Pendidikan Berpikir dalam Perspektif Alquran

Pendidikan Berpikir dalam Perspektif Alquran

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menurut Riset dan Evaluasi Bank Dunia (2015) terhadap 150 negara di dunia, kemajuan suatu suatu negara ditentukan oleh banyak faktor. Faktor utamanya adalah  inovasi dan kreativitas (45%), jejaring dan kolaborasi (25%), penguasaan sains dan teknologi (20%), dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah (10%).

Riset tersebut menunjukkan pentingnya pendidikan berpikir, yaitu berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, agar menghasilkan sejumlah inovasi dan kreativitas dalam berbagai bidang, sehingga kualitas hidup, kesejahteraan sosial ekonomi, pengembangan sains dan teknologi, dan kesejahteraan hidup semakin meningkat. Namun demikian, berpikir inovatif dan kreatif sangat dipengaruhi oleh literasi membaca. Semakin tinggi tingkat literasi membaca suatu bangsa, maka semakin inovatif dan kreatif suatu bangsa.

Menurut survei PISA 2000-2018, peringkat Indonesia dalam literasi membaca cenderung menurun. Pada PISA 2015, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 72 negara yang disurvei (OECD, 2016). Pada tiga tahun kemudian,  2018, angka ini menurun lagi menjadi peringkat ke-74 dari 79 negara (OECD, 2019). Penurunan skor yang paling tajam terjadi pada literasi membaca yaitu 26 poin. Skor literasi membaca pada PISA 2018 dan 2000 sama yaitu 371. Hal ini berarti bahwa selama 18 tahun, kompetensi literasi membaca siswa Indonesia cenderug statis atau tidak mengalami perkembangan signifikan.

Kompetensi literasi membaca sejatinya merupakan pesan pertama wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Karena itu, berbasis ayat 1-5 surat al-‘Alaq, umat Islam harus menjadi ummah qari’ah (umat yang leterat dalam membaca). Ketika umat Islam meraih kemajuan peradaban di abad pertengahan, di masa khilafah Abbasiyah, dapat dipastikan bahwa kemajuan (inovasi dan kreativitas) digerakkan oleh etos intelektualisme yang dipacu kompetensi literasi membaca dan kebebasan dalam berpikir.

Permasalahannya adalah mengapa minat, motivasi, dan literasi membaca di kalangan peserta didik kita rendah? Bagaimana meningkatkan literasi membaca melalui pendidikan berpikir menurut petujuk al-Qur’an agar literasi membaca itu menjadi media transformasi sosial kultural menuju masyarakat pembaca dan berperadaban maju?

Pendidikan Berpikir

Dalam pelajaran logika (ilm al-manthiq), seringkali manusia didefinisikan sebagai hayawanun nathiq (makhluk berpikir, bernalar, berbahasa). Secara umum, definisi ini tidak salah, tepat dan relevan, meskipun tidak sepenuhnya benar. Manusia memang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan dianugerahi akal, kompetensi berpikir. Akan tetapi, bukan hanya kemampuan berpikir (berakal) semata, melainkan ada juga potensi lain yang memungkinkannya tumbuh kembang menjadi mukallaf, manusia bertanggung jawab dan siap menerima taklif (tugas dan tanggung jawab) sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.

Menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, manusia dikaruniai oleh Allah SWT empat tingkatan hidayah (petunjuk, guide, peta jalan kehidupan), yaitu hidayah al-Ilham (ilham, insting, naluri), hidayah al-hawass (pancaindera), hidayah al-‘aql (akal, kompetensi berpikir), dan hidayah al-syara’iwa al-adyan (syariat, agama, wahyu) melalui para Nabi dan Rasul. Karena itu, piranti lunak (software) yang dimiliki manusia bukan hanya akal dengan piranti kerasnya (hardware) berupa otak, tetapi juga dianugerahi fithrah (potensi dasar, kecenderungan natural-kemanusiaan), qalb (hati, emosi), dhamir (hati nurani), dan bashirah (ketajaman hati, kecerdasan, keyakinan, dan kemantapan hati dalam beragama) (QS al-Qiyamah [75]:14-15). Dengan kata lain, manusia diciptakan oleh Allah dengan desain kejiwaaan yang sempurna (ahsan taqwim), sehingga memungkinkan menjadi makhluk terdidik sekaligus pendidik, agar hidupnya tidak merugi, baik di dunia maupun di akhirat.

