Pembelajaran Outdoor Berbasis Kisah Qur’ani

Pembelajaran Outdoor Berbasis Kisah Qur’ani

Muhbib Abdul Wahab

 

Pembelajaran di luar kelas (outdoor learning) dijalani Musa AS bersama gurunya, Khidir AS, tidak hanya menarik dianalisis, tetapi juga sangat penting dikontekstualisasikan dengan kehidupan kekinian. Kisah Musa berguru kepada Khidir diyakini masih relevan dengan kehidupan modern, terutama terkait dengan model pembelajaran outdoor dan pembentukan karakter dan kepribadian Qur’ani. Kisah dua sosok hebat, pejuang kemanusiaan, tentu sarat dengan edukasi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dalam tulisan sebelumnya, dijelaskan bahwa kisah Musa menyusuri pantai untuk mencari dan menemukan seorang guru (Khidir) yang lebih tinggi ilmunya karena mendapat rahmat dan ilmu laduni dari Allah SWT merupakan kisah yang sarat nilai edukasi dan edukasi nilai. Strategi pembelajaran yang diterapkan Khidir tergolong unik dan inovatif, yaitu belajar di luar kelas, di alam terbuka, menyatu dengan kehidupan nyata dan realitas sosial kultural.

Selain unik dan inovatif, pembelajaran outdoor yang diteladankan Khidir ini, secara edukatif, menginspirasi model pembelajaran dengan pendekatan Visual Auditory Kinesthetic (VAK), sebuah pendekatan pembelajaran yang mendayagunakan multiindera dengan pelibatan penglihatan, pendengaran, dan gerakan. Musa diajak bergerak (kinestetik fisik): berjalan, naik perahu, dan membetulkan tembok yang mau roboh. Musa juga dibiasakan melihat dan mengamati fenomena, peristiwa, dan kasus-kasus yang terjadi  di dekatnya, terutama yang dilakukan oleh gurunya. Setelah menyepakati “kontrak belajar” dengan gurunya, Musa juga belajar menyimak pesan, nasihat, dialog, komunikasi, dan instruksi gurunya, termasuk belajar adab bersikap dan bertanya kepada gurunya.

 

Tiga Peristiwa Multimakna

Menurut Fatihah Mohd, dkk, “An Architecture of Decision Support System for Visual-Auditory-Kinesthetic (VAK) Learning Styles Detection Through Behavioral Modelling,” dalam International Journal of Innovation in Enterprise System, Vol. 3, Issue 02 (July 2019), adalah model behavioral yang dapat membantu guru dalam identifikasi kemampuan peserta didik dengan keanekaragaman gaya belajar mereka sehingga dapat menghadirkan efektivitas belajar dan meningkatkan prestasi belajar secara tidak langsung.

Dengan komitmen belajar yang kuat, melalui model pembelajaran VAK dan pendekatan saintifik, Musa berupaya mengikuti proses pembelajaran  dengan mengamati (observing), menanya (questioning), mengumpulkan informasi atau bereksperimen (gathering information/experimenting), mengasosiasikan dan mengolah informasi (associating), dan mengomunikasikan (communicating) apa yang dialami, dicerna, dan dipahaminya. Bahkan Musa tergolong cukup responsif dan reaktif terhadap “materi pembelajaran” yang diberikan oleh gurunya, sehingga Khidir berulang kali mengingatkan Musa untuk bersabar: menahan diri, tidak menyoal, tidak mengomentari secara subyektif, dan “menyalahkan” sang guru, sebelum semua proses pembelajaran dituntaskan.

Pembelajaran outdoor –ada pula yang menyebut sekolah alam atau outdoor education— tergolong model pembelajaran strategis untuk pembentukan karakter. Dalam Pendidikan Karakter melalui Outdoor Education,  Ida Komalasari dan Erni Susilawati (2018) menyatakan bahwa outdoor education merupakan pendidikan lintas studi yang bertujuan untuk mendidik peserta didik memperoleh pengetahuan dan pemahaman melalui interaksi langsung dengan alam sekitar. Melalui pendidikan ini, peserta didik dilatih untuk menghargai, mencintai, dan menjaga alam. Musa dididik Khidir tidak sekadar memiliki wawasan luas dan bersikap harmoni dengan lingkungan alam, tetapi juga dibiasakan untuk dapat memetik nilai-nilai karakter dan pesan moral dari tiga kasus dan peristiwa yang dialaminya selama berinteraksi dengannya di alam terbuka.

