Pendidikan HAM dan Penegakan Keadilan

Pendidikan HAM dan Penegakan Keadilan

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia

Salah satu nilai hak asasi manusia adalah hak hidup. Melakukan tindak kekerasan, aksi teror, menyakiti, menyiksa, dan membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara hukum dan agama adalah sebuah pelanggaran HAM (Hak-hak Asasi Manusia). Pembantaian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh pihak tertentu beberapa waktu lalu diduga kuat merupakan pelanggaran HAM berat, karena para korban tewas tidak (atau belum) terbukti bersalah secara hukum dan tidak pernah diputuskan bersalah melalui proses peradilan.

Menurut Refli Harun, enam korban tewas tersebut di tangan aparat yang dibiayai negara. Mereka bukan pelaku kriminal. Mereka bukan teroris yang pantas untuk ditembak. Dengan koruptor Juliari Batubara saja kita masih berdebat soal pantas tidaknya dia dihukum mati, apalagi sama anggota FPI yang tidak melakukan kejahatan apapun.

Terlepas dari siapa otak dan master mind di balik pembunuhan 6 anggota FPI (yang diduga kuat targetnya adalah pembunuhan berencana terhadap HRS), perbuatan membunuh tanpa hak (alasan yang dapat dibenarkan) merupakan pelanggaran HAM. Alquran menarasikan aksi pembunuhan seorang manusia itu ibarat membunuh seluruh umat manusia. Hal ini menunjukkan betapa hak hidup manusia itu sangat mahal yang harus dijaga, dibela, dan dilindungi dari segala bentuk pelanggaran. Nyawa manusia itu tidak ada cadangannya, dan yang berhak mencabutnya hanyalah Allah SWT.

 “Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” (QS al-Maidah [5]: 32)

 Mengapa pendidikan HAM itu penting dipahami dan diamalkan, terutama oleh para penegak hukum? Bagaimana Islam mengedukasi umatnya untuk menyadari pentingnya nilai-nilai HAM? Pendidikan HAM seperti apakah yang perlu diberikan kepada pelanggar HAM, terutama aparat penegak hukum dan pemimpin suatu negara? Penting digarisbawahi bahwa tujuan dibentuk dan didirikannya NKRI adalah untuk melindungi tanah tumpah darah Indonesia. Artinya, warga bangsa ini berhak mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan yang adil di depan hukum. Apakah penegakan keadilan hukum merupakan prasyarat penegakan HAM?

Esensi Pendidikan

Esensi pendidikan adalah pemanusiaan manusia (humanisasi) dalam arti luas. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga sekaligus penyadaran akan pentingnya eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan bukan semata-mata proses transformasi kognisi, afeksi, dan psikomotorik pada diri peserta didik. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses transformasi kepribadian secara utuh dan menyeluruh sebagai manusia. Pendidikan mengantarkan manusia memahami jati dirinya sebagai manusia, memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai makhluk individual maupun sosial.

Sebagai sistem integratif, pendidikan  adalah proses pembudayaan, dalam arti, humanisasi sebagai makhluk berbudaya, berkesadaran membangun kebudayaan dan peradaban, yaitu peradaban iman, ilmu, amal shalih, dan akhlak mulia. Pendidikan mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan pada diri peserta didik, sehingga mampu mengemban tugas hidupnya sebagai hamba Allah  dan khalifah-Nya di muka bumi (khalifatullah fi al-ardh). Buah dari proses pendidikan adalah perubahan sikap, pola pikir (nalar), dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan (agama) dan kemanusiaan.

