Reporter: Moh. Hanifudin Mahfuds
UUM, UINJKT Online – Pemuda Indonesia dan Malaysia perlu membangun kerjasama yang sinergis dalam merespons isu-isu regional (ASEAN). Sebab, peran pemuda sangat penting dalam memamajukan ASEAN ke depan. Demikian kesimpulan dari dialog generasi muda ASEAN antara mahasiswa UIN Jakarta dan Universiti Utara Malaysia (UUM) dengan tema The Role of Young ASEAN Generation in Building ASEAN Future yang berlangsung di Aula College Petronas UUM, Rabu (22/10) lalu.
Asep Muttaqin Abror, delegasi dari peserta Youth Leadership Trip UIN Jakarta, mengungkapkan kini beragam persoalan di ASEAN tak dapat lagi hanya diserahkan kepada para pemimpin negara anggotanya. Pemuda pun perlu terlibat aktif sehingga terjalin kerjasama yang baik dalam memajukan masa depan kedua negara-negara anggota ASEAN.
Lebih lanjut, Asep mengatakan, Indonesia memiliki sejumlah organisasi kepemudaan diantaranya HMI, KAMMI, PMII, dan GMNI. Di samping itu, di UIN Jakarta sendiri, terdapat sejumlah organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Kongres Mahasiswa (KM). organisasi-organisasi tersebut mestinya dapat menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis di ASEAN, sehingga tidak terfokus pada isu-isu lokal semata.
Sementara itu, perwakilan dari UUM Malaysia yang juga mantan ketua Student Representative Council (SRC) Wan, mengungkapan kerjasama kedua negara di tingkat pemuda selama ini telah terjalin malalui para mahasiswa Indonesia yang studi di Malaysia. Di negeri Jiran ini, para mahasiswa internasional termasuk Indonesia diberikan kesempatan untuk terlibat dalam SRC. Bahkan, tahun ini delegasi dari Indonesia ikut terpilih. Pada tingkat itu, pemuda Indonesia dan Malaysia telah melakukan kerjasama.
Hanya saja, iklim politik di Malaysia berbeda dengan di Indonesia. Di sana, mahasiswa tidak diperkenankan terlibat dalam politik praktis. Mahasiswa Malaysia terikat dengan Akta Universiti dan Kolej Universiti tahun 1971 yang melarang mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik. Jika mahasiswa melanggar, lanjut Wan, ia akan dikenai sanksi yang akan mengancam kelancaran studi mahasiwa tersebut. Bahkan, bisa jadi dikeluarkan dari kampus.
Kedua negara memang tidak sama dalam hal iklim politik. Namun, kondisi tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan. Yang menguntungkan, dengan tidak diperkenankannya mahasiswa masuk dalam dunia politik, mereka akan fokus pada tugas pokoknya yaitu belajar. Mereka diperkenankan terlibat dalam politik setelah lulus dari universitas. Sementara di Indonesia, keterbukaan politik memungkinkan peran mahasiswa sehingga mereka dapat melakukan kritik dan advokasi kebijakan pemerintah. Namun, hal ini justru membuai sebagian mahasiswa menjadi melupakan tugas pokoknya menuntut ilmu. []