Peristiwa pertama, penenggelaman perahu oleh Khidir dengan cara dilubangi, ternyata direspon Musa secara reaktif. Musa memprotes gurunya: “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah  berbuat sesuatu kesalahan yang besar?” (QS al-Kahfi [18]: 71) Khidir tidak menanggapi protes dan sikap “menyalakan” yang dilakukan Musa karena memang dalam kontrak belajar sudah disepakati bahwa murid yang baik itu tidak boleh protes atau menyoal tindakan guru. Musa tidak sabar menunggu penjelasan dan takwil makna di balik peristiwa dari gurunya. Akibat protes ini, Musa diperingatkan gurunya: “Bukankah sudah kukatakan bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku.” (QS al-Kahfi [18]: 72).

Peristiwa (events) penenggelaman perahu yang dilakukan Khidir sepintas terlihat seperti tindakan bodoh, ceroboh, dan merugikan orang lain. Musa hanya terfokus pada peristiwa (yang terjadi hanya sekali). Berdasarkan hasil pengamatannya, Musa terlalu cepat mengambil kesimpulan atas tindakan gurunya, sehingga tindakan sang guru dinilai sebagai kesalahan besar. Observasi Musa baru melihat peristiwa yang tampak di permukaan, tidak menyelami kecenderung (trend) yang terjadi berulang-ulang. Musa hanya melihat “daun-daun” di permukaan, tidak sampai memperhatikan dahan, ranting, batang, apalagi akar masalah terpendam dari sebuah pohon besar yang tidak terlihat, berikut lingkungan (konteks) yang mengitarinya.

Menurut penjelasan dan takwil gurunya, perahu yang ditenggelamkan itu adalah milik nelayan miskin yang bekerja di laut, mengandalkan penghidupannya di laut dengan mencari ikan. Perahu itu “dirusak” (dilubangi) untuk ditenggelamkan atau “tiarap sementara” karena di hadapan mereka ada seorang raja zhalim yang akan merampas setiap perahu (QS al-Kahfi [18]:79). Dengan kata lain, tindakan Khidir tersebut merupakan bentuk penyelamatan masa depan nelayan miskin. Keberpihakan Khidir kepada nelayan miskin ini tidak hanya menyelamatkan kehidupan nelayan dan masa depan keluarganya, tetapi juga merupakan bentuk keberpihakan kepada kelompok tertindas oleh rezim yang berlaku sewenang-wenang.

Dalam perspektif manajemen risiko, tindakan Khidir merupakan manifestasi dari implementasi prinsip hukum dan moral “irtikâb akhaff adh-dhararain” (melakukan keputusan dan tindakan dengan mengambil risiko paling ringan, atau paling tidak membahayakan). Dengan prinsip tersebut, Khidir mengajak Musa berpikir strategis berbasis manajemen risiko yang tidak merugikan kaum tertindas. Perahu yang ditenggalamkan sementara oleh Khidir akhirnya tidak jadi dirampas penguasa dzalim. Perahu diselamatkan dengan risiko ringan berupa penambalan lubang perahu yang bocor, dan bisa digunakan kembali untuk melaut, mencari “ikan” kehidupan.

Sementara dalam perspektif penelitian kualitatif, Musa tampak tidak sabar dalam mencermati dan meneliti: mengapa Khidir melakukan tindakan penenggelaman perahu? Mengapa Musa kurang memperhatikan konteks sosial politik yang melingkupi tindakan sang guru? Mengapa Musa terjebak pada fenomena dan peristiwa, tidak berupaya penuh empati menggali dan mengungkap “sebab”, alih-alih sekadar menyalahkan tindakan sebagai “fenomena permukaan”? Jadi, pelajaran moral yang dapat dipetik dari tindakan sang guru adalah bahwa sebelum menghukumi dan menghakimi suatu kasus, kita perlu melihat, mencermati, dan memahami secara utuh dan menyeluruh akar masalah dan konteks sosial politik yang menyertainya, sehingga persepsi atau asumsi yang terbangun dalam pikiran kita tidak serba-negatif.