Proses pendidikan dinilai gagal, apabila hati nurani manusia mati atau tidak berfungsi dengan baik, misalnya hatinya berpenyakit dengki dan dendam, sehingga melahirkan sikap permusuhan dan aksi pembunuhan terhadap orang lain dengan menyalahgunakan kekuasaan. Pendidikan dianggap tidak fungsional, apabila akal dan kecerdasan manusia tidak menambah kewarasan dalam berpikir dan bertindak. Ketika akal sebagai anugerah Allah paling bernilai tidak difungsikan untuk berpikir kritis,  kreatif, dan inovatif dalam membangun peradaban, tetapi akal justeru digunakan untuk “ngakali” (menyiasati) dan menjustifikasi perilaku korupsi dan pelanggaran moralnya, maka proses pendidikan  tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Pendidikan yang ideal itu dapat mengantarkan manusia menjadi dewasa dan bertanggung jawab atas kemanusiaannya, baik dewasa secara intelektual, mental spiritual, sosial, maupun moral. Pendidikan yang efektif itu adalah model pendidikan profetik berbasis keteladanan, yaitu pendidikan yang mampu melahirkan figur-figur teladan sesuai dengan fitrah dan kapasitas kemanusiaannya. Pendidikan profetik itu mengintegrasikan penyucian hati, pencerdasan akal budi, dan peluhuran akhlak. Pendidikan memang harus memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia dengan segenap potensi dan perbedaan individualnya. Pendidikan menyadarkan  manusia akan peran dan fungsi kemanusiaannya dalam hidup ini, dengan memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai manusia.

Pendidikan HAM

Puncak pendidikan profetik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah pendidikan HAM (Hak-hak Asasi Manusia). Sebelum wafat, saat orasi haji Wada’, Nabi SAW mengedukasi umat Islam tentang pentingnya penanaman dan penyadaran nilai-nilai hak asasi manusia. Tidak kurang dari empat kali berorasi, ketika di Arafah, Mina, dan Multazam (dekat Ka’bah), Nabi SAW mengedukasi umatnya untuk menyadari dan memahami nilai-nilai HAM.

Salah satu orasi berorientasi pendidikan HAM yang disampaikan oleh SAW adalah: “Sesungguhnya darah, kehormatan, dan harta kalian itu suci (haram dinodai), di hari yang suci ini dan di tempat yang suci ini. Tidak ada supremasi orang Arab atas non-Arab (dan sebaliknya) dan juga orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya" (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut sungguh sarat dengan nilai-nilai substansial HAM. Salah satunya adalah hak hidup. Manusia tidak boleh menumpahkan darah orang lain, menyakiti, melukai, melakukan kekerasan, teror, memerangi, membunuh, dan sebagainya kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh agama. Pelanggaran terhadap hak hidup berarti pelanggaran HAM, penistaan nilai kemanusiaan. Nyawa dan hak manusia harus dilindungi, bukan malah dilanggar dan dihabisi atas nama arogansi dan tirani kekuasaan. Oleh karena itu, pemberlakukan hukum qishash dalam Islam harus dipahami dalam konteks menjaga dan melindungi kesucian hak hidup manusia, sehingga siapapun tidak boleh semena-mena merampas hak hidup orang lain.

Orasi dan edukasi HAM Nabi SAW tersebut juga sarat dengan nilai kesamaan dan keadilan. Warna kulit, ras, suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama boleh berbeda-beda, tetapi diskriminasi dalam penegakan hukum merupakan pelanggaran HAM. Keadilan hukum harus ditegakkan sebagai bagian dari penghormatan dan pengamalan nilai-nilai HAM. Hukum tidak boleh ditafsiri dan dijalankan sesuai dengan selera penguasa atau hukum “diperalat” hanya mengabdi dan memuaskan nafsu pemegang kekuasaan.

Pendidikan nilai HAM yang diteladankan Nabi SAW berorientasi kepada pengembangan kesadaran dan tanggung jawab moral kemanusiaan akan pentingnya menunaikan kewajiban, baik kepada Allah, sesama, maupun kepada makhluk lainnya dan menikmati hak-hak asasi secara proporsional. Kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab moral itu dapat diaktualisasikan apabila dalam diri setiap warga bangsa tertanam makna dan tujuan hidup yang benar seperti diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan kata lain, pendidikan HAM  harus berbasis nilai-nilai religius dan keteladanan profetik (uswah hasanah).

