Pembelajaran Out Door Berbasis Kisah (1)
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salah satu seni komunikasi yang digunakan Alquran adalah seni narasi “fiksi” (fann qashashi). Menurut Wayne C. Booth dalam bukunya, The Rhetoric of Fiction, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Balaghah al-Fann al-Qashashi, narasi kisah itu dapat membangkitkan imajinasi dan motivasi untuk menyelami dan memetik nilai dari peristiwa, fenomena, tokoh dan konteks sosio-historis yang menyertainya.
Menurut Hayat Abdul Aziz Muhammad Niyaz dalam bukunya, at-Tarbiyah bi al-Qishshah fi al-Qur’an al-Karim, setidaknya ada tiga jenis kisah dalam Alquran, yaitu: kisah para Nabi dan Rasul, kisah peristiwa nyata yang dapat disaksikan para sahabat dan terjadi pada masa Nabi SAW, dan kisah gaib (yang tidak bisa disaksikan) seperti: kisah penghuni gua ashhab al-Kahfi, kisah dialog penghuni surga dan neraka, kisah jin pada masa Nabi Sulaiman, dan sebagainya. Semua kisah tersebut bernilai edukasi sekaligus merupakan edukasi nilai.
Jika dipetakan dari proporsi isi kandungan Alquran, kisah-kisah itu mencapai sekitar 35% dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an. Husam al-‘Isawi Ibrahim, dalam artikelnya, Ahsan al-Qashash: Qira’ah Tadabburiyyah fi Surat Yusuf fi Ithar al-Wahdah al-Bina’iyyah li al-Qur’an al-Karim menegaskan bahwa proporsi kisah para Nabi dan Rasul itu mencapai 20% dari volume kandungan Alquran. Yang menarik adalah bahwa Nabi yang paling banyak dikisahkan dalam Alquran adalah Nabi Musa AS. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penyebutan nama Musa (331 kali), terbanyak pertama. Sedangkan tiga nama Nabi terbanyak berikutnya adalah Ibrahim AS (172 kali), Yusuf AS (113 kali), dan Nuh AS (100 kali).
Dari sekian banyak episode tentang Musa AS, kisahnya terkait pengembaraan intelektual untuk berguru kepada hamba Allah yang shaleh dan diberi ilmu laduni (Khidir AS) sangat menarik dijadikan sebagai pelajaran. Mengapa Musa AS diminta berguru kepada Khidir AS, bukankah dia seorang penerima wahyu langsung dari Allah SWT? Ilmu apa yang sejatinya diperoleh Musa dari gurunya yang sudah dari awal “memvonis” bahwa Musa tidak akan bisa sabar belajar bersamanya? Meski kerap dibuat “jengkel” karena dikerjai gurunya dan diajak berpikir “out of the box”, Musa tetap menghargai dan bersikap rendah hati di hadapan gurunya dengan menunjukkan komitmennya untuk mematuhi kontrak dan etika belajar.
Sebagai guru hebat (great teacher), Khidir tidak hanya mengedukasi Musa dengan model pendidikan baru, berupa pembelajaran outdoor, menjelajahi pantai dan alam terbuka, tetapi juga –pada akhirnya— menerangkan takwil atas semua “aksi nyentrik”-nya yang selalu diprotes atau ditentang Musa. Oleh karena itu, pembelajaran outdoor menjadi sangat penting dipahami dan dinarasikan dalam konteks kekinian, karena sebagian kisah Nabi juga bermuara kepada takwil (pemaknaan secara isoteris (makna batin, bukan makna zhahir), seperti takwil Nabi Yusuf AS atas mimpi-mimpi yang terbukti dapat mencerdaskan dan mencerahkan raja dan rakyat Mesir pada masa itu.
Konteks, Kontrak, dan Etika Belajar
Musa diperintahkan Allah untuk belajar lagi kepada seorang hamba shalih. Sebagian ulama berbeda pendapat tentang kenabian hamba shalih. Ibn Katsir menguatkan kenabian hamba shalih (Khidir), karena Alquran menarasikan keberhambaan (ubudiyah) yang dinisbahkan kepadanya, sebagaimana keberhambaan Nabi Nuh AS. “Sesungguhnya dia (Nuh) itu adalah hamba (Allah) yang pandai bersyukur.” (QS al-Isra [17]:3). Lebih dari itu, hamba shaleh yang akan menjadi guru Nabi Musa itu dinarasikan Alquran dengan “yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi [18]:65).
