Pemerintah Harus Dorong Industri Perbankan Syariah
Auditorium, BERITA UIN Online – Pememeritah harus terus mendorong pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Salah satunya dengan mewajibkan BUMN atau instansi pemerintah untuk melakukan penempatan sebagian dananya di bank syariah.
Demikian dikatakan Muhammad Nur Rianto Al Arif saat dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Ekonomi Islam pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Auditorium Harun Nasution, Rabu (16/12/2020). Nur Rianto berorasi dengan judul “Pemisahan, Merger, Akuisi, dan Konversi: Kebijakan Alternatif Terbaik bagi Industri Perbankan Syariah”.
Menurut Rianto, pemerintah saat ini sedang merencanakan untuk menggabungkan tiga bank syariah, anak bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah, menjadi satu bank syariah. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan pemisahan (spin-off) dari unit usaha syariah bank umum konvensional menjadi bank umum syariah.
Dilihat dari kuantitasnya, perkembangannya industri perbankan syariah di Indonesia terbilang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat sampai dengan akahir tahun 2019 telah terdapat 14 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, dan 163 bank perkreditan rakyat syarah (BPRS).
Jika dikaitkan dengan cetak biru perbankan syariah, lanjutnya, salah satu target yang harus dicapai pada akhir tahun 2008 sebesar 5 persen market share insutri perbankan syariah terhadap perbankan nasional. Hal ini menjadikan munculnya istilah “5% trap” pada industry perbankan syariah.
“Target ini baru tercapai tahun 2016 seiring dengan perubahan atau konversi Bank Aceh sepenuhnya menjadi bank umum syariah. Dua tahun kemudian, disusul konversi Bank NTB (2018),” katanya.
Nur Rianto lebih lanjut menjelaskan, para penggitat ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia masih merasakan keterbatasan terkait regulasi yang mengatur perbankan syariah. Hal inilah yang kemudian melahirkan Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Kelahiran UU ini diharapkan dapat semakin mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia. “Pada UU ini ada salah satu pasal yang mengatur kewajiban pemisahan unit usaha syariah pada bank umum konvensional,” ujarnya.
Menurut pria kelahiran Pekanbaru, Riau, 13 Oktober 1981, ini terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kesuksesan anak perusahaan hasil pemisahan. Pertama, ukuran dari perusahaan induknya. Kedua, aspek permodalan. Ketiga, jumlah minimum aset yang diperlukan ketika melakukan proses pemisahan. Kemudian, keempat, kinerja dari anak perusahaan sebelum melakukan pemisahan.
Sementara itu, wacana mengenai merger antarunit usaha syariah muncul guna menyikapi kondisi sebagian unit usaha syariah yang dimiliki oleh bank daerah. Sebagian bank daerah memiliki ukuran yang tidak besar, sehingga apabila dipaksakan untuk melakukan pemisahan akan menjadi kontra produktif, baik bagi bank induknya maupun aak usahanya.
“Oleh karena itu muncul wacana menggabungkan unit usaha syariah tersebut untuk menjadi satu bank umum syariah tersendiri,” katanya.
Meski demikian, menurut Nur Rianto, kondisi tersebut menemui beberapa kesulitan, di antaranya setiap bank induk memiliki core business yang berbeda, sehingga jika dijadikan satu hal itu dapat menyebabkan potensi masalah di masa depan; corporate culture yang berbeda antarbank induk; masalah kedaerahan; masalah pemegang saham dan modal mayoritas; serta siapa yang akan menjadi jangkar apabila bank umum syariah hasil merger mengalami masalah permodalan.
Acara pengukuhan guru besar Muhammad Nur Rianto Al Arif dihadiri Ketua Senat Universitas Abuddin Nata, Rektor UIN Jakarta Amany Lubis, Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid, dan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ali Ramdhani. Selain pengukuhan Njur Rianto, dalam waktu bersamaan juga dilakukan pengukuhan terhadap Asep Saepudin Jahar sebagai guru besar Fakultas Syariah dan Hukum. (ns)