Pembiayaan Pesantren melalui Pemerintah Daerah
Dr. Suwendi, M.A.
Dosen UIN Jakarta, Anggota Tim Perumus UU Pesantren Unsur Kemenag RI
Kelahiran UU 18/2019 tentang Pesantren menjadi basis hukum yang sangat kuat, termasuk keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam melakukan pembiayaan pesantren. Jika selama ini Pemda melakukan pembiayaan secara terbatas terhadap pesantren, maka UU 18/2019 dan beberapa regulasi turunannya memberikan justifikasi bahwa Pemda dapat memfasilitasi anggaran untuk pesantren lebih maksimal.
Secara sosiologis, pesantren yang berada di wilayah otoritas Pemda tertentu sesungguhnya adalah institusi pendidikan yang membantu terhadap kualitas warga Pemda itu sendiri. Baik dan buruknya kualitas pesantren memberikan pengaruh terhadap sumber daya dan kualitas masyarakat Pemda yang bersangkutan.
Oleh karenanya, ada banyak pemimpin daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang berkehendak untuk mengafirmasi pesantren melalui anggaran Pemdanya. Lebih-lebih hal tersebut merupakan komitmen atau janji ketika masa kampanye Pilkada sebelumnya, yang harus dibuktikan saat terpilih.
Hingga saat ini, tercatat 12 Pemerintah Provinsi dan 58 Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Pesantren. Bahkan, terakhir Bupati Indramayu, Lucky Hakim, pada 23 Oktober 2025 menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 42 Tahun 2025 tentang Fasilitasi Pesantren.
Perbup ini merupakan tindak lanjut dari Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren. Langkah Bupati Indramayu ini tentu menjadi ikhtiar untuk meningkatkan kapabilitas dan kualitas pesantren dan masyarakat Indramayu secara keseluruhan.
erdasarkan data pada laman emis.kemenag.go.id, jumlah pesantren di Indramayu sebagai 179 lembaga (121 lembaga atau 67,59% pesantren hanya ngaji kitab kuning dan 39 lembaga atau 21,78% pesantren yang juga menyelenggarakan layanan pendidikan formal, seperti madrasah atau sekolah), 7.385 santri (3.681 orang atau 49,84% santri laki-laki dan 3.704 orang 50,15% santri perempuan), dan 1.640 ustad (969 orang atau 59,08% laki-laki dan 671 atau 40,91% perempuan).
Ikhtiar Pemda baik provinsi maupun kabupaten/kota melakukan pembiayaan terhadap pesantren ini dibenarkan dan konstitusional. Terdapat sejumlah regulasi yang menjadi dasar atas kebijakan ini.
Pertama, UU 18/2019 tentang Pesantren. Dalam Pasal 4 ditegaskan bahwa pesantren memiliki tiga fungsi, yakni pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, pendanaan pesantren sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dibiayai dari masyarakat, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dana Abadi Pesantren, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal ini menegaskan bahwa Pemda dibenarkan untuk APBD-nya melakukan pembiayaan terhadap penyelenggaraan pesantren sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena ini di tingkat UU, ketentuannya masih bersifat generik.
Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Ketentuan pendanaan pesantren yang bersumber dari Pemda ditegaskan dalam Pasal 9.
Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa pendanaan penyelenggaraan Pesantren dialokasikan melalui mekanisme hibah untuk membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, Perpres 82/2021 menegaskan bahwa pembiayaan untuk pesantren tidak hanya bersumber dari alokasi anggaran fungsi pendidikan semata, tetapi juga dapat berasal alokasi anggaran fungsi agama untuk menjalankan fungsi dakwah, dan beberapa fungsi lainnya terutama untuk menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat.