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah “Mengapa Musa diperintahkan oleh Allah belajar lagi dan mencari guru yang lebih “alim” daripadanya?” al-Bukhari (dan Muslim) meriwayatkan bahwa pada suatu hari Musa menyampaikan khutbah di hadapan kaumnya, Bani Israel, yang berisi nasehat dan peringatan, terutama peringatan tentang “Ayyam Allah” (nikmat yang telah diberikan Allah dan azab yang bisa diturunkan oleh-Nya kepada mereka apabila bermaksiat). Hati mereka tersentuh oleh ceramahnya yang demikian berkesan sehingga mereka meneteskan air mata. Setelah selesai berceramah, seorang Bani Israel bertanya kepada Musa: “Siapakah orang yang paling berilmu di muka bumi ini?”. Musa sepontan menjawab: “Aku” karena akulah kalimullah” (Nabi yang dianugerahi kelebihan dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT).
Jawaban Musa tersebut dinilai mengandung kesombongan, karena “mengabaikan” atau melupakan penisbahan ilmu kepada Allah al-‘Alim, yang Maha Berilmu, sumber kebenaran (Allah al-Haqq). Allah kemudian memperingatkan dan “memarahi” Musa atas sikap arogansinya itu. Allah lalu menyampaikan wahyu kepadanya bahwa masih ada orang yang lebih alim daripada Musa. Musa kemudian diperintahkann untuk mencari dan menemui hamba-Nya yang shalih dan lebih alim itu di majma’ al-Bahrain (pertemuan dua laut). Musa bertanya: “Di mana Majma’ al-Bahrain itu? Apa tanda-tandanya?” Allah menjelaskan: “Pergi dan jelajahilah pantai dengan membawa bekal makanan, termasuk ikan. Di mana ikan yang engkau bawa itu loncat dan berenang kembali ke laut, maka di situlah tempatnya engkau bertemu dengan hamba-Ku yang shaleh itu.”
Musa pun mematuhi perintah Allah: mencari, menemui, dan berguru kepada hamba-Nya yang shalih (Khidir AS). Musa kemudian mengajak seorang pemuda pendamping (asisten, ada yang menyebut Yusa’) pengembaraan intelektualnya, berjalan menyusuri pantai dengan membawa logistik yang diperlukan, termasuk ikan. Sosok Khidir sendiri sebagai “calon guru” Musa masih kontroversial, apakah dia seorang Nabi atau bukan? Konon, orang shaleh itu Nabi Khidir. Namun, menurut al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, penyebutan Nabi Khidir sebagai orang saleh dalam ayat ini kualitas riwayatnya itu daif.
Mutawalli al-Sya‘rawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang musyrik Mekah yang waktu itu bertanya mengenai tiga hal: Ashabul Kahfi, ruh, dan Zulkarnain, yang hanya diketahui oleh seorang nabi itu tidak langsung dijawab oleh Nabi Muhammad. Beliau harus menunggu beberapa hari sampai merasa gelisah karena wahyu tidak langsung turun.
Padahal penundaan itu membutikan bahwa Nabi Muhammad menceritakan tiga hal itu bukan berdasarkan pengetahuan sendiri, tapi menuggu wahyu dari Allah. Yang namanya nabi itu bukan berarti mengetahui segala hal, begitupun Nabi Musa.
Beliau pada awalnya mengaku paling tahu, lalu diperingatkan oleh Allah atas sikap angkuhnya itu, karena masih ada orang shaleh yang lebih luas ilmunya daripada Nabi Musa. Para ahli kitab pada masa Nabi SAW yang terlalu membanggakan pengetahuannya tentang Taurat itu ditegur melalui kisah ini. “(Ingatlah) ketika Musa berpesan kepada asistennya, ‘Aku tidak akan berhenti hingga tiba ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan bertahun-tahun.’ Tat kala keduanya sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikan mereka, lalu ia mengambil jalannya ke laut menceburkan diri/berenang kembali.” (QS al-Kahfi [18]: 60-61)
Setelah menyusuri pantai dan melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan, Musa merasa lapar, dan meminta asistennya untuk memberikan logistik makanannya agar disantap bersama. Sang asisten pun memberikan bekal itu, namun dia lupa menceritakan bahwa ikan yang dibawanya itu melompot dan berenang kembali ke laut, namun keduanya tidak menyadari hal itu. Menurut salah satu riwayat yang dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, majma’ al-bahrain itu adalah danau at-Timsah dan Danau al-Murrah yang kini menjadi wilayah Mesir atau pertemuan antara Teluk Aqabah dan Suez di Laut Merah. Sementara itu, Ibnu ‘Asyur menduga bahwa majma’ al-bahrain yang dimaksud adalah Buhairah Thabariyah (danau Tiberias) yang berada di Palestina atau Israel (sekarang). Menurut Bani Israel, majma’ al-bahrain disebut juga dengan Bahr al-Jalil.
Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa Ketika sampai batu besar (shakhrah) di majma’ al-bahrain itu, keduanya merasa mengantuk dan lelah. Keduanya tertidur. Merekapun lalai akan ikannya. Lalu ikan yang ada di dalam kampil itu hidup kembali dan menggelepar-gelepar lalu keluar dari kampil itu dengan meloncat ke laut, padahal kampil waktu itu ada di tangan asisten. Kejadian di atas, ikan mati menjadi hidup kembali, merupakan mukjizat bagi Nabi Musa. Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Asisten pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali. Ketika ditanya oleh Musa terkait “raibnya” ikan dalam kampil itu, asisten menjawab bahwa dia lupa menceritakan kepadanya kejadian tersebut terjadi di shakhrah tadi.
Mendengar jawaban tersebut, Nabi Musa merasa gembira seraya berkata: Itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS al-Kahfi [18]: 64). Di batu besar itulah kita akan mendapatkan apa yang menjadi tujuan perjalanan melelahkan ini, yaitu Nabi Khidir. Maka merekapun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung. Menurut Al Baqa'i bahwa firman Allah tersebut menunjukkan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda-tanda, akan tetapi ada jejak mereka. Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (Laut Tengah) yaitu di Dimyat atau Rasyid di Mesir.
Setelah kembali ke tempat batu besar itu, Musa bertemu dengan orang yang dicarinya. Profil guru yang dicarinya itu adalah orang diberi rahmat dan diajarkan ilmu dari sisi Allah SWT (QS al-Kahfi [18]:65) Musa pun “melamar” menjadi murid Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk? (QS al-Kahfi [18]: 66) Khidir mulai menguji mentalitas dan keseriusan Musa untuk mau berguru. Khidir berkata: “Engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS al-Kahfi [18]:67-68)
Khidir menghendaki adanya kontrak dan etika belajar yang dipatuhinya. Musa kemudian menyaakan: “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu (protes) dalam sesuatu urusanpun.” (QS al-Kahfi [18]:69)
Musa berjanji tidak akan memprotes dan tidak akan menentang tindakan gurunya menaati perintahnya selama perintah itu tidak bertentangan perintah Allah. Kontrak belajar yang menjadi komitmen Musa kepada gurunya itu merupakan basis pembelajaran outdoor yang menjadikan etika belajar seperti: sopan, taat, patuh, tidak protes, bersikap rendah hati, dan tidak memaksakan pendapat atau perspektif subjektifnya harus dijalankan.
Oleh karena itu, Khidir mengingatkan Musa agar memegang teguh janji atau kontrak belajarnya. “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS al-Kahfi [18]:70)
Dengan komitmen tersebut, Khidir akhirnya berkenan menerima Musa sebagai muridnya dengan berpesan: "Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku, maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya.” (QS al-Kahfi [18]:70) Karena itu, janganlah engkau menegurku terhadap sesuatu perbuatan itu yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.
Pelajaran Moral
Banyak pelajaran moral yang dapat dipetik dari kisah Musa berguru kepada Khidir, sebelum tiga peristiwa pembelajaran outdoor diberikan kepada Musa. Pertama, kesombongan (takabur) itu bisa terjadi bukan hanya pada manusia biasa, tetapi juga bisa menjadi khilaf termaafkan seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa, ketika dirinya merasa paling berilmu.
