Pencabulan di Penjara Suci
RM Imam Abdillah
SEMULA saya agak sungkan untuk menulis artikel tentang pencabulan atau kekerasan seksual yang kembali terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan. Mengingat tempat kejadian tersebut cukup dekat dengan lingkungan rumah saya. Secara psikologi, saya tentu tidak ingin nama daerah saya tercemar karena aib yang luar biasa memuakan ini. Tetapi demi suara kebenaran, perasaan sungkan itu saya tanggalkan. Karena peristiwa kekerasan seksual apalagi di lingkungan pendidikan keagamaan jelas tidak bisa dibiarkan.
Peristiwa pencabulan kali ini terjadi di salah satu institusi pendidikan keagamaan di wilayah utara Serang, Provinsi Banten. Santriwati lagi-lagi mejadi korbannya. Sedangkan pelakunya adalah pimpinan pondok pesantren tempat para korban menimba ilmu agama. Kata para korban dituliskan karena berdasarkan laporan jumlah santriwati yang menjadi objek pencabulan mencapai lima orang. Bahkan berdasarkan rilis terbaru sebagaimana diwartakan sejumlah media lokal (23/2), jumlah korban bertambah menjadi puluhan.
Ketahuan tanpa sengaja
Tidak ada satupun di antara para santriwati yang menjadi korban yang berani melaporkan tindakan tersebut. Sampai salah seorang warga sekitar tanpa sengaja mendengar obrolan santriwati itu. Warga yang kebetulan mendengar perbincangan tersebut kemudian bergerak cepat meminta keterangan lebih lanjut dan melaporkannya kepada orang tua masing-masing.
Setelah itu barulah berita tersebut sampai ke pihak berwajib. Jika saja tidak ada orang lain yang membantu membuat laporan tersebut, tentu kejahatan amoral ini akan tersimpan lama dan mungkin saja disenyapkan. Hal itu sudah pasti menyisakan penderitaan mendalam bagi para korban yang mungkin akan bertambah seiring waktu, dan seiring bertambahnya jumlah murid yang belajar di sana.
Adapun kejadian pencabulan itu tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi berulang kali, dan tidak cukup di satu tempat melainkan di berbagai tempat termasuk di hotel. Ini bukan semata pemerkosaan yang dalam beberapa novel populer salah satunya Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman el-Shirazy, hanya diperbuat satu kali sebagai sesuatu yang sifatnya insidentil. Dalam kasus ini, pelaku berkali-kali melakukannya dengan korban yang berganti-ganti.
Tindakan tersebut besar kemungkinan sudah direncanakan, dirancang, dan disusun sedemikian rupa. Para korban didoktrin dengan narasi-narasi yang dibungkus fatwa keagamaan. Terbukti dalam laporan penyidik bahwa motif tindakan tersebut karena pelaku merasa memiliki nafsu yang tinggi, sedangkan modus untuk meringkus korbannya dengan iming-iming dijadikan anak angkat.
Tindakan kekerasan seksual, pencabulan dan hal-hal lain semacamnya adalah kejahatan besar yang tidak boleh ditoleransi. Apa yang telah dilakukan oleh pelaku harus dikecam dan ditindak tegas. Sarana pendidikan keagamaan tidak seharusnya dikotori oleh tindak kekerasan seksual. Mereka adalah para pertiwi yang di tubuhnya mengalir darah pejuang tanah negeri, dan merupakan manifestasi Islam yang rahmatan lil alamin.
Menimba ilmu bukan menimba malu
Para santriwati di sana datang dengan niat untuk menimba ilmu, bukan menimba malu atas aib perbuatan pimpinan yang tidak bermoral. Mereka datang dengan kesadaran untuk menyiapkan diri menjadi generasi emas, bukan menjadi generasi pemuas. Mereka bahkan sukarela mendermakan harta, waktu dan pikiran, bukan dipaksa mendermakan kesucian. Mereka tulus menjadi santriwati yang berbudi pekerti, bukan menjadi simpanan yang tidak punya harga diri.
Tentu timbul banyak pertanyaan di benak masyarakat Indonesia, khususnya dunia pendidikan keagamaan. Apa yang melatarbelakangi peristiwa memilukan ini kembali terulang di lingkungan pendidikan keagamaan? Apakah eksistensi keagamaan harus kembali dicurigai, diintai dan selalu dikawal agar tidak ada gerbong susupan yang hanya mengambil kepentingan pribadi?
Apakah korban betul-betul merasakan trauma karena pemerkosaan ataukah trauma tersebut akan bermuara pada eksistensi keagamaan? Bagaimana dengan pelakunya, apakah pantas diganjar dengan pasal KUHP tindak pidana kekerasan seksual atau pidana terkait perlindungan anak atau pasal berlapis lainnya?
Dari beberapa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan, terutama bila melihat dari pola kejadian, tempat, motif dan bagaimana kejahatan ini dapat terstruktur rapi. Dengan begitu diperlukan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sampai kasus ini terungkap.