Pendidikan berpikir (tarbiyah ‘aqliyyah, fikriyyah) hanyalah merupakan salah satu aspek atau dimensi pendidikan Islam. Namun demikian, pendidikan berpikir sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup manusia. Dengan pemikirannya, manusia menjadi unggul, mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan membangun peradaban agung. Jika dikomparasikan antara malaikat dan binatang, sesungguhnya manusia merupakan makhluk moderat (tengahan) antara keduanya, meskipun dalam kenyataannya, manusia bisa terperosok dalam jurang kebinatangan, bahkan lebih sesat daripada binatang (QS A’raf [7]:179). Malaikat dianugerahi akal, binatang diberikan syahwat; sedangkan manusia diberikan keduanya: akal dan syahwat.

Oleh karena itu, konsep fitrah dalam al-Qur’an penting dipahami dan dikontekstualisasikan dalam rangka pendidikan berpikir. Sebagian orang tidak tepat dalam memaknai fitrah. Bahkan secara fatal, fitrah kerap diartikan “suci, kesucian”. Hal ini, antara lain dipicu oleh pemahaman dan penerjemahan kurang tepat terhadap hadis Nabi SAW: “Kullu mawludin yuladu ‘ala al-fithrah…” (HR al-Bukhari dan Muslim). Padahal, konteks penggunaan kata fitrah dalam al-Qur’an maupun hadits itu berkaitan dengan desain kejiwaan (nafs) manusia yang sempurna. Pada tahapan perkembangan psikologisnya ketika mencapai kedewasaan, manusia bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil. Fitrah manusia teraktualisasi melalui potensi dan kelengkapan psikologisnya dalam bentuk kemampuan berpikir, berkehendak, merasa, merespon, mempersepsi, mempertimbangkan, membandingkan, menilai, mengambil keputusan, dan berkreasi (mencipta).

Dengan kata lain, fitrah itu adalah segenap potensi psikologis manusia untuk bersikap, berpikir, berbuat, dan berkarya. Oleh karena itu, menurut fitrahnya, manusia itu makhluk bertuhan, meyakini adanya Tuhan, bertauhid, antisyirik. Artinya, ateisme dan komunisme itu bertentangan dengan fitrah manusia. Karena menurut akal sehat, Tuhan itu pasti ada. Karena itu, siapapun yang tidak percaya kepada adanya tuhan (ateis) sejatinya melawan dan mengkhianati fitrahnya sendiri. Demikian pula, komunisme bertentangan dangan fitrah kemanusiaan karena manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam fitrah kebebasan berpikir, berkarya, dan keberbedaan strata sosial ekonomi.

Menurut fitrahnya, manusia itu makhluk sosial, saling memerlukan satu sama lain, menginginkan interaksi dan kolaborasi dengan yang lain. Dalam beberapa hadits, antara lain disebutkan bahwa ada beberapa hal (ada yang menyebut 5 dan ada pula 10) yang termasuk fitrah (menjadi potensi dasar psikologis sekaligus kebutuhan naturalnya untuk dipenuhi), seperti khitan, memotong kuku, mencukup kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong bulu kemaluan (HR Muslim). Hadis seperti ini menunjukkan bahwa mencintai kebersihan, kesehatan, dan keindahan merupakan fitrah kemanusiaan.