Pendidikan nilai HAM yang disampaikan oleh Nabi SAW saat haji Wada’ bukan semata-mata retorika dan wacana belaka, tanpa pembuktian dan implementasi nyata. Selama menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan, Nabi SAW bukan hanya mengedukasi warga Madinah yang multietnis, agama, ras, dan asal-usul dengan nilai-nilai persamaan dan kesamaan di depan hukum, tetapi juga menegakkan keadilan. Hukum tidak memihak kepada yang kuat dan berkuasa, tetapi berlaku bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Karena itu, sekadar contaoh, dalam konteks mewujudkan pemerintahan dan sistem sosial yang bersih dari korupsi dan pelanggaran HAM, Nabi SAW pernah menegaskan: “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendirilah yang akan memotong tangannya.” (HR al-Bukhari). Jadi, pendidikan nilai HAM mengharuskan adanya ketegasan dan keteladanan dari pemimpin, selain kontrol dan kritik dari masyarakat luas.

Pendidikan HAM yang dicita-citakan Nabi SAW bertujuan mewujudkan masyarakat dan bangsa yang damai, tertib hukum, dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, tanpa diskriminasi dan arogansi kekuasaan. Kisah umat terdahulu yang banyak diceritakan al-Qur’an, antara lain kisah Namrud dan Fir’aun, mengandung pesan pentingnya pendidikan HAM agar penguasa tidak berlaku tiran, keji, dan bengis terhadap rakyat. Bayangkan, kebijakan Fir’aun membunuhi bayi lelaki –karena dianggap akan dapat mengancam kekuasaannya— merupakan kebijakan panik dan pelanggaran HAM berat. Apa salahnya bayi-bayi lelaki dibunuh?

Demikian pula, kasus korban yang menimpa Nabi Ibrahim AS ketika harus dihukum bakar oleh diktator  Namrud, lantaran kalah berargumentasi dalam berteologi. Tuhan Namrud (patung bisu) sama sekali tidak membantu dan membela yang menuhankannya (Namrud dan pengikutnya). Dengan kata lain, pendidikan HAM mutlak diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif betapa pentingya makna kehidupan, menjaga dan mensyukuri anugerah Allah SWT terhadap kemanusiaan. Hanya saja, pendidikan HAM akan diabaikan, apabila penguasa seperti Namrud, Fir’aun dan mitra koalisinya (Qarun, Haman, Bal’am, tukang sihir), Abu Jahal, Abu Lahab, dan yang sehaluan dengannya sudah mati hati nuraninya dan tidak peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh sebab itu, pendidikan HAM penting diimplementasikan pada semua level pendidikan melalui integrasi nilai-nilai HAM dalam kegiatan pembelajaran semua mata pelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Implementasi pendidikan HAM dapat dimulai dengan keteladanan pendidik dalam memperlakukan peserta didiknya secara manusiawi, dengan memahami keragaman psikologi perkembangannya, mengakomodasi dan memfasilitasi potensi dan keunikan masing-masing peserta didik, menunjukkan kearifan personal dalam menyikapi perbedaan individual, memberi layanan edukasi dan evaluasi secara objektif dan adil.

Penegakan Keadilan

Implementasi pendidikan HAM idealnya tidak hanya menjadi tanggung jawab institusi Pendidikan, khususnya para pendidik. Akan tetapi, masyarakat, media massa, dan media sosial juga berperan penting dalam mewujudkan tegaknya nilai-nilai HAM dalam kehidupan. Pendidikan HAM yang efektif diharapkan menjadi pelestari tegaknya sistem demokrasi, karena pelanggaran HAM tanpa ada proses penindakan dan penegakan keadilan hukum hanyalah akan menyuburkan arogansi kekuasaan tanpa kontrol dan kritik sosial yang berkeseimbangan.

Warga bangsa dan rakyat harus bangkit menyuarakan kebenaran dan keadilan atas kebiadaban dan kezaliman yang dipertontonkan penguasa tiran. Firaun modern dan komplotannya harus dilawan dengan logika kebenaran dan keadilan Musa AS dan Harun AS. Sejarah selalu berulang dengan modus baru tetapi substansinya sama, bahwa kezaliman dan ketidakadilan sosial politik terjadi karena penguasa arogan, jauh dari nilai-nilai ketuhanan (agama) dan kemanusiaan, dan syahwat kekuasaannya tidak terkontrol. Oleh karena itu, kekuatan sipil (rakyat, khususnya para cerdik cendekiawan, sarjana) harus menjadi kekuatan oposisi strategis yang selalu mengkritisi dan mengoreksi kebijakan dan tindakan kekuatan eksekutif. Jika Allah SWT menciptakan alam raya ini dengan hukum keseimbangan (QS. Ar-Rahman [55]:7-9), maka negara dan pemerintahan pun harus dijalankan dengan prinsip neraca keseimbangan dan keadilan.