Sulit terungkap
Saya berpendapat setidaknya terdapat tiga hal yang membuat berbagai kasus terkait pelanggaran seksual di lingkungan pendidikan keagamaan sulit terungkap. Pertama, pandangan bahwa pendidikan keagamaan merupakan wadah paling efektif untuk membentuk moralitas atau akhlak yang baik. Persepsi ini satu sisi menjadi tantangan bagi para pengajar untuk benar-benar mampu memberikan teladan terbaik kepada para murid.
Para orangtua pun sepakat bahwa pesantren dengan pendidikan keagamaannya mampu membentuk mental dan moralitas yang jauh lebih baik. Setidaknya bila dibandingkan di luar pesantren yang rawan dengan pergaulan bebas, tawuran, dunia malam, obat-obatan, perjudian, dan berbagai lingkungan buruk lainnya yang tidak mampu diawasi oleh orangtua maupun lembaga pendidikan nonpesantren. Tidak berlebihan jika pendidikan keagamaan disebut sebagai 'penjara suci' yang mengisolasi dirinya dari pengaruh lingkungan buruk di luar sana.
Namun di sisi lain, pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan justru memanfaatkan keterisolasian tersebut untuk kepentingan pribadinya semata. Pelaku menutup ruang publik dan menyembunyikan kejahatannya. Ekslusivitas pendidikan keagamaan yang seharusnya diperuntukkan untuk memfilter mereka dari pengaruh pergaulan bebas, justru dijadikan untuk memfilter mereka dari perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan perempuan dan anak.
Moralitas yang didambakan di balik bilik-bilik pendidikan agama tidak boleh dirampas dan dimonopoli hanya untuk orang-orang tertentu yang sulit disentuh. Akhlak mulia yang diperoleh para santri dari serambi-serambi pengajian tidak boleh dimanfaakan untuk membuatnya tidak rasional dan kena mental sehingga membiarkan kejahatan terjadi di depan matanya secara berulang.
Pendidikan keagamaan sebagai pabrikasi moralitas kemanusiaan, produsen para cendikia muda yang memiliki integrasi intelektualitas dan spiritualitas. Bahkan menjadi tempat lahirnya tokoh-tokoh mondial mulai dari Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, atau Gus Dur yang berhasil mengokohkan persatuan dan kesatuan kehidupan beragama dan bernegara.
Kedua, pandangan bahwa pendidikan keagamaan dinilai lebih ekonomis dan menjadi alternatif yang mudah dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Sebetulnya kondisi ini seperti pedang bermata dua yang kedua sisinya dapat berdampak buruk apabila tidak dipahami secara holistik. Pelaku tindak kekerasan seksual rawan terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan yang tidak memungut biaya dari peserta didiknya. Kalaupun ada iuran tidak ada sanksi ataupun denda keterlambatan, sebagaimana yang diterapkan di beberapa lembaga pendidikin unggulan.
Namun bukan berarti mendiskreditkan pengabdian dan ketulusan para tokoh keagamaan yang memang banyak membuka ruang-ruang kajian keagamaan secara cuma-cuma. Saya ingin menelisik lebih jauh bagaimana animo masyarakat Indonesia yang dominan menilai bahwa pendidikan keagamaan itu murah meriah, tidak pandang siapa, dan jauh dari kesan mewah.
Ketiga, pendidikan keagamaan cenderung menerapkan prinsip dan asas kekeluargaan di dalam menjalankan fungsi pendidikannya. Tampaknya budaya kekeluargaan di lingkungan keagamaan bukan hal yang tabu, justu menjadi salah satu maskot dan prototipe yang kian disemarakkan seabgai nilai plus. Tapi ada saja oknum yang lagi-lagi memanfaatkan budaya tersebut sebagai alibi dan modus untuk melakukan tindak kekerasan seksual kepada muridnya.
Seperti kasus yang terjadi terakhir ini, dengan memberikan iming-iming menjadi anak angkat, pimpinan pesantren tega mencabuli sejumlah orang santriwatinya. Apakah menjadi anak angkat seorang pimpinan pesantren begitu prestise dan sangat berharga bagi para santri sehingga terbuai dan kehilangan rasionalitasnya?
Apakah dengan menjadi anak angkat maka para santriwati tersebut langsung mendapatkan ilmu yang dimiliki pimpinan pesantren secara instan? Ataukah ada motif dan latar belakang lain, yang menyebabkan para santri dengan hanya diimingi menjadi anak angkat ia mau melakukan perbuatan maha maksiat? Kekeluargaan dalam pendidikan keagamaan telah salah dimaknai oleh para pelaku kejahatan yang bersembunyi di balik nama besar 'agama'.
Pada titik ini saya ingin mengatakan bahwa pelaku dalam kasus ini sama sekali tidak layak disebut sebagai pimpinan ponpes. Karena pimpinan ponpes ialah seseorang yang mengasuh, melindungi dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para santrinya. Pimpinan ponpes bukanlah seorang yang sedang memelihara para gundik yang menjadi budak seksual yang harus selalu bersedia memenuhi hasrat seksualnya kapanpun dan di manapun ia mau. Semoga kejadian memuakan serupa tidak lagi terulang.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat pada Koran Media Indonesia, Kamis 9 Maret 2023.