PBSI FITK Gelar Workshop Pengembangan Kurikulum Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia
Ciputat, BERITA UIN Online— Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) FITK UIN Jakarta menggelar Workshop Pengembangan Kurikulum PBSI PTKI di Pusdiklat Kemenag, Selasa-Rabu (4—5/7/23). Selain workshop, di yang sama juga digelar pelantikan Pengurus Ikatan Prodi Tadris Bahasa Indonesia PTKI atau IPTABI periode 2023-2027 oleh Kepala Subdirektorat Pengembangan Akademik Direktorat PTKI, Ditjen Pendis, Kementerian Agama RI, Dr. Abdullah Faqih, M.A., M.Ed.
Dalam sambutannya, Ketua pelaksana Dr. Makyun Subuki M.Hum mengungkapkan workshop yang digelar IPTABI digelar untuk kesekian kali setelah sebelumnya digelar pada 2017 lalu. Dibanding pada 2017, jumlah peserta kegiatan yang terdiri dari Prodi PBSI di berbagai PTKI kali ini meningkat cukup signifikan.
Pertambahan ini, sebut Makyun, merupakan fenomena perkembangan keilmuan Tadris Bahasa Indonesia yang makin maju. “Tahun 2017 pernah dilaksanakan dengan sedikit prodi. Dan hari ini sudah ada lebih dari 20 prodi PBSI. Ini artinya bahwa pengembangan keilmuan Tadris Bahasa Indonesia ini berkembang dengan baik,” ujarnya.
Ketua IPTABI, Dr. Siti Isnaniah M.Pd menilai penyelenggaraan workshop ini sangat relevan dengan kebutuhan pengembangan pengajaran bahasa Indonesia. Selain mendorong diskusi akan berbagai isu pengajaran bahasa Indonesia, kegiatan ini bisa memperat hubungan berbagai Prodi PBSI PTKI.
Selain Dr. Abdullah Faqih, M.A., M.Ed., selaku Kepala Subdirektorat Pengembangan Akademik Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Workshop juga menghadirkan narasumber Dr. H. Andoyo Sastromiharjo (UPI Bandung) dan Dr. Siti Isnaniah (UIN Raden Mas Sahid).
Dalam paparannya, Faqih menyampaikan bahwa dalam merumuskan kurikulum, hendaknya ramah dengan end user. End user merupakan pengguna akhir yang pada akhirnya menggunakan atau dimaksudkan untuk akhirnya menggunakan suatu produk.
“Kurikulum kita saat ini, Tadris Bahasa Indonesia misalnya, sudah ramah terhadap end user atau belum? Ada mahasiswa Tarbiyah yang PPL, kaget kenapa di lapangan berbeda dengan yang diajarkan selama di kampus? Nah, ini kan ada gap,” ucap Abdullah Faqih.
Ia juga berharap bahwa bahwa alumni Tadris Bahasa Indonesia harus disiapkan untuk menguasai ilmu lain. “Kita kan negara Indonesia berkembang terus. Banyak pelajar asing ke sini. Ini sebenarnya peluang bagi Tadris Bahasa Indonesia,” ujarnya.
Senada dengan Faqih, Andoyo menilai perlunya kurikulum Pendidikan bahasa Indonesia dirancang sesuai kebutuhan mahasiswa. “Pernahkah Bapak/Ibu tanya ke mahasiswa maunya apa? Kalau saya, melakukan itu. Lalu saya melihat, apakah sesuai dengan RPS yang sudah saya buat. Kalau tidak sesuai, maka saya akan memperbaiki RPS itu. Ini baru perkuliahan yang berbasis kebutuhan mahasiswa,” ucap Andoyo.
Lebih jauh, Kaprodi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI menyarankan agar para dosen PBSI tidak memberikan beban yang terlalu banyak ke mahasiswanya. Ia mengimbau agar dosen cermat dalam melihat apa saja yang memang masih diperlukan.
“Kita tolong mahasiswa kita. Semakin ke akhir, jangan membengkak SKS-nya. Jadi ada semangat dari mahasiswa untuk menuntaskan studi. Jangan dibebani SKS yang banyak, supaya mereka lulus tepat waktu. Kalau kita ingin berorientasi ke depan, maka caranya harus begitu,” jelas Andoyo.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Prof. Ali Munhanif MA Ph.D dalam sambutan mewakili Rektor menilai workshop tentang kurikulum menjadi penting untuk dilaksanakan. “Workshop Kurikulum PBSI di UIN Jakarta ini penting dilakukan dan harus dijadikan titik awal bagaimana asosiasi program-program pengembangan bahasa,” terang Ali Munhanif.
Ia menyinggung perihal dimensi kebahasaan yang tampak menurun di era sekarang. Warek yang telah menuntaskan pendidikan doktornya di McGill University tahun 2010 ini mengamati bagaimana aspek-aspek bahasa yang seakan terpinggirkan. “Diskusi kebahasaan perlu terus dilakukan agar aspek-aspek bahasa tidak terpinggirkan. Saat ini, orang-orang yang ikut terlibat dalam dunia puisi, sastra, seperti berkurang,” tutur Ali Munhanif.
Warek yang pernah menjabat sebagai Dekan FISIP periode 2019—2023 tersebut berharap prodi Bahasa dan Sastra Indonesia lebih tepat untuk dijadikan sebutan yang apik, ketimbang Tadris Bahasa Indonesia. “Saya kira, prodi Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi nama yang tepat dibanding Tadris Bahasa Indonesia supaya fokus, tidak hanya dalam pengajarannya saja, tetapi dalam kebahasaannya itu juga,” pungkasnya. (Kontributor/ZM)