Selain itu, implementasi manajemen risiko sebenarnya merupakan bagian integral dari berbagai persoalan sehari-hari. Kita sering dihadapkan pada masalah pelik, dilematis, dan sangat rumit untuk dipecahkan. Peristiwa pertama yang didemonstrasikan Khidir tersebut merupakan best practice dalam memecahkan masalah (problem solving) yang berpihak kepada keselamatan dan kemaslahatan masa depan. Dengan manajemen risiko berbasis kemaslahatan, Khidir menitipkan pesan moral bahwa misi keselamatan dan kemaslahatan kemanusiaan harus diperioritaskan daripada kerugian material. Edukasi nilai berbasis kisah ini mengharuskan kita berupaya optimal dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pembentukan kepribadian peserta didik, sehingga ketika dihadapkan kepada masalah dilematis, keberpihakan kemanusiaan menjadi pertimbangan dan komitmen utamanya.

Peristiwa kedua, pembunuhan seorang anak yang diperlihatkan Khidir, sepintas “bertentangan” dengan syari’at dalam pandangan Musa. Oleh karena itu, Musa kembali menyoal dan protes atas tindakan sang guru yang “nyeleneh”. “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih (tidak bersalah), bukan karena dia membunuh orang?” Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (QS. al-Kahfi [18]: 74) Tampaknya Musa semakin “kesal”, marah, dan tidak sabar lagi atas aksi gurunya, sehingga menilai sang guru telah berbuat mungkar. Perspektif syariat yang digunakan Musa tampaknya belum mencapai titik temu dengan perspektif hakikat dan laduni yang digunakan Khidir.

Musa masih terpaku pada peristiwa pembunuhan anak, belum memahami dan menemukan konteks dan makna di balik peristiwa. Dalam asumsinya, anak kecil tentu tidak bersalah, tidak pernah membunuh orang lain, sehingga pembunuhan anak dinilainya “kriminal” atau pidana, biadab, dan mungkar (ditolak dan dimusuhi masyarakat) karena melanggar hukum. Ketika dihadapkan pada peristiwa “dadakan” dan di luar nalar hukum positif-normatif, Musa tergesa-gesa mengambil kesimpulan evaluatif dalam judgment (mungkar), sehingga sang guru kembali mengingatkan dengan peringatan yang lebih tegas dan keras “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat  sabar bersamaku.” (QS al-Kahfi [18]:75).

Kasus pembunuhan tersebut menyimpan rahasia  dan hikmah yang tidak diketahui atau diprediksi oleh Musa. Boleh jadi, Musa juga tersentak dan sangat kaget dengan tindakan “sadis” gurunya yang aneh itu, sehingga tidak sempat melakukan “udar asumsi” atas persepsi subyektif yang sudah terbentuk dalam dirinya. Akan tetapi, setelah diperingatkan, Musa pun menyadari bahwa protes kerasnya melanggar kontrak belajarnya sendiri.

Jika pada protes pertama, Musa menyatakan “janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku,” (QS al-Kahfi [18]:73), maka dalam protes keras keduanya, Musa bersikap ksatria, siap menerima hukuman dari gurunya jika masih menyoal tindakan gurunya. “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah  (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur (pemaafan) kepadaku.” (QS al-Kahfi [18]:76).

Sang guru membeberkan alasan dan hikmah pembunuhan seorang anak tersebut.  Khidir menjelaskan bahwa kedua orang tua anak yang dibunuh itu orang-orang mukmin. Kami khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih kasih sayang (kepada ibu bapaknya). (QS al-Kahfi [18]:80-81). Pertimbangan kemaslahatan dan masa depan kemanusiaan menjadi alasan utama Khidir dalam pembunuhan seorang anak tersebut.