Apabila pendidikan HAM dipahami dengan baik dan benar, diteladankan oleh para pemimpin bangsa, khususnya aparat penegak hukum, niscaya penegakan keadilan bisa menjadi dambaan semua. Akan tetapi, penegakan keadilan dalam berbagai aspeknya, khususnya keadilan hukum, ekonomi, dan sosial, menjadi masalah serius, ketika kekuasaan politik dikooptasi dan dibajak oleh “kekuatan siluman” yang menghalalkan segala cara. Penegakan keadilan harus menjadi suara dan aspirasi publik dalam melawan dan mengalahkan berbagai bentuk ketidakadilan.

Pendidikan HAM dan penegakan keadilan penting disinergikan dalam proses konsepsi, peneguhan maupun implementasinya pada level institusional dan sosial. Diyakini bahwa transformasi sosial menuju penegakan keadilan itu dapat terjadi apabila hati (niat, sikap batin, agenda) dan akal pikiran (akal potensial dan fungsional) diedukasi agar melek nilai-nilai HAM. Menarik digarisbawahi pendapat Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam sambutan Rakernas Virtual Majelis Dikdasmen, 21 Desember 2020, betapa sudah mati hati nurani pejabat yang di masa pandemi seperti ini melakukan korupsi dana sosial. Berniat jahat untuk korupsi di masa sulit seperti ini saja sudah salah, apalagi benar-benar terbukti korupsi.

Pejabat publik yang korupsi harus dihukum berat, karena jelas melanggar HAM: merampas hak hidup rakyat, merobohkan sendi keadilan sosial, dan menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian, pendidikan HAM dalam Islam menghendaki penyucian hati dan penjernihan akal pikiran, agar memiliki kesadaran teologis dan eskatologis untuk tidak berniat, tidak berpikiran, dan tidak bertindak melakukan pelanggaran HAM, seperti: korupsi dan membunuh jiwa tanpa hak.

Diyakini bahwa kejahatan, kemaksiatan, dan pelanggaran HAM itu bermula dari hati (niat) dan pikiran (agenda, rencana operasi, dan koalisi jahat, ta’awun ala al-itsmi wa al-‘udwan). Oleh karena itu, pendidikan HAM di lembaga pendidikan informal (keluarga), pendidikan formal (pesantren, madrasah, dan sekolah), maupun pendidikan non-formal (masjid, majelis taklim, balai warga, media massa, media sosial, dan pranata sosial lainnya) harus mampu meneguhkan hati dan meluruskan nalar sehat untuk berpikir positif dan berperilaku baik dengan bersikap sami’na wa atha’na kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian, pendidikan HAM dan penegakan keadilan harus diaktualisasikan berbasis hati yang bersih (niat tulus) dan pemikiran sehat dan lurus. Penegakan nilai-nilai keadilan itu berpangkal pada hati dan pikiran yang bersih, dibarengi rasa takut kepada (azab) Allah, jika hati dan pikirannya kotor lalu melahirkan perbuatan koruptif dan sadis membunuh orang lain. Jadi, pendidikan HAM dan penegakan keadilan yang diteladankan Nabi SAW diharapkan menjadi  referensi dan sumber inspirasi untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis, damai, harmoni, adil dan sejahtera serta mendapatkan ampunan dan ridha Allah SWT. Sungguh sangat biadab, apabila  pejabat publik yang digaji oleh rakyat hati nurani mati lalu berniat jahat dan melakukan kejahatan pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan dan korupsi. Sudah saatnya, keadilan ditegakkan seadil-adilnya, misalnya pejabat publik seperti Menteri yang korupsi dihukum mati saja, karena sudah mematikan hak hidup rakyat dan menggelapkan masa depan bangsa.

Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 1/XIX Jumadil Awal 1442 H/Januari 2021 M. (mf)