Pelecehan Seksual pada Anak Dapat Berakibat Kesengsaraan Fisik dan Psikis

Pelecehan Seksual pada Anak Dapat Berakibat Kesengsaraan Fisik dan Psikis

Ruang Diorama, BERITA UIN Online - Pelecehan seksual merupakan perilaku yang merendahkan atau menyerang terhadap keinginan seksual dan fungsi reproduksi seseorang  dengan memanfaatkan kerentanan. Hal itu akan mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara sosial dan ekonomi.

Hal itu dikatakan Psikolog Rumah Sakit Hermina, Ciputat, Yusnita Katagori, saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk “Mengatasi Pengalaman Traumatik Kekerasan dan Pelecehan Seksual pada Anak Ditinjau dari Aspek Psikis dan Hukum” yang digelar Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta di Ruang Diorama, Rabu (9/11/2022).

Menurut Yusnita, korban pelecehan seksual bukan hanya dari kalangan perempuan melainkan juga laki-laki, termasuk anak usia tiga tahun dan berkebutuhan khusus. Bahkan pelakunya pun bisa berasal dari orang terdekat.

“Ada juga pelaku yang berasal dari saudara korban sehingga tidak mau dilaporkan dan berurusan dengan hukum karena menganggap hal itu sebagai aib keluarga,” katanya.

Mirisnya, menurut dia, pelaku pelecehan seksual biasanya tidak semudah itu ditangkap dan ditahan, karena proses hukumnya bisa panjang dan berbelit-belit.

Yusnita juga menyebut, mayoritas respons masyarakat terhadap kasus pelecehan seksual terkadang justru menyalahkan korban, meremehkan kekerasan, bahkan menganggap korban juga sebagai pelaku.

Padahal, kata dia, pelecehan seksual pun memiliki beberapa dampak. Di antaranya membunuh pelaku, bunuh diri, cedera fisik, depresi, fobia dan gangguan panik, kehamilan tak diinginkan, dan bahkan mengalami trauma.

Mengenai trauma, jelas Yunita, hal itu merupakan sebuah pengalaman yang tidak terduga atau mengejutkan secara tiba-tiba. Tak hanya itu, bagi korban juga dapat meninggalkan kesan mendalam, sehingga dia mengalami kembali sensasi kejadian tersebut walaupun sudah berlalu.

“Ciri-ciri trauma seorang korban pelecehan seksual yang perlu kita ketahui, yaitu menggigil panjang, keringat dingin, sakit perut, pusing, tidak konsentrasi karena selalu mengkhawatirkan kejadian itu. Kemudian emosi naik turun misal tiba-tiba ingin marah dan menangis, ingin buang air kecil terus menerus, selalu ingin dekat dengan kamar mandi atau bahkan tidak mau ke kamar mandi,” papar Yusnita.

Untuk mengatasi trauma pada orang dewasa, ungkap Yusnita, korban harus menyadari apa yang terjadi, tidak membaca berita yang berkaitan, dan tidak perlu menanyakan kejadian itu kepada korban secara berulang. Selain itu, korban juga dapat mencari dukungan ke orang yang terpercaya, kemudian melakukan meditasi dan relaksasi pada profesional.

Sementara untuk mengatasi trauma pada anak, di antaranya perlu memulihkan dahulu fisiknya. Kemudian jangan jadikan seolah anak korban yang harus diawasi terus, mengajak anak bicara soal perasaannya sewaktu disentuh oleh pelaku dan hargai dahulu perasaannya.

“Kita juga tidak menyalahkan anak, tetapi bantu anak agar rileks dengan latihan pernapasan, lakukan konseling, dan terapi bermain,” ujarnya.

Yunita menegaskan, anak-anak terkadang tidak bisa menceritakan secara detail dan jelas. Agar anak mau bercerita, biasanya ditanyakan lewat media boneka, serta memakai kertas atau pensil warna untuk memudahkan anak bercerita.

“Bermain adalah cara menyenangkan untuk anak dalam mengatasi kondisi psikologis dan emosi yang menimbulkan masalah pada perilakunya,” pungkasnya. (ns/falah aliya)