurkan timba ke dasar sumur, penimba itu terkejut karena talinya “tersangkut” pada seorang anak, lalu diangkatlah Yusuf dan dibawanya ke Mesir sebagai budak untuk dijual. Sebuah riwayat menyatakan bahwa Yusuf dijual (ditukar) dengan minyak wangi, sutera atau perak seberat badannya; dan ada pula yang menyatakan dijual murah enilai 20 dinar atau beberapa dirham karena sang penjual tidak tertarik hatinya kepada Yusuf (QS Yusuf/12:20). Pendidikan masa depan harus memperlakukan peserta didik secara egaliter, tanpa diskriminasi.
Yusuf beruntung karena dibeli penguasa Mesir dan diperlakukan seperti anak sendiri selama diasuh dan dibesarkan di lingkungan istana. “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: “berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak. Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir) dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi…” (QS Yusuf/12:21) Ayat ini mengisyaratkan bahwa layanan edukatif bagi peserta didik itu harus baik, penuh apresiasi, tidak diskriminatif, meskipun Yusuf bukan anak kandung penguasa Mesir.
Pendidikan masa depan harus dapat menanamkan nilai optimisme bahwa dengan layanan terbaik peserta didik kelak bermanfaat, berkontribusi positif bagi masyarakat. Selain itu, partisipasi, perhatian, kasih sayang, dan dukungan moral dari orang tua, baik orang tua biologis maupun sosiologis, sangat penting dalam mengantarkan kesuksesan pendidikan peserta didik di masa depan.
Pendidikan masa depan juga tidak boleh menafikan peran Allah dalam memudahkan proses edukasi, pengajaran ilmu, keterampilan, kepribadian, dan sebagainya pada diri peserta didik. “Tatkala Yusuf cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah, Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf/12:22). Selain berorientasi humanisasi, pendidikan masa depan harus berbasis teologi atau akidah tauhid yang benar, sehingga tidak mengalami sekularisasi, komersialisasi, dan liberalisasi. Allah itu Maha Hadir dan Maha Pemurah dalam proses pendidikan masa depan. Karena itu, menjadi tradisi kebaikan bahwa belajar harus dimulai dengan berdoa, minimal: “Rabbi zidni ‘ilma warzuqni fahma” (Ya Tuhanku, tingkatlah ilmuku dan anugerahilah aku pemahaman yang sempurna).
Dengan kata lain, pendidikan dan pembelajaran masa depan itu harus dalam kerangka iqra’ bismi Rabbika al-ladzi khalaqa (QS al-‘Alaq/96:1). Menyebut nama Allah, berdoa dan memohon kepada-Nya agar diberi kemudahan dan pemahaman (kognisi, afeksi, psikomotorik, karakter, dan kepribadian; atau hikmah dan ilmu, termasuk keterampilan) dalam pendidikan dan pembelajaran merupakan manifestasi iman, sekaligus merupakan integrasi sumber ilmu: Allah, ayat-ayat Qur’aniyyah, ayat-ayat kauniyyah, dan ayat-ayat insaniyyah. Jadi, pendidikan masa depan harus berorientasi ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman secara holistik-integratif. Bersambung…
Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 6/XIX Dzulqo’dah 1442 H./Juni 2021 M. (mf)