Pendidikan berpikir merupakan bagian integral dari tujuan pembumian syariat Islam (maqashid asy-syari’ah). Menjaga, melindungi, merawat, dan mengoptimalkan fungsi akal (hifzh al-‘aql) tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa proses pendidikan yang mengapresiasi dan mengembangkan potensi dan fungsi akal. Pendidikan berpikir dalam perspektif maqashid asy-syari’ah mendorong umat Islam untuk memahami bagaimana akal itu difungsikan; dan bagaimana pula akal itu dijauhkan dari segala hal yang merusaknya. Oleh sebab itu, Islam melarang manusia mengonsumsi minuman keras (miras), narkoba, dan semua yang dapat membahayakan atau merusak fungsi akal. Senafas dengan larangan tersebut, Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengembangkan literasi baca (etos qira’ah), observasi (musyahadah) atau mengamati dengan teliti ayat-ayat Allah yang ada di alam raya, memikirkan dan merenungkan ciptaan-Nya.

Dengan demikian, pendidikan berpikir itu bervisi aktualisasi pemaknaan ayat-ayat Qur’aniyyah dan kauniyyah melalui proses riset, penelitian dan pengembangan ilmu, agar semua kreasi Allah itu bermanfaat dan dioptimalkan kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia. Visi ukhrawi pendidikan berpikir adalah penyelamatan manusia agar terbebas dari siksa neraka, dan hidupnya bahagia karena menempuh jalan surga. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda (kekuasaan, kebesaran, keagungan, kemuliaan) bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka bebaskanlah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Pendidikan berpikir dalam al-Qur’an dikembangkan dengan beragam penalaran logis dan pembuktian empiris, terutama pemikiran yang berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan akhlak. Pendidikan berpikir ilmiah menurut al-Qur’an dibingkai dan diorientasikan kepada pemikiran bertujuan akhir (at-tafkir al-ghai). Esensi pemikiran ini adalah pentingnya pengaitan segala aktivitas manusia di muka bumi dengan tujuan akhir dari penciptaannya oleh Allah SWT, yaitu ibadah. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia sebagai (calon) pemilik kebahagiaan, melainkan supaya mengesakan uluhiyah, rububiyah, asma’ dan sifat-Nya. Jadi, pendidikan berpikir itu tidak bebas nilai atau serba boleh (permisifisme), melainkan berbasis tauhid, berorientasi kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Penalaran dan Argumentasi Logis

Dalam masalah akidah tauhid misalnya, pendidikan berpikir dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan berbagai model penalaran dan argumentasi logis. Misalnya argumentasi tentang keesaan Allah. Dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4, Allah mendidik umat manusia berpikir logis. Keesaan Allah itu dinarasikan dengan penalaran yang sangat logis dan rasional. Karena Maha Esa, maka logislah bahwa Allah itu menjadi sandaran dan sumber ketergantungan semua makhluk. Dia tidak melahirkan (beranak) dan tidak pula dilahirkan (diperanakkan). Artinya, Allah itu mustahil beristri dan beranak pinak. Dengan kata lain, doktrin “tuhan bapak” dan “tuhan anak” itu gugur dan tidak bisa diterima akal sehat.

Oleh karena itu, menjadi sangat tidak logis, jika tuhan itu dilahirkan (sebagai anak). Jika dilahirkan, berarti ada dzat yang mendahuluinya, ayah dan ibunya, minimal ibunya. Semakin tidak keren, jika tuhan mempunyai hari ulang tahun (natal). Dan semakin tidak bisa dinalar secara logis, jika tuhan pernah mati, apalagi matinya karena disalib/dibunuh manusia, lalu bangkit dari kuburnya. Kalau tuhan itu pernah mati, berarti ada yang mematikan. Kalau tuhan itu bangkit dari kematiannya berarti ada yang membangkitkan. Pertanyaannya, logis dan layakkah tuhan seperti itu diimani? Mengapa bukan meyakini Dzat yang Maha Hidup (al-Hayyu) dan Maha Mengurusi sendiri semua makhluk-Nya (al-Qayyum)?