Kedua, kesombongan itu bisa menjadi penyebab keengganan manusia belajar lagi, karena sudah mereka hebat dan paling berilmu. Padahal, di atas langit masih ada langit. Di atas orang berilmu masih ada lagi yang lebih tinggi. “Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” (QS Yusuf [12]:76). Tidak sepatutnya, pembelajar yang beradab itu menyombongkan diri dengan ilmu yang sudah dipelajari dan dikuasainya. Sumber dan pemberi ilmu itu adalah Allah al-Haqq (yang Maha Benar) dan al-‘Alim (Maha Berilmu). Sementara ilmu Allah itu maha luas, tak terbatas, tidak terikat oleh ruang dan waktu, menembus batas dimensi masa lalu, masa kini, dan masa depan, bahkan menembus hati manusia.
Ketiga, setelah merasa khilaf atas kesombongan, Musa menyadari kekhilafannya, sehingga diapun menerima peringatan dan teguran Allah untuk mau belajar lagi. Sikap ksatria Musa dan mau menanggung risiko, walau sudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, patut diapresiasi, karena kerapkali manusia itu mudah gengsi, susah menerima nasihat dan teguran, apalagi jika ia sudah merasa memiliki posisi tinggi. Musa menunjukkan etika belajar berupa rendah hati (tawadhu’) dan penuh hormat kepada calon gurunya.
Keempat, pengembaraan intelektual Musa, didampingi asisten pribadinya (Yusa’) dimulai isyarat tertentu, atau tidak ditunjukkan langsung siapa dan di mana dia harus berguru. Artinya, sedari awal, Musa diminta bersikap sabar dalam mencari dan menemukan gurunya seorang hamba yang shalih dan diberi ilmu dari sisi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa proses mencari ilmu, terutama melalui proses pembelajaran outdoor, merupakan perjuangan (jihad wa ijtihad ilmi) yang melelahkan, dan harus dibarengi dengan kesabaran prima.
Kelima, hamba shalih yang dinarasikan Alquran diberi rahmat dan diajarkan ilmu dari sisi-Nya menunjukkan bahwa belajar dan pembelajaran itu, termasuk pembelajaran outdoor, idealnya membuahkan pencapaian (outcome) berupa kesalehan, kasih sayang (rahmat), dan ilmu dari Allah. Dengan kata lain, semua proses pembelajaran itu harus dikoneksikan, disandarkan, dan dimaknai dalam rangka mengingat Allah (dzikrullah), sebab ilmu itu sarana bukan tujuan. Tujuan utama belajar adalah mencapai kedekatan spiritual dan kemuliaan akhlak (keluhuran moral) dengan penguasaan ilmu (kecerdasan intelektual), sedangkan ilmu yang dicari dan dikembangkan adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu berbasis syariat dan hakikat.
Keenam, pembelajaran yang efektif itu perlu dilandasi kontrak prestasi dan etika belajar. Relasi peserta didik dan tenaga pendidik harus merupakan relasi penuh adab, karena adab harus diposisikan di atas ilmu. Hal ini berarti proses pembelajaran itu harus membuahkan akhlak mulia, menyiapkan lulusan yang beradab, karena adab itulah yang menjadikan lulusan proses pembelajaran memiliki harga diri, harkat martabat, dan berintegritas tinggi. Integritas moral inilah yang menjadi harapan masyarakat dapat didesain dan dikembangkan melalui proses pembelajaran yang inspiratif, mencerdaskan dan mencerahkan.
Ketujuh, etika belajar yang menjadi poin penting dalam kontrak belajar Musa dengan Khidir adalah sabar, tidak protes, dan kesediaan belajar tuntas (mastery learning), mau menunggu sampai akhir pembelajaran selesai, dengan penjelasan yang utuh dan menyeluruh, berbasis wahyu dari Allah, bukan berasal dari hawa nafsu dan kepentingan gurunya. Dengan kata lain, sabar dalam proses pembelajaran merupakan kunci sukses yang harus dijalani oleh peserta didik. Tanpa kesabaran, ilmu tidak dapat diraih. Jadi, kontrak dan etika belajar itu merupakan pelajaran moral yang sangat penting untuk diwujudkan dalam sistem pembelajaran inspiratif, inovatif, dan kreatif, seperti yang didemonstrasikan Khidir.
Sumber: MAJALAH TABLIGH EDISI NO. 6/XX DZUL HIJJAH 1443 H/JUNI 2022 M. (sam/mf)