Pemira 2008, Mayoritas Capres BEM UIN Tolak Senat Mahasiswa
Aula SC, UINJKT Online – Mayoritas calon presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Jakarta menolak dikembalikannya student government ke sistem senat. Mereka menilai student government lebih ideal bagi terwujudnya demokrasi di tingkat mahasiswa. Hanya capres dari Partai Persatuan Mahasiswa (PPM), Robby Amin, yang sedikit mengapresiasi kebijakan Depag dan Rektorat itu. Hal itu terungkap dalam Debat Kandidat Capres dan Cawapres Pemira 2008 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Student Center, Jumat (28/11). Acara tersebut menghadirkan dua panelis, yaitu mantan Presma UIN Jakarta periode 2004-2005, Faisal Anwar, dan Kasubbag Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, Drs Saroni.
Sebagaimana diketahui, setahun silam Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia mengeluarkan SK No Dj. i/253/2007 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Islam (PTAI), yang bunyinya antara lain mengembalikan sistem student government ke senat mahasiswa. Kebijakan tersebut telah berlaku di sejumlah kampus, seperti IAIN Imam Bonjol dan UIN Bandung. Tapi, di UIN Jakarta kebijakan tersebut belum berlaku. Konon, kebijakan tersebut diambil untuk mengembalikan tradisi akademis mahasiswa yang belakangan lebih banyak berorientasi politis.
Tak heran, debat kandidat capres BEM UIN 2008-2009 pun diwarnai dengan penolakan terhadap senat. Capres dari Partai Reformasi Mahasiswa (PARMA), Aditya Prana, misalnya, secara tegas menolak sistem senat mahasiswa. Menurutnya, keberadaan student gvernment masih dibutuhkan sebagai tanda bersemainya demokrasi di kampus pembaharu. ”Carut marutnya pemerintahan mahasiswa tidak dapat dijadikan dalih membubarkan SG. Karenanya, kami bertekad untuk kualitas student government dengan membuat program dan susunan kabinet yang representatif dengan kebutuhan mahasiswa, ” ujar mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini.
Senada dengan Adit, capres dari Partai Boenga Rahmatullah juga menolak senat. “Sedari awal program kami (generasi Boenga) jelas, Pertahankan student government dan tolak senat,” tegasnya dengan nada berapi-api.
Pria yang akrab disapa Pipo ini, mengaku dalam sistem senat mahasiswa, gerak mahasiswa terbatas, dan hanya bergerak dalam lingkup fakultas. ”Kalau ada kebobrokan, bukan sistem student government yang salah, melainkan rezim yang tidak mampu memimpin, yang hanya menjadikan kursi kekuasaan sebagai ”batu loncatan” dalam menggapai karir pengurusnya,” kritiknya terhadap pemerintahan mahasiswa terdahulu.
Kembali ke sistem senat mahasiswa, memang ironis, sebab, lanjut Pipo, kini banyak kampus lain di Jakarta mencontoh student government UIN Jakarta. Mereka mengubah sistem senat ke student government. “Ibarat menjilat ludah sendiri,” tegasnya.
Kandidat lainnya, Imanuddin dari Partai Progressif mengatakan, membubarkan student government dan menggantinya dengan senat mahasiswa sama artinya dengan Kebijakan Diknas era Orde Baru yang mengeluarkan kebijaan NKK/BKK. ”Ini artinya rezim Orba mencoba bangkit kembali dengan membuat diam mahasiswa yang biasa berkoar dan berdemonstrasi membela kepentingan rakyat dan anti KKN dengan berkedok kebijakan senat mahasiswa ini. Sehingga, kehidupan kampus menjadi seperti normal dan seolah-olah diam seperti tidak terjadi apa-apa,” ujarnya.
Selain itu, Udin mengaku pihaknya prihatin dengan banyaknya aktivis mahasiswa UIN Jakarta yang makin hedonis, berpikiran pragmatis, semakin mementingkan kepentingan individu dan kelompok, serta selalu mengambil keuntungan sesaat yang mengorbankan kepentingan yang lain. ”Kita hanya memikirkan diri sendiri, Pemira ini digelar sebagai pembelajaran demokrasi bukan euforia sesaat. Anomali seperti ini yang harus ditinggalkan,” lanjutnya.
Lain halnya dengan Robby Amin yang merupakan Capres Partai Persatuan Mahasiswa (PPM), Ia mengaku sebaiknya kebijakan yang dikeluarkan Departemen Agama dan pimpinan UIN Jakarta tidak menjadi polemik dan harus dijadikan sandaran untuk membangun student government yang transparan dan akomodatif.
Robby menjelaskan, keluarnya SK Depag bukan tanpa alasan. Ia memahami kebijakan tersebut diambil akibat gagalnya sistem student government. ”Jikalau ada kebijakan yang kurang tepat, harus ditanggapi dengan kritikan yang bijak. Terlepas dari benar atau salah, Kita harus memberikan ruang pada rektorat untuk menjelaskan seraya membuktikan bahwa SG ialah sistem terbaik,” jelasnya. [Luthfi Destianto/Nif/Ed]