Pendidikan berpikir dalam al-Qur’an mengajak umat manusia berargumentasi logis bahwa memang tidak akan pernah ada seseorang yang setara dengan Dia (QS al-Ikhlas [112]:4); atau tidak akan pernah ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS asy-Syura [42]: 11). Artinya, kalau masih ada sifat atau perbuatan yang menyerupai makhluk, berarti dia bukan Tuhan. Nabi Isa itu dilahirkan ibunya, Maryam, berarti dia menyerupai makhluk lainnya yang juga dilahirkan, misalnya saja sapi, kambing, kerbau dan sebagainya. Isa AS juga pernah menikah dengan Magdalena, berarti menyerupai makhluk lain yang juga kawin. Seandainya tuhan itu menikah, mempunyai istri dan anak, apakah logis tuhan itu beranak pinak? Dengan kata lain, mustahil tuhan itu banyak. Mustahil ada tuhan bapak dan tuhan anak, karena doktrin semacam ini tidak logis, tidak rasional.

Argumentasi logis dibangun berdasarkan fakta empirik yang benar. Misalnya saja, Allah yang Maha Esa itu adalah Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, termasuk manusia, dengan sistem yang supersempurna. Oleh karena itu, pendidikan berpikir logis dalam al-Qur’an membantah paham nihilisme, karena tidak mungkin ketiadaan itu dapat menciptakan sesuatu yang ada (mawjudat). Mustahil bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tanpa ada penciptanya. Dalam Manhajiyyat at-Tafkir al-‘Ilmi fi al-Qur’an al-Karim wa Tathbiqatuhu at-Tarbawiyyah (Metodologi Pemikiran Ilmiah dalam al-Qur’an dan Implementasi Edukasionalnya), Khalil bin Abdullah al-Hadri menyatakan bahwa berpikir kritis dan logis dengan argumentasi faktual sangat diperlukan untuk mengokohkan fondasi akidah, sekaligus meruntuhkan sistem teologi lain yang tidak logis dan tidak rasional.

Semua Nabi dan Rasul dididik oleh Allah berpikir logis dan rasional, terutama dalam mendakwahkan akidah tauhid. Kompetensi berpikir rasional telah banyak didemonstrasikan Nabi Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan Muhammad SAW. Misalnya saja, Nabi Ibrahim AS dididik berpikir kritis, termasuk kepada bapaknya, Azar (boleh jadi dia itu bapak biologis atau sosiologis, tokoh masyarakat saat itu): “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Dengan penuh keberanian mendakwahkan akidah tauhid, Ibrahim menegaskan: “Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-An’am [6]: 74).

Ibrahim kemudian mendemonstrasikan berpikir logis dengan menunjukkan sejumlah asumsi empirik. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata (berasumsi): “Inilah tuhanku.” Tetapi tatkala bintang tenggelam (sirna dari pandangan mata), dia menolak anggapannya semula dengan menyatakan: “Aku tidak suka kepada (tuhan) yang tenggelam. Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit (dengan cahaya yang lebih terang daripada bintang), dia berasumsi: “Inilah tuhanku.” Akan tetapi, setelah bulan itu terbenam, dia kembali menolak anggapannya, dengan menyatakan: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat (karena menuhankan sesuatu yang eksistensinya bisa terbit dan terbenam). Kemudian tatkala dia melihat  matahari terbit, dia kembali berasumsi: “Inilah Tuhanku; ini lebih besar (daripada bintang maupun bulan)”. Maka, tatkala matahari juga terbenam, maka berdasarkan asumsinya yang keliru, Ibrahim kemudian berkesimpulan (membuat inferensi logis) dengan mendeklarasikan: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS al-An’am [6]: 76-78).

Berdasarkan observasi faktual dan penalaran logis, Ibrahim membantah sekaligus menolak mentah-mentah segala bentuk syirik (penyekutuan tuhan) dengan menyatakan: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (fitrah), dan aku bukanlah termasuk orang yang menyekutukan Tuhan.” (QS al-An’am [6]: 79). Berpikir logis dan rasional dengan argumentasi sistem tauhid dalam Islam sejatinya sarat dengan nilai pembebasan (liberasi) manusia dari segala bentuk politeisme, paham syirik klasik maupun modern, termasuk syirik politik.