Belajar dari kasus tersebut, syariat dan hakikat tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing mempunyai ranah dan tujuan yang berbeda. Sumber keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Yang pertama (syariat) terkait dengan ilmu yang zhahir (tampak, menggejala, memfenomena dalam kehidupan), berdimensi masa kini dan terikat ruang dan waktu; sedangkan yang kedua (hakikat) tidak tampak, masih berupa “rahasia Ilahi”, sarat hikmah di balik peristiwa, tidak terikat ruang dan waktu, berdimensi masa depan. Andai kasus pembunuhan itu hanya dilihat sebagai peristiwa dari perspektif syari’at saja, niscaya Khidir bisa terancam hukuman pidana. Akan tetapi, niat dan aksi pembunuhannya itu bukan atas dasar kemauannya sendiri (iradah), melainkan berdasarkan “scenario” dan petunjuk Allah. “Dan Bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri.” (QS al-Kahfi [18]:82)

Dengan kata lain, dalam melihat kasus sebuah persoalan, Khidir mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya menggunakan “kacamata” normatif atau syariat semata, tetapi juga harus melibatkan pertimbangan hakikat dan hikmah muta’aliyah, kearifan perenial dan universal, dengan mempertimbangkan mafsadat (kerugian, kerusakan, kemadaratan, kehancauran) dan maslahatnya. Jadi, Khidir mengedukasi kita agar tidak hanya melihat fenomena gunung es (yang tampak di permukaan) sebagai kasus dan peristiwa, melainkan juga harus melihat dan menyelami apa yang ada di balik gunung es hingga ke akar masalahnya.

Peristiwa ketiga, kelaparan dan meminta diberi jamuan, tetapi penduduk suatu negeri enggan memberikannya, meski keduanya telah berjasa membetulkan dan menegakkan dinding rumah yang hampir roboh. “Maka keduanya berjalan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian mereka mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka  Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jika kamu mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk itu”. (QS al-Kahfi [18]:77)

Keletihan dan kelaparan kerap menjadi pembenaran atas tindakan tertentu. Banyak orang mencuri, merampas, merampok, dan melakukan kirminalitas lainnya karena lapar, susah mendapatkan uang, sulit memperoleh akses ekonomi, dan karena hidupnya terancam kematian. Meskipun tidak menilai “buruk” sikap dan tindakan gurunya, Musa tampak menunjukkan kekesalannya atas perlakuan warga kampung yang disinggahinya dalam keadaan letih dan lapar. Warga kampung menolak memberikan jamuan makan dan minum kepada Musa. Oleh karena itu, Musa “mengusulkan” kepada Khidir agar jerih payah penegakan tembok yang hampir roboh itu dimintakan upah dari pemilik rumah sebagai kompensasinya.

Meski tidak protes keras seperti pada peristiwa sebelumnya, usulan Musa tersebut dinilai oleh gurunya “tidak etis”, sehingga dia harus menerima dengan legowo “pemecatan” dirinya sebagai murid. Setelah usulan kompensasi jerih payah tersebut, Khidir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS al-Kahfi [18]:78) Musa tampaknya tidak begitu menyadari bahwa ujian keilmuan terakhir itu terkait dengan ketahanan mental dalam mengerem “gejolak hawa hafsu” akibat kelelahan dan kelaparan.

Peristiwa penegakan tembok yang hampir roboh itu sejatinya tidak dimaksudkan untuk membuat Musa semakin lelah dan lapar, tetapi di balik itu ada tujuan yang lebih mulia dan berorientasi penyelamatan masa depan kemanusiaan. Dinding rumah yang hampir roboh itu adalah milik dua anak yatim di kota itu; dan di bawahnya (dalam hal ini Musa tidak mengetahui) terhadap harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah dan ibunya itu orang yang shaleh. Tuhanmu (Musa) menghendaki agar mereka  mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. (QS al-Kahfi [18]: 82)

Dalam kasus ini, Khidir juga memperlihatkan keberpihakan dan advokasi terhadap masa depan dua anak yatim. Dua anak ini harus diselamatkan masa depannya dengan edukasi yang benar, sehingga dapat mewarisi dan meneruskan keshalehan kedua orang tuanya. Namun, Musa tidak sabar menunggu penjelasan gurunya terkait hikmah dan rencana Tuhan terhadap kedua anak itu. Pembetulan tembok atau dinding itu menjadi sinyal kuat bahwa bangunan rumah tangga keshalehan itu harus dijaga dan dipertahankan, meskipun di tengah keletihan dan kelaparan. Penyelamatan dan pewarisan nilai keshalehan melalui penyampaian hak harta benda sebagai rahmat dari Allah kepada anak yatim yang berhak menerimanya harus diperioritaskan.