Selain itu, dengan pemikiran logis ilmiah, Ibrahim juga melancarkan kritik teologis terhadap masyarakat dan tuhan palsu yang diyakini rezim penguasa saat itu. Ketika raja Namrud dan para pembesar politiknya berpesta pora di luar kota Babilonia (di Irak sekarang), Ibrahim secara diam-diam dan penuh keberanian menghancurkan berhala-berhala di pusat pemujaan mereka. Beliau hanya membiarkan atau menyisakan berhala terbesar tetap utuh dan tidak dihancurkan sambil dikalungi kapak yang telah digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala lainnya.

Ketika kembali dari pesta dan mengetahui tuhan-tuhan mereka porak poranda, mereka marah. Muka mereka merah padam, lalu menuduh dan mendakwa Ibrahim sebagai pelaku utamanya. Ibrahim pun "diamankan dan "dimintai keterangan" oleh rezim penguasa. Ibrahim diinterograsi: ”Apakah kamu, hai Ibrahim, pelaku pengrusakan ini? Ibrahim pun menjawab secara taktis dan sangat logis: "(Bukankah) sebenarnya patung yang terbesar itu yang telah melakukannya. (Jangan tanya saya!) Tanyakanlah kepada berhala itu, siapa tahu mereka dapat berbicara atau memberimu  keterangan!" (QS al-Anbiya’ [21]:62-63). Tentu saja, berhala produk (buatan) manusia tidak bisa apa-apa, bergerak saja tidak bisa, apalagi berbicara. Ketika rezim penyembah berhala itu diminta bertanya kepada ”tuhan buatan mereka”, mereka pasti mati kutu, tidak akan pernah bisa berargumentasi karena memang tuhan yang mereka sembah itu tidak bisa apa-apa, tidak bisa mendatangkan manfaat atau madarat.

Rezim penguasa akhirnya tidak berkutik menghadapi logika tauhid Ibrahim yang sangat argumentatif, faktual, dan mustahil didebat. Namun, karena kekejian rezim penguasa yang takut kekuasaannya ditumbangkan, Ibrahim akhirnya ”dihukum paksa” (dikriminalisasi) dengan dihukum bakar hidup-hidup di atas api unggun dan dipertontonkan di hadapan publik dengan tujuan agar Ibrahim dipermalukan sekaligus untuk menakut-nakuti dan memberi ”efek jera” kepada siapapun yang berani melawan rezim. Kisah Ibrahim beradu argumentasi logis tentang akidah tauhid vs syirik ini menarik dimaknai dalam konteks pendidikan berpikir, bahwa "api tirani” rezim penguasa terbukti tidak sedikitpun mampu "membakar jiwa raga” dan pemikiran logis Ibrahim yang berbasis akidah tauhid.

Akhirul kalam, pendidikan berpikir rasional, logis, dan kritis itu merupakan bagian integral dari narasi al-Qur’an yang sangat menarik, terutama dalam menegakkan dan mengokohkan akidah tauhid. Karena itu, semua Nabi dan Rasul itu mendapatkan tugas kenabian dan kerasulan untuk mendakwahkan ajaran tauhid, memerangi kemusyrikan, logika berpikir sesat dalam menuhankan berhala-berhala atau apa saja yang tidak logis dituhankan. Pendidikan berpikir logis dan rasional itu sejatinya merupakan aktualisasi fitrah manusia. Karena memang manusia itu memiliki kompetensi berpikir ilmiah, logis, faktual, kritis, dan kreatif. Pendidikan berpikir logis dalam menegakkan akidah tauhid, mendakwahkan amar makruf nahi munkar secara historis juga ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW, dengan penalaran dan argumentasi logis dan meyakinkan. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat diharapkan mampu mengembangkan model penalaran logis, kritis, kreatif, dan inovatif, dengan aneka pendekatan, seperti pendekatan empirik dan saintifik sekaligus pendekatan integratif: mentadabburi ayat-ayat al-Qur’an dan ayat-ayat semesta.

Sumber: Majalah Tabligh, Shafar 1443/September 2021. (mf)