 

Pesan Moral Kemanusiaan

Tiga peristiwa multimakna tersebut sejatinya merupakan bentuk edukasi pesan moral pesan keilmuan dan kemanusiaan universal yang sangat penting dalam kehidupan. Pertama, ilmu Allah yang diberikan kepada Khidir sungguh tidak terbatas, mendahului (sudah diketahui lebih dahulu) peristiwanya yang akan terjadi. Ilmu Allah itu meliputi segala hal yang tidak diketahui manusia, yang terjadi di masa lampau, dan akan terjadi di masa depan, yang gaib maupun yang kasat mata, termasuk yang dalam dada (terbersit dalam hati dan pikiran) manusia. Jika disadari dan diyakini kebenarannya, ilmu Allah itu pasti bermanfaat bagi kemanusiaan; dan ilmu laduni yang penuh hikmah itu hanya diberikan kepada hamba-Nya yang dipilih dan diberi rahmat oleh-Nya.

Kedua, pembelajaran outdoor Khidir lebih menghendaki ketuntasan proses, daripada sikap kritis yang cenderung menyalahkan, menghukumi, dan menghakimi, bahkan tidak menyelesaikan persoalan. Interaksi dialogis dalam proses pembelajaran sangat penting; namun menomorsatukan akhlak dan adab dalam berkomunikasi itu lebih utama. Musa pada akhirnya menyadari bahwa adab itu memang di atas ilmu; dengan sikap ksatria, dia rela dan legowo “diberhentikan” sebagai murid setelah tiga kali melanggar kontrak belajar.

Ketiga, pembelajaran outdoor Khidir mengedukasi Musa dan kita semua untuk membiasakan berpikir strategis, komprehensif, dan mendalam; tidak terpaku pada kasus (akibat), peristiwa, atau fenomena yang tampak di permukaan seperti gunung es, melainkan kita harus berpikir untuk dapat menemukan sebab dan akar permasalahan, selainkan menghubungkannya dengan konteks sosial politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya.   Selain berpikir strategis, Musa juga diajak melakukan penalaran induktif dengan melihat dan mencermati fenomena atau situasi spesifik sebagai peritiwa yang tidak berdiri sendiri, melainkan secara sistemik terkait dengan hal-hal ini, lalu menarik simpulan secara keseluruhan, untuk dapat menemukan ilmu baru dan pelajaran kemanusiaan.

Keempat, pembelajaran outdoor Khidir mengedukasi Musa untuk belajar bersabar, tidak egoistis, dan tidak bersikap takabur (sombong). Etika pembelajaran ini sangat penting, karena manusia pada umumnya cenderung tidak mau bersusah payah dalam menemukan kebenaran secara holistik integratif melalui proses-proses yang terkadang memakan waktu lama dan melelahkan. Pembelajaran outdoor mendekatkan Musa kepada “perilaku dan adab alam” yang tenang, berjalan mengikuti takdirnya, dan berlangsung secara sistematis: tertib, runut, dan konsisten.

Kelima, di atas semua itu, pembelajaran outdoor Khidir sarat dengan edukasi nilai-nilai kemanusiaan universal, terutama penyelamatan kemanusiaan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan dan keterpenjaraan hidup, sehingga manusia memiliki masa depan yang cerah dan mencerahkan. Pertimbangan kemaslahatan dan masa depan kemanusiaan universal penting dijadikan prinsip utama dalam pembelajaran humanis. Selain itu, pembelajaran outdoor itu harus bervisi humanis dan futurologis: menatap masa depan kemanusiaan dengan penuh optimistik. Relasi guru-murid (Khidir – Musa) harus mencerminkan kemuliaan akhlak, keluhuran budi pekerti, dan supremasi adab di atas ilmu. Wallahu a’lam bi ash-shawab! (zm)

 

 

Penulis adalah Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah. Artikelnya dimuat Majalah Tabligh Edisi No. 